BAB 26 : Mengira-ngira

2.7K 73 0
                                    

Jakarta, satu tahun lalu.

Di kala matahari bersembunyi di balik awan yang kelabu. Desau angin sore hari beradu dengan bisingnya kendaraan. Orang-orang tampak tak sabaran, membunyikan klakson saat mereka dilanda kemacetan.

Sementara itu, Salsa hanya diam di dalam sebuah taksi yang dia tumpangi. Memperhatikan orang-orang di balik jendela gelap taksi tersebut.

Bertahun-tahun hidup di Ibukota, membuatnya semakin bisa mengatur rasa sabar. Termasuk, sabar karena terjebak macet yang berkepanjangan seperti sekarang.

Dia mengembuskan napas ringan. Setahun yang lalu dirinya baru saja mendapat gelarnya. Menjadi seorang sarjana ekonomi dengan memperoleh IPK yang lumayan tinggi, dan menyelesaikan kuliahnya dalam jangka waktu normal.

Sejak lulus, Salsa bekerja pada suatu perusahaan ternama di Bandung. Kebetulannya, itu merupakan tempat ayahnya bekerja. Posisinya masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ayahnya yang seorang manajer di sana.

Kendati sudah mendapat pekerjaan. Kebiasaan membantu pengurus pesantren pun tak dia tinggalkan. Jika mendapat libur yang cukup panjang, dirinya akan menyempatkan diri untuk pergi ke Jakarta dan mulai mengerjakan hal-hal yang bisa dia kerjakan.

Ayahnya kadang bertanya, "Kamu tidak lelah setiap ada waktu istirahat dan kamu pakai untuk pergi ke luar kota?"

Dan seperti biasa dirinya akan selalu menjawab, "Tempat itu udah banyak mengubah diri aku. Jadi, aku nggak cape buat tetap bantu-bantu."

Ya, lagi pula yang dia lakukan di pesantren tidaklah menguras semua energinya. Paling tidak, dia suka dengan hal yang dia lakukan.

Kali ini, libur natal dan tahun baru dia gunakan beberapa hari untuk menghabiskan waktu di pesantren. Lalu sisanya nanti, akan dia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya.

"Assalamualaikum, Mbak Citra ...," ucapnya ketika sebuah panggilan masuk muncul di gawainya. "Iya, sebentar lagi aku sampai, kok. Yang dibutuhkan udah aku beli semuanya,"

"Iya. Sekarang masih di jalan. Taksinya terjebak macet. Kayaknya aku datang agak telat," Seseorang di sampingnya menarik-narik lembut ujung khimarnya. Sehingga Salsa pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Iya. Bilang aja ke tante Yaneu kalau Dea baik di sini. Nggak rewel."

Salsa kembali mengalihkan pandangannya. "Iya. Waalaikumsalam."

"Dea sayang ...," panggilnya sembari menggendong bocah berusia satu tahun ke atas pangkuannya. "Sebentar lagi" Salsa mengecup gemas pipi Dea yang notabene adalah putri Yaneu dan Firman. Sebenarnya, Yaneu adalah adik ayah yang usianya cukup jauh dari ayah Salsa. Sehingga sampai saat ini, mereka baru saja dikaruniai Dea saja.

Sementara yang diajak bicara justru asyik berceloteh tak jelas. Salsa terus saja mengajaknya bermain, membuatnya tertawa. Hingga tak terasa taksi itu mulai menepi di depan gerbang pesantren. Salsa meraih beberapa kantong plastik berukuran besar berisi barang-barang kebutuhan para santri.

Setelah membayar tagihannya, Salsa pun tanpa kerepotan turun dari taksi dengan Dea dalam gendongannya.

"Mbak, kemari biar saya bantu bawakan." Penjaga pesantren mengambil alih satu kantong plastik paling besar. Kemudian berjalan lebih dulu dari Salsa.

"Iya, Pak. Dibawa ke tempat biasa."

Setibanya di tempat yang dimaksud. Semua diletakkan pada tempatnya. "Makasih, Pak. Maaf ngerepotin."

"Nggak apa, Mbak. Sudah tugas saya."

Salsa tersenyum tipis. Dia mengambil paper bag di dalam salah satu kantong plastik tadi. Kemudian pergi setelah beberapa pengurus lain mulai turun tangan. Membawa Dea untuk diberikan kembali pada ibunya.

Dia Tempatku Pulang | [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang