Phosphenes ~ 5

5.2K 238 30
                                    

Happy Reading

SETELAH mendapat kabar bahagia tempo lalu mengenai kehamilan Lea, Agatha semakin dibuat penasaran dengan perkembangan janin tersebut setiap harinya. Seperti sekarang ini Agatha tengah merengek pada Resa meminta mereka untuk keluar rumah disaat cuaca sedang panas-panasnya. Agatha memang tipikal orang yang tidak mau mendengarkan penjelasan dari siapapun tanpa adanya bukti jelas apalagi menyangkut akan suatu hal.

"Okay kita ke rumah kakak," kata Resa pada akhirnya mengalah karena jengah menghadapi sikap keras kepala putrinya. Sementara itu, gadis berumur kurang lebih tujuh tahun yang mendengar persetujuan Resa membuatnya senang bukan main, bahkan dia sampai melompat-lompat kegirangan.

"Tapi ... abisin dulu makanannya. Kalau enggak sampai abis-" Resa belum selesai berbicara, namun putrinya itu lebih dulu menyela perkataannya.

"Kalau enggak sampai abis nanti nasinya nangis, iya kan?" kata Agatha. Dia sudah hafal akan perkataan yang sering diucapkan Resa disela-sela makan.

"Astaga, pinter banget anaknya mama!" Resa mengusap pucuk rambut putrinya dengan amat sangat gemas.

Agatha pun kembali ke tempat duduk asalnya dan melanjutkan makan siang dengan terburu-buru karena tidak sabar untuk bertemu kakak perempuannya. Agatha senang ketika Lea tersenyum, terlebih lagi perlakuan baik dan lembutnya membuat Agatha betah berlama-lama bersama Lea. Sejak awal pertemuan mereka, entah mengapa Agatha langsung dekat dan nyaman saat bersama Lea padahal mereka pernah menjadi orang asing.

"Mama," panggil Agatha dengan suara yang begitu lucu, "nanti kita beli es krim dan lolipop yang banyak ya supaya kakak senang."

"Atha-Atha," Resa menggelengkan kepalanya, "kakak itu bukan anak kecil lagi yang suka lolipop. Lebih baik kita beli buah aja supaya bayi dan kakak sehat." Sarah menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

"Ih suka tau, ma, tanya sendiri deh sama abang." Membahas mengenai Milo membuat Resa menghentikan gerakannya.

"Iya nanti mama tanya," balas Resa yang melemparkan senyumannya.

"Ma," Agatha memanggil kembali dengan ekspresi wajah yang serius. "Sebenarnya abang kemana sih? Udah lama gak kesini-sini. Padahal abang janji sama Atha mau beliin boneka baru. Apa abang marah sama Atha karena sering bertengkar?" katanya. Selama ini Agatha memang tidak tahu apa yang terjadi, gadis kecil itu hanya diberitahu orang tuanya bahwa Milo sedang sibuk bekerja dan tidak sempat berkunjung.

"Mama 'kan udah pernah bilang kalau abang lagi banyak kerjaan. Kerjaannya bertumpuk-tumpuk kayak gunung makannya gak bisa diganggu," balas Resa sambil menyingkirkan piring karena sudah selesai makan.

Agatha mencebikkan bibirnya kesal. "Banyak kerjaan terus," katanya.

"Ya gak apa-apa dong biar abang dan kakak banyak uangnya," balas Resa.

"Tapi kan ma-"

Resa menatap lekat-lekat wajah putrinya. "Atha kangen ya sama abang makannya nanyain," kata Resa setelah berhahil menyela perkataan putrinya.

Agtha menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak tuh. Atha 'kan cuma mau nagih janji abang aja," katanya dengan wajah polos.

"Dasar!" Agatha mengaduh kesakitan karena pipinya dicubit Resa. "Abang janji sama Atha mau beliin boneka 'kan? Nanti mama aja yang beliin buat Atha ya," kata Resa.

"Gak mau, ma. Atha maunya dari abang langsung, abang yang janji bukan mama. Kakak pernah bilang kalau janji adalah hutang, hutang itu harus dibayar, kalau gak dibayar pukul aja orangnya biar mampus," kata Agatha.

"Kayaknya kamu ngarah deh, masa kakak ngomong gitu sama Atha."

Agatha terdiam sambil berpikir. "Kakak pernah ngomong gitu kok, tapi Atha gak inget kapan. Mungkin kemarin atau kemarinnya lagi atau kemarin-kemarinnya lagi."

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang