[11] James Lavier Bradford

2.3K 149 5
                                    

Aku mengendarai mobil ku dengan kecepatan sedang sementara Aurora di sampingku bersenandung mendengarkan musik dari radio. Aku tidak tahu, hanya saja berada di dekatnya membuatku bisa bernapas lebih baik. Aku merasa seolah aku baru saja terbangun dari tidur yang panjang. Entahlah, hal paling jelas yang aku tahu saat ini adalah aku akan menjaga Aurora tetap di sekitarku.

Dia mengajakku ke Gallow Green. Aku tidak terlalu terkejut dengan pilihannya lagipula aku tahu dari awal kalau dia bukan orang yang selalu rendah diri ataupun orang yang selalu di kelilingi kemewahan dan juga dia memberitahuku kalau dia menyukai tanaman seolah itu adalah bagian dari hidupnya. Gallow Green salah satu bar rooftop yang terkenal karena desainnya yang seperti taman  dan minumannya yang enak. Lagipula di bawah ada Chelsea Gallery jadi, itu dia. Aurora dia makeup artist, pada dasarnya dia juga pelukis dengan kanvas makhluk hidup.

Aurora memesan jus dengan ekstra es sedangkan aku memilih koktail pada bartender. Dia mengajakku duduk di meja yang paling dekat dengan tepi gedung untuk melihat pemandangan kota lebih jelas. Semilir angin tampaknya tidak memadamkan semangatnya dan harus kuakui dia terlihat cantik walaupun hanya memakai kaus, jeans, dan blazer yang panjang. Rambutnya terikat rapi dan itu sedikit aku sayangkan karena aku suka jika rambutnya tergerai aku bisa mencengkeram nya saat aku menciumnya.

"Kau ternyata punya pilihan yang bagus juga." Kataku sambil duduk di depannya. Aurora tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Apa kau pikir hanya kau saja yang tahu New York?" Katanya dengan lancang. Salah satu sikap Aurora yang anehnya aku suka.

"Benar. Faktanya aku tahu New York lebih baik daripada orang lain." Kataku sambil menekankan kata-kataku.

"Kau ini sangat narsis ternyata." Kata Aurora setelah meminum dari sedotannya. Aku mengangkat alisku dan tersenyum padanya. Tidak semua orang mengatakan hal itu padaku secara langsung.

"Jika kau jenius kau harus mengakuinya." Kataku melepaskan kancing jasku agar aku bisa bernapas lebih baik.

"Aku penasaran apakah ada orang yang bisa tahan dengan perangai mu ini." Kata Aurora sambil menopang dagunya dan demi apapun di dunia ini dia terlihat beribu kali lebih cantik. Apa hanya aku saja yang menyadarinya atau dia memang sadar dan menggunakannya dengan baik.

"Sebenarnya ada. Selain keluargaku tentu saja. Namanya Max. Dia sahabat ku sejak sekolah menengah." Kataku menyilangkan kedua tanganku dan condong ke arahnya.

"Max yang malang,"

"Apa aku seharusnya tersindir dengan kata-kata itu?" Kataku menyipitkan mataku dan menunggunya berbicara.

"Pikir saja sendiri." Balasnya sambil mengambil satu tegukan dari sedotannya.

"Sebenarnya Max sudah seperti kakak bagiku. Aku bahkan pernah berharap kalau dia benar-benar kakakku daripada memiliki adik seperti Felicia. Dia pria yang baik dan selalu mendukungku walaupun sifat kita bertentangan." Kataku sambil mengingat kalau malam ini aku mengingkari janjiku pada Max untuk menemaninya membaca sistem reaktor ku untuk menyiapkan basis untuk kecerdasan buatan yang akan di instal ke dalam reaktor. Aku masih memiliki perasaan yang buruk saat meninggalkannya tapi aku juga tidak bisa menolak Aurora.

"Oke, lanjutkan." Kata Aurora mengubah posisinya menyerupaiku. Aku mengerutkan dahiku tapi kemudian aku menghela napas.

"Baiklah. Dia pengusaha seperti Felicia, Greymark Corporation, tapi dia juga punya perusahaan yang dia buat sendiri, Hugo." Kataku.

"Tunggu, apa yang kau maksud adalah Hugo, Hugo? Aplikasi kecerdasan buatan yang jauh lebih baik daripada Alexa atau Siri itu?" Kata Aurora dengan mata berbinar.

The Devil is a PlayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang