Rumah sepi lagi-lagi menjadi satu-satunya hal yang menyambut kepulangannya. Salsa mengunci pintu utama setelah memasukinya. Kemudian langsung saja berjalan menuju kamarnya.
Beberapa saat lalu dirinya sempat menemui ibunya di rumah neneknya. Itu juga karena ajakan dari Fariz. Beruntung, ibunya ada di sana saat dia tiba. Responsnya masih seperti terakhir kali mereka bertemu; ibunya tetap bersikap tak acuh.
Setibanya di dalam kamar, tanpa melepas apa pun selain meletakkan tas di atas meja belajar, Salsa mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Pandangannya tertuju pada atap rumahnya.
Di tengah pikirannya yang dipenuhi oleh orangtuanya, tiba-tiba saja kejadian di coffee shop kemarin sore muncul. Di mana Hasbi tak mengacuhkannya.
"Kok, baru sadar, sih, dari kemarin dia nggak ada kasih kabar." Dia bergumam pelan. Mengingat seharian ini dirinya tidak mengaktifkan media sosialnya membuat Salsa penasaran akan suatu hal.
Dia beranjak dari posisinya dan mengeluarkan gawainya dari dalam tas. Setelah melihatnya, suara debas cukup panjang menjadi suara yang paling mendominasi di ruangan tersebut.
Terakhir kali dia bertemu dengan Hasbi adalah kemarin sore. Dan lelaki itu pun tak sedikit pun beramah-tamah kepadanya. Setelah bertukar pesan dalam waktu yang singkat pun, Hasbi tak lagi mengirimkan pesan bahkan setelah Salsa kembali ke rumah.
Sebenarnya Hasbi kenapa?
Kedua mata Salsa mengerjap bingung. Tetapi mengapa juga dirinya harus merasa segelisah ini hanya karena Hasbi tak mengabarinya? Padahal itu wajar saja, bukan? Mereka saja tidak memiliki ikatan apa pun.
Salsa meletakkan gawainya dengan sembarang. Dia kembali berbaring, memikirkan sesuatu yang bisa saja terjadi pada Hasbi.
Mungkin saja lelaki itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Atau bisa saja dia sedang memiliki masalah yang serius?
Matanya terpejam erat. Entahlah. Sebanyak apa pun dia berpikir dan mengira ini dan itu, tetap saja dirinya tidak akan mendapatkan jawaban jika bukan karena bertanya secara langsung.
Tetapi bagaimana bisa dia bertanya jika Hasbi saja bersikap dingin pada dirinya?
Atensinya teralihkan saat merasakan getaran samar di kasurnya. Salsa yang sudah tahu itu berasal dari gawainya pun hanya menggerakkan tangannya untuk mencari benda tersebut.
Dalam hati terdalamnya, Salsa sangat berharap jika yang sedang meneleponnya saat ini adalah Hasbi. Namun, sayangnya itu adalah telepon dari Fariz. Dia menghela napas sambil mendekatkan layar ke arah telinga. "Assalamualaikum, Kak,"
"Waalaikumsalam. Lusa kamu nggak sekolah, 'kan?"
"Iya hari Sabtu libur. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Lusa aku mau ke rumah teman. Kamu mau antar aku, nggak? Sebentar, kok."
Salsa mengernyit. "Ada acara?"
"Iya, dia nikah."
"Bakal lama, dong! Resepsi atau cuma akad?"
"Resepsi, Dek. Nggak lama, kok. Kita cuma numpang makan di sana. Dia cewek, teman kuliah aku."
Salsa terkekeh. "Oh ya udah. Kita pergi jam berapa?"
"Nanti aku kabarin lagi."
"Iya."
"Dandan yang cantik, ya, Sayangku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Tempatku Pulang | [SEGERA TERBIT]
General FictionTekanan dalam rumah, masalah dalam pertemanan, kehilangan seseorang yang melekat dalam hati. Tiga hal itu seolah selalu terikat dengan Salsa. Menyulitkan keadaan, membuatnya terpaksa menjadi orang yang penuh kepalsuan. Rumah tak lagi pernah terasa...