Phosphenes ~ 16

3.7K 169 20
                                    

Happy Reading

LEA baru saja kembali ke kamar setelah meminta air hangat pada staff hotel. Diletakannya segelas susu yang telah dibuat di atas meja, kemudian melangkahkan kakinya kearah jendela. Hanya sekali saja tarikan, tirai yang mulanya tertutup rapat kini terbuka sempurna sehingga menyuguhkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Begitu juga dengan matahari yang tampak malu-malu menunjukan sinarnya dari balik awan.

Perempuan yang tengah hamil itu menghela nafas beratnya, lalu menyenderkan punggungnya pada sofa panjang. Tidak terasa sudah tiga hari Lea beserta teman-temannya berada disalah satu kota di Singapura. Rasanya sangat enggan untuk meninggalkan negara ini karena mulai merasa nyaman dengan lingkungannya. Dan entah mengapa sejak bangun tidur perasaannya tidak karuan seperti akan ada sesuatu yang terjadi secara mendadak.

"Astaga Brylea Aenazzahra sahabatnya Bulan Cahyani yang paling cantik! Ini udah jam berapa, kok lo belum siap-siap juga sih?" Pintu yang terbuka dari luar serta suara teriakan itu cukup mengejutkan Lea disela-sela minum susunya. Dan beruntung saja perempuan itu tidak sampai tersedak karena ulah laknat temannya.

"Lo emang berencana bunuh gue 'kan?" kata Lea sinis.

Dengan santainya Bulan membalas perkataan temannya, "Suudzon aja nih si ibu. Gue juga gak tau kalo lo lagi minum."

"Tapi ada niat buat ngagetin gue," cibir Lea.

"Kok kamu tempe sih," kata Bulan terkekeh pelan.

Lea, perempuan itu berdecak dengan kesal. "Emangnya lo gak ada kerjaan lain apa sampe kesini pagi-pagi?"

"Ada dong. Kerjaan gue 'kan bangunin lo-lo pada. Karena perjalanan kita hari ini tuh katanya lumayan jauh. Mungkin ... sekitar satu setengah jam buat sampe disana," kata Bulan mengira-ngira sambil memainkan jari-jari tangan.

Lea membelalakan matanya terkejut. "Serius lo, demi apa?" katanya yang dibalas anggukan kepala oleh Bulan. "Gila-gila. Setengah jam aja pinggang gue udah mulai rada pegel. Gimana kali ini?" katanya membatin.

"Kenapa lo?" Bulan memicingkan matanya curiga.

"Gak." Setelah membalas singkat perkataan temannya, Lea pun segera menghabiskan susunya dan bergegas ke toilet karena tidak ingin tiba di tempