Aku menghela napas setelah duduk di sofa. Felicia benar-benar membuatku tidak bisa istirahat akhir pekan ini. Setelah memberiku banyak daftar yang harus aku selesaikan agar pesta peluncurannya berjalan mulus dia pergi entah kemana.
Felicia memang sekarang memegang kendali perusahaan ayahku karena aku bersikeras ingin mendapatkan gelar PHD dan mendirikan perusahaan teknologi yang sudah menjadi impianku sejak remaja. Tapi, Felicia juga berhasil dengan karirnya. Dia bermain di zona yang dia sangat ketahui jadi dia bisa dengan mudah mengontrol dan mengawasi pasarannya. Dua tahun semenjak pengangkatannya, perusahaan ayahku yang dulu berkonsentrasi di properti dan pariwisata mulai menyentuh dunia wanita seperti fashion dan kecantikan.
Setelah berkutik di akhir pekan dengan event organizer yang sudah aku gunakan beberapa kali dan berdiskusi dengan banyak hal mengingat pestanya seminggu lagi, aku memastikan semua daftar tamu, makanan yang disajikan harus memiliki standar gizi untuk bisa dinikmati semua tamu, gluten free, lactose free, vegan, dan lain sebagainya. Aku juga memastikan hanya media tertentu yang bisa mendokumentasikan acara.
"Jimmy."
Aku menghela napas dengan kasar ketika sumber kemarahanku datang dan berlagak manja dengan menyandarkan kepalanya di bahuku dan memeluk lenganku. Apalagi dia memanggilku dengan panggilan yang hanya ibuku yang memakainya.
"Apalagi, Felicia." Kataku dengan kesal sambil berusaha menjauhkannya dariku namun tidak berhasil. Seharusnya aku pulang saja ke apartemenku.
"Kau tidak akan percaya. Aku baru saja bertemu dengan pasangan jiwaku." Kata Felicia dengan mata yang menatap langit-langit kemudian menenggelamkan wajahnya di lenganku dengan senyuman lebar.
"Dia punya postur yang sama denganmu walaupun dia lebih pendek, struktur wajahnya sangat maskulin, kulitnya yang seputih salju, rambutnya juga putih dan berkilau, aku ingin menenggelamkan tanganku di sana saat orgasme, belum lagi matanya yang biru dan ungu secara bersamaan." Lanjut Felicia dengan senyuman dan tawa yang mulai menakutiku. Aku bahkan tidak tahu pria seperti apa yang sedang dia bayangkan.
"Kau ini sedang berbicara apa? Apa kau sakit? Haruskah aku memanggil ibu? Atau kau mau ku panggilkan dokter?" Kataku sambil menempelkan punggung tanganku di dahinya.
"Apa-apaan sih kau ini. Namanya Louis, dia sangat tampan dan kau harus mengajariku bagaimana mendekati pria."
"Tidak, kau tidak boleh dekat dengan pria yang jauh lebih tua darimu." Kataku menggelengkan kepalaku sambil mencoba melepaskan lengan Felicia yang membelit lenganku. Namun aku masih gagal.
"Siapa yang bilang dia tua. Aku sangat yakin dia seumuran denganmu."
"Kau bilang rambutnya putih, bukankah itu artinya dia sudah tua." Balasku sambil menatap Felicia yang terkekeh.
"Bukan karena tua, Jimmy. Tapi dia sepertinya albino. Tapi dia sangat tampan dan juga seksi." Kata Felicia dengan mata yang menerawang kemudian tanpa sadar dia menggigit bibirnya. Aku mengernyit seolah aku baru saja melihat orang muntah di depanku.
"Kau harus mengajariku bagaimana menggoda pria." Lanjutnya menatapku kembali. Felicia memang tidak bergaul banyak dengan pria karena ayah selalu membuatnya sibuk dan aku tertawa.
"Kau hanya tinggal telanjang di ranjangnya. Semua pria menyukai itu." Balasku sambil mengeluarkan rokok dari sakuku. Felicia menepuk lenganku dengan keras. Aku mengerang.
"Itu kalau kau, bajingan."
"Ya sudah. Itu saranku. Aku tidak punya yang lain." Kataku kemudian berdiri dan berniat pergi.
"Mau kemana kau? Aku belum selesai." Kata Felicia mengikutiku ke pintu depan.
"Aku punya janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil is a Player
RomanceCopyright 2020 | FRAMADANI|All right reserved| This is work of fiction. The characters, incidents, locations and the names herein are fictitious and any similarity to or identification with the location, names, and character or history of any person...