[1] Aurora Jane

10.7K 266 12
                                    

"Wow. Ini sangat cantik." Aku menganggukkan kepalaku pada wanita yang duduk di depan meja rias sambil menatap dirinya sendiri di cermin dan disinari dengan banyak cahaya.

"Kurasa akan lebih baik jika kau membuat lipstiknya lebih merah." Lanjutnya.

Aku menganggukkan kepalaku dan meraih lipstik lain dan mulai memulas ulang bibirnya yang sangat seksi. Tentu saja, maksudku semua model kebanyakan memiliki alis yang bagus dan bibir yang seksi.

"Ah, perfect." Aku lagi-lagi menganggukkan kepalaku dan melihatnya berdiri dan mulai berjalan ke arah fotografer. Aku menghela napasku dan mulai membereskan peralatanku. Jam di tanganku menunjukkan tengah malam yang mana selalu berhasil membuatku dua kali lebih lelah.

"Kerja bagus, Rora." Suara yang terdengar sangat akrab membuatku menghentikan kegiatanku dan berbalik.

"Terimakasih, John." Balasku sambil tersenyum kecil. Dia adalah asisten fotografer. Aku menyadari dia tertarik denganku tapi aku tidak merasakan hal yang sama. Jadi, aku selalu menghindarinya sebisaku setiap aku bekerja dengan bos nya, Simon.

"Mau mendapatkan beberapa kafein denganku?" Katanya sambil menunjuk ke pintu keluar. Aku lagi-lagi mengamati jam tanganku dan menghembuskan napas.

"Terimakasih tapi kakakku sebentar lagi akan menjemputku." Aku mengangkat tas dan koperku.

"Mungkin lain kali. Sampai jumpa, John." Aku tersenyum sekali lagi sebelum berjalan keluar dari studio. Itu tadi sangat melelahkan.

Satu jam kemudian aku dan kakakku Louis sudah berada di apartemen. Kami memang tinggal bersama sejak remaja karena kami hanya memiliki orang tua angkat yang untungnya baik hati dan sangat royal. Mereka bisa menyekolahkan Louis hingga bisa sepintar Einstein dan sekarang bekerja di perusahaan teknologi ternama. Itu sangat luar biasa dibandingkan aku yang hanya bisa menggambar.

"Kau yakin masih betah dengan pekerjaanmu?" Kata Louis setelah memberikanku segelas air dan duduk di sebelahku.

"Tentu saja. Ini lebih baik daripada menjadi pengantar makanan." Kataku kemudian bersender di bahunya.

"Kau sudah berpikir untuk menikah?" Kataku menatap mata kakakku yang biru cerah dan memiliki sedikit warna ungu.

"Belum. Kau tidak bisa melihat bagaimana rupaku ini." Balas Louis.

Kakakku memang seorang albino. Dia sudah berumur 32 tahun namun aku hanya tahu sedikit wanita yang pernah dekat dengannya. Aku tidak tahu mengapa Louis tidak memperhatikan dirinya sendiri, maksudku dia tampan walaupun wajah dan rambutnya seputih salju, bahkan bulu matanya pun berwarna putih dan aku seringkali mengecatnya menjadi hitam atau coklat. Aku bahkan sangat beruntung mempunyainya sebagai kakakku.

"Kau mau akan kenalkan dengan temanku lagi?" Kataku sambil memeluk lengannya.

"Oh, lupakan saja. Omong-omong bagaimana kalau aku mengecat rambutku lagi, apa warna yang bagus menurutmu?" Aku berdecak dan memutar mataku.

"Ayolah, aku menyukai apa yang aku lihat, kau tidak perlu mewarnai rambutmu atau memakai spray tan." Kataku menatap Louis dengan serius.

"Ya, aku hanya ingin mencoba sesuatu yang baru." Katanya. Aku tertawa kemudian bangkit berdiri dan mengambil dua kaleng bir di dapur. Aku memberi Louis satu kaleng bir kemudian aku menyalakan televisi dan menonton Netflix.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Tanyaku berbisik dengan mata fokus pada televisi.

"Sangat luar biasa. Kami sedang dalam proses penemuan yang sangat besar dan dalam waktu dekat akan segera dipublikasikan." Aku menganggukkan kepalaku.

The Devil is a PlayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang