Phosphenes ~ 12

4.2K 180 36
                                    

Happy Reading

MENGERTI dengan situasi dan kondisi yang tengah terjadi saat ini membuat orang-orang terdekat memberikan kesempatan bagi mereka untuk pergi berdua menikmati hari selama liburan di negara orang. Rencana mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di Singapura terancam gagal karena perilaku seseorang yang menunjukan rasa ketidaksukaannya dengan cara mengikuti kemana pun mereka melangkah dan hal tersebut sukses membuat keduanya merasa risih.

Namun berkat bantuan teman-temannya yang bisa mengalihkan segala bentuk perhatian, akhirnya pasangan suami istri itu dapat berkeliaran bebas menghirup udara segar tanpa ada gangguan dari orang tersebut. Mereka berjalan beriringan dengan jari-jari tangan yang saling bertautan, senyum tipis yang tak pernah luntur dari bibir mereka, dan kebahagiaan terasa semakin lengkap karena bukti cinta mereka telah hadir di perut sang perempuan.

Mereka menghentikan langkah kaki saat tiba di sebuah jembatan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Pandangan mereka langsung teralihkan pada bangunan kokoh dan tinggi di depannya dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap sisi. "Hm ... kamu suka gak sama tempat ini?" Pertanyaan yang dilontarkan pria itu hanya dibalas anggukan kepala oleh lawan jenisnya.

"Kamu kok bisa tau ada tempat kayak gini sih, dari mana?" Lea mengajukan pertanyaan saat mereka saling terdiam.

Milo menghembuskan nafas beratnya. "Siapa lagi kalau bukan dari mbah google tercinta kita yang gak ada duanya itu," katanya menjawab.

"Tumben waras." Lea menyunggingkan bibirnya sebelah, mengingat Milo selalu gagal saat diminta tolong mencari tempat wisata disitus internet. Dan kebanyakan dari tempat-tempat tersebut tidak sesuai ekspetasi.

Milo mengacak-acak rambut istrinya dengan gemas. "Sekarang 'kan aku udah pinter, sayang. Sebelum ngajak kamu kesini, aku pastiin dulu tempatnya. Sesuai gak sama yang aku mau. Juga nanya beberapa orang asli sini sih," kata pria itu. Lea mengangguk-anggukan kepala, malas berbicara. Dia begitu menikmati angin malam yang menusuk kulit dan rasanya enggan meninggalkan tempat yang satu ini.

Milo membalikkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan istrinya. "Lea," panggilan itu dibalas dehaman saja. "Sekali lagi aku minta maaf ya sering buat kamu nangis," katanya sambil menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Lea ke belakang telinga.

"Hm ..." Lea menaruh jari telunjuknya di dagu pertanda bahwa dia sedang berpikir keras akan suatu hal, lebih tepatnya hanya berpura-pura saja. "Menurut kamu, ketika seseorang berbuat kesalahan harus dimaafkan atau enggak? Karena dia bukan melukai hati istrinya aja, tapi anak-anaknya juga," kata perempuan itu.

"Aku sadar, kesalahan kali ini emang sulit untuk dimaafkan. Jadi, kamu boleh kok hukum aku dulu kalau mau. Seandainya kamu gak maafin aku, aku pasti sedih dan merasa gak becus jadi suami," kata Milo membalas.

Lea menampilkan senyum tulusnya. "Aku udah maafin kamu, jauh sebelum kamu meminta. Tapi, aku gak mau kamu tiba-tiba menghilang kayak jailangkung. Udah cukup, Mil, kamu buat aku nangis setiap malam," katanya dengan mimik wajah yang serius.

Milo menatap sendu istrinya. Hatinya merasa teriris ketika mendengar perkataan jika istrinya selalu menangis karena ulahnya sendiri. "Aku akan berusaha untuk tetap disisi kamu, Le. Aku janji setelah ini gak ada air mata yang keluar, selain air mata kebahagiaan. Lagi pula aku gak bisa jauh-jauh dari kamu meskipun itu cuma lima menit," balasnya.

"Seandainya kamu melakukan kesalahan yang sama, aku gak segan-segan misahin kamu dari anak-anak kita. Aku gak akan biarin kamu ketemu mereka," kata Lea sambil menunjuk-nunjuk wajah suaminya. "Aku gak main-main sama omongan kali ini, Aderald Radmilo Emery," lanjutnya.

Pria itu terkekeh pelan. "Aduh, istrinya Milo kalau lagi marah-marah gini bukannya serem api malah gemesin banget. Jadi pengen makan kamu, boleh gak?" katanya dengan tatapan jahil.

