Salsa menengadahkan kepalanya, memandang birunya langit pagi ini. Langit yang seolah turut bahagia dengan hari ini yang orang-orang bilang merupakan hari bahagianya.
Gaun syar'i berwarna putih lengkap dengan kerudung dan cadar yang senada sudah dia kenakan sejak satu jam yang lalu. Tak lupa, sebuah mahkota turut mempercantik penampilannya pagi ini.
Hena berwarna putih sudah terlukis indah di tangannya. Dan kali ini dia tak memakai kacamatanya, memperlihatkan mata indahnya bersamaan dengan wajah tertutup yang sudah terias cantik.
Dia berjalan masuk ke dalam sebuah ruang ganti. Duduk di depan beberapa cermin tinggi. Tentu dirinya tidak sendiri. Putri dan Tari ada menemaninya. Dilihatnya jam melalui gawai, sudah tepat pukul 9 pagi. Dan setahunya prosesi ijab kabul sedang digelar di lantai atas.
Beberapa waktu lalu, telah dilakukan prosesi penjemputan mempelai pria dan beberapa prosesi lain sesuai dengan rangkaian acara di dalam adat Sunda hingga akhirnya sekarang menginjak ke acara ijab kabul. Namun, dari sebelumnya Salsa sudah memutuskan bahwa dirinya akan turut serta dalam acara hanya setelah dia dan calon suaminya sudah dikatakan sah.
Salsa mencengkeram tangan Putri, dia gugup. Sebentar lagi, dirinya akan resmi menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang entah siapa.
"Bismillah. Kamu harus tenang, Ra!"
"Iya, Ca. Duh, gue nggak nyangka Aca gue yang lugu ini udah mau lepas lajang aja!" ujar Tari.
Salsa hanya bisa tersenyum tipis di balik cadarnya.
"Aku takut," ujar Salsa setelah lama mereka terdiam. Berulang kali dia menatap pantulan dirinya melalui cermin. "Aku udah rapi, 'kan?"
"MasyaAllah ...! Udah rapi, kok. Kamu udah cantik banget!" Putri menepuk-nepuk pelan pundak Salsa.
Lagi-lagi Salsa tidak menanggapi. Beberapa detik setelahnya, Tari mengajaknya dengan Putri untuk berswafoto.
"Yeay! Fotonya cantik-cantik," Tari terkekeh melihat-lihat hasil foto mereka.
"Ijab kabulnya udah mau dimulai!" seru Putri. "Sshtt ...sshtt ...."
Salsa menghela napas.
Khotbah nikah masih disampaikan. Bahkan terdengar jelas hingga ke telinga Salsa. Tak lama setelah khotbah selesai, ayah Salsa mulai mengucapkan akadnya. "Yaa Muhammad Hasbi Adifaa bin Adam,"
"Na'am."
Salsa tertegun. Apa dia tidak salah mendengar? Ayahnya menyebutkan nama Hasbi, 'kan?
Ya, Allah!
Salsa menundukkan kepalanya dengan berbagai pertanyaan mulai bercabang di sana.
"Ankahtuka, wazawwajtuka makhtubataka Salsa Safira Rahman binti Rahman Alfarizi ...,"
Salsa tidak mendengar jelas berapa mahar yang diucapkan ayahnya saat itu. Namun, itu bukan yang terlalu penting baginya. Yang mengambil alih pikirannya saat ini: mengapa nama dan suara itu mirip sekali dengan Hasbi yang dirinya kenal.
"Qobiltu nikahahaa wa tazwijahaa alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufik." Dalam satu hentakan napas, calon suaminya itu mampu mengucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Tempatku Pulang | [SEGERA TERBIT]
General FictionTekanan dalam rumah, masalah dalam pertemanan, kehilangan seseorang yang melekat dalam hati. Tiga hal itu seolah selalu terikat dengan Salsa. Menyulitkan keadaan, membuatnya terpaksa menjadi orang yang penuh kepalsuan. Rumah tak lagi pernah terasa...