Aku duduk dengan tenang sambil melihat deretan angka dan grafik di depanku. Aku berada di ruangan rapat dengan orang-orang yang terlibat dengan pembuatan produkku yang hari ini diluncurkan untuk umum. Semuanya sibuk dengan laptop dan telepon mereka sedangkan aku tidak begitu fokus saat ini. Perkataan Aurora tadi pagi memengaruhiku dengan cara yang aneh. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan memilih untuk mencoba fokus dengan pekerjaanku karena waktu peluncuran sudah dekat.
Empat jam setelahnya aku menunda semua jadwalku di sisa hari ini dan aku mendapati diriku sendiri sudah berada di gedung kakakku dan aku berjalan ke arah lift menuju lantai lima. Tempat dimana Louis bekerja. Ketika pintu lift terbuka aku langsung di hadapan lorong yang panjang. Aku mencoba mengingat-ingat dimana Louis bekerja sambil berjalan di sepanjang lorong bersama dengan banyak orang yang lain. Aku tahu dari tatapan mereka kalau mereka mengenaliku tapi aku mengabaikannya. Saat aku mengingat kembali dimana ruangan Louis aku berjalan lebih cepat. Aku melihat melalui jendela kaca dan melihat banyak sekali bilik meja yang dibatasi dengan kaca tertata rapi namun karena ini jam kerja semuanya terlihat sibuk. Aku melihat Louis yang sedang berbicara dengan seseorang di mejanya. Aku dengan pelan melambaikan tanganku ketika dia menatapku.
Louis terlihat terkejut tapi itu hanya dalam sekejap. Dia langsung berjalan keluar dari ruangannya setelah selesai bicara dengan siapapun dia. Aku tersenyum melihatnya berjalan ke arahku dan tanpa peringatan menarikku ke pintu yang ada di persimpangan lorong dan membawaku masuk ke dalam pantry karyawan yang terlihat seperti dapur di apartemenku bahkan mungkin lebih mewah.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Kata Louis setelah menutup pintu. Aku tertawa kecil sambil memeluk lehernya kemudian mencium bibirnya dengan bersemangat tapi Louis mendorong menjauh dan terlihat terkejut dengan apa yang kulakukan.
"Aku akan kena masalah jika ada yang melihat adik CEO mencium karyawan biasa." Kata Louis dengan senyumannya yang selalu membuat kupu-kupu di perutku mengepak liar. Aku tertawa dan kembali memeluknya.
"Aku akan mengambil resikonya." Kataku sambil menjalankan jariku di rahangnya yang putih dan lembut. Dia memang baru saja bercukur pagi ini dan aku masih bisa mencium aftershave nya.
"Okay, jangan menggodaku di sini. Apa yang kau inginkan?" Kata Louis dengan tawa kecil sambil berusaha menjauhkan ku.
"Aku hanya ingin menunggumu selesai bekerja lalu kita akan kencan. Aku tahu restoran bagus di Williamsburg." Kataku melangkah mundur. Louis tertawa lagi sambil menggelengkan kepalanya.
"Kau tahu ada teknologi disebut ponsel yang bisa kau gunakan untuk mengirim pesan." Katanya.
"Yah, tapi aku tidak bisa menciummu kalau begitu. Itu tidak menyenangkan." Kataku melepaskan satu kancingnya.
"Kau ada benarnya juga." Kata Louis kemudian bersandar ke depan dan memberikanku kecupan kecil di bibir.
"Aku harus kembali bekerja. Sampai jumpa nanti." Lanjutnya sambil tersenyum sebelum meninggalkanku.
Aku menahan diriku sendiri untuk tidak berteriak kencang karena mengingat aku berada di tempat umum. Ya Tuhan, itu tadi menakjubkan. Louis berinisiatif menciumku duluan. Sudah dipastikan, hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku.
Aku dengan langkah ringan keluar dari pantry dan berjalan kembali menuju lift dengan senyum yang lebar pula. Aku menekan tombol lantai paling atas dan tidak butuh waktu lama hingga aku sampai di lantai eksekutif yang hanya berisi lobi tersendiri, ruangan asisten, dan ruangan kakakku tentu saja.
Bertepatan dengan aku melangkah keluar Albert juga keluar dari ruangannya dan aku segera berjalan cepat ke arahnya kemudian menyapanya.
"Alby!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil is a Player
RomanceCopyright 2020 | FRAMADANI|All right reserved| This is work of fiction. The characters, incidents, locations and the names herein are fictitious and any similarity to or identification with the location, names, and character or history of any person...