Lea mencubit pinggang suaminya cukup kencang sampai-sampai si empu meringis kesakitan. "Aku gak suka kamu godain aku," katanya.

"Iya-iya, maaf. Janji gak diulangin lagi!"

....

Arah jarum jam berhenti tepat diangka enam. Sinar matahari menerobos masuk lewat celah-celah gorden menandakan malam telah berganti pagi hari, bahkan kicauan-kicauan burung di langit mulai terdengar di indera pendengaran. Seorang perempuan dengan piyama berwarna merah hati membuka matanya secara perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Disaat itu pula dia menyadari bahwa kejadian yang dianggapnya nyata ternyata hanyalah mimpi belaka. Dan tentunya dia merasa kecewa karena telah dipermainkan oleh kehadiran suaminya yang sangat diharapkan.

"Lo tau gak semalem gue berencana buat ninggalin kamar ini tanpa pamit," kata Anatasha, temannya.

Lea mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menolehkan kepala. "Emangnya gue kenapa sampai-sampai lo tega mau pergi?" katanya dengan wajah beo.

Anatasha menghela nafas. "Ya abisan lo pake acara ngigau sih. Mana segala nangis, terus tiba-tiba ketawa. Kan serem jadinya," katanya sedikit kesal saat mengingat kejadian semalam yang membuat bulu kuduknya merinding. Dia menyesal menerima ajakan untuk tidur di kamar Lea ketika temannya itu menghubungi karena tidak bisa memejamkan mata saking terlalu banyak minum kopi yang diberikan Bulan, teman mereka.

"Maaf ya, Na, soalnya semalem gue mimpi ketemu Milo. Apa itu pertanda kalau dia akan kembali lagi?"

Anatasha memutar bola mata malasnya, jengah menghadapi sikap temannya. "Sehari aja lo lupain Milo, bisa? Dia udah tenang disana, dia udah bahagia karena punya kehidupan baru yang jauh lebih baik daripada sekarang."

"Gue rasa, gue gak bisa. Semakin gue berusaha untuk lupain Milo, semakin sulit pula dia menghilang dari pikiran gue," kata Lea menatap wajah Anatasha. "Dia itu suami gue, Na. Dia bapak dari anak-anak gue. Gak semudah itu melupakan seseorang yang berarti di hidup gue," katanya melanjutkan.

Anatasha menaruh kedua telapak tangannya di pundak Lea. "Coba deh lo terima Kelvin, gue yakin se-yakin-yakinnya lo bisa lupain Milo seiring berjalannya waktu. Percaya sama gue."

Lea mengerutkan keningnya. "Kenapa kita jadi bahas cowok itu sih?"

"Ya ... sayang aja lo anggurin cowok modelan dia, Le. Malah menurut gue, Kelvin jauh lebih baik daripada Milo," kata Anatasha.

"Yang baik belum tentu bisa bahagian kita. Meskipun Milo suka bikin gue nangis, tapi gue seneng bisa hidup sama dia," balas Lea.

"Setidaknya Le," kata Anatasha ambigu.

Lea berdecak kesal, dia tidak mengerti maksud temannya. "Setidaknya apa, Na? Misalnya gue terima Kelvin, apa bisa menjamin hidup gue? Yang ada kita sama-sama akan tersakiti. Gue gak mau itu terjadi, Na," katanya.

Anatasha membungkam suaranya, meninggalkan kamar karena bingung harus membalas perkataan temannya. Anatasha mengatakan semua itu karena tak ingin Lea terlalu larut dalam kesedihan, dia tidak ingin temannya terus menerus memikirkan orang yang sudah tiada.

Lea menatap punggung Anatasha yang perlahan-lahan mulai menghilang dari pandangannya. "Lo belum tau, Na, rasanya ditinggal sama orang yang kita cinta itu gimana. Apalagi kondisi gue yang lagi hamil anak pertama. Bahkan gue bingung harus jawab dan melakukan apa seandainya anak gue nanya kemana bapaknya. Gue gak mau bikin anak gue sedih."

Tak ingin larut dalam kesedihannya karena terus menerus memikirkan Milo, dia menyibakan selimut dan merapikannya. Lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang terasa lengket. Lea berdiri di depan wastafel sambil memperhatikan matanya yang membengkak karena terlalu lama menangis.

"Bisa-bisanya gue mimpi sampe nangis begini," katanya berbicara sendiri. "Cemen banget jadi cewek," lanjutnya.

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang