[6] James Lavier Bradford

3.5K 201 10
                                    

Aku menghela napasku dan duduk di atas kursi seolah baru saja berolahraga semalaman. Aku belum tidur sama sekali sejak semalam dan setelah reaktor energiku bisa dinyalakan kembali dengan perhitunganku yang baru aku bisa merasakan sedikit lega walaupun masih ada beberapa hal lagi yang harus aku selesaikan agar semuanya sempurna. Aku melihat ke dalam ponselku dan entah kenapa aku seolah menunggu Aurora untuk menghubungiku.

Entahlah. Sesuatu di dalam perempuan itu membuatku penasaran. Tidak ada yang bisa menolakku seperti yang dia lakukan dan aku ingin tahu kenapa. Suara pintu terbuka tanpa ketukan membuatku menaruh kembali ponselku, hanya ada beberapa orang yang bisa melakukan ini padaku, orang tua, Felicia, Albert, dan tentu saja satu-satunya orang yang betah menjadi sahabatku sejak kelas sebelas. Maximilian Grey.

"Kau sedang membaca pikiranku atau bagaimana?" Kataku begitu dia duduk di depanku sambil melepas kancing di jas hitamnya. Rambutnya gelap kecoklatan terlihat tertata rapi berbeda dengan wajahnya yang belum dicukur dan kantung mata yang menggelap di sekitar mata abu-abunya.

"Apa memangnya yang kau pikirkan?" Katanya dengan raut wajah bingung.

"Well, aku membutuhkan mu untuk membuat sesuatu di proyèk ku." Kataku sambil membuka map yang aku bawa dari rumah dan mengulurkannya pada Max. Dia terlihat membacanya dan menatapku secara bergantian seolah aku baru saja melakukan april fools padanya. Max menggelengkan kepalanya dan menaruh map ke atas meja sambil menghela napas.

"Tidak." Katanya.

"Oh ayolah, lalu kenapa kau kesini jika kau tidak akan membantuku." Kataku.

"Aku hanya ingin mengunjungimu, melihatmu dihajar wanita juga jika aku sedang beruntung." Kata Max sambil mengangkat kedua alisnya.

"Yah, sudah terlambat untuk itu." Kataku mengingat kembali Aurora. Max terlihat berpikir sebelum dia terlihat seperti akan meluncur dari kursinya.

"Kau benar-benar dihajar wanita?" Dia tertawa setelah mengatakannya.

"Itu adalah hal terbaik. Apa ada saksi mata?" Katanya di sela-sela tawanya. Aku memutar mataku dan memilih diam.

"Ada apa, Max. Aku tahu kau tidak kesini hanya untuk mengunjungiku." Kataku sambil menyilangkan lenganku untuk entah alasannya kenapa tapi aku tidak nyaman dengan Max menertawakanku. Kami memang seumuran tapi kadang aku merasa dia lebih tua dariku. Max berhenti dan menghela napas.

"Nenekku meninggal minggu lalu." Katanya yang membuatku menganggukkan kepalaku dan akhirnya mendapatkan alasan kenapa dia terlihat lelah dan membiarkan wajahnya tidak dicukur.

"Aku turut berduka cita. Kau baik-baik saja." Kataku sambil memajukan kursiku. Nenek Gema adalah satu-satunya keluarga Max setelah keluarganya meninggal karena kecelakaan pesawat. Max masih anak-anak waktu itu dan dia memang sudah terlahir dengan sendok perak di mulutnya, begitu dia dewasa atau tepat saat aku memulai bisnisku Max mendapatkan warisannya secara penuh.

"Aku sudah berdamai dengan itu. Lagipula aku yakin dia ada di tempat yang lebih bagus. Aku hanya ingin pindah dari Los Angeles dan menetap di sini." Balas Max.

"Itu terdengar bagus. Ada satu apartemen kosong di samping apartemenku. Kau mungkin ingin memulai dari sana." Kataku sambil tersenyum. Max menganggukkan kepalanya dan hendak mengatakan sesuatu namun pintu ruanganku kembali terbuka dan Albert masuk dengan beberapa tumpuk dokumen kemudian meletakkannya di ujung mejaku.

"Mr. Grey." Katanya pada Max sebelum menatapku.

"Kau beruntung aku bisa menenangkan dewan tapi ini juga kesempatan terakhirmu. Jika ada kegagalan lagi, proyekmu akan dihentikan dan aku takut kalau ayahmu juga akan campur tangan. Aku baru saja mendapatkan pesan darinya dan itu kurang menyenangkan." Kata Albert sambil menggaruk rambut hitamnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan membuka lembaran dokumen yang dia bawa.

The Devil is a PlayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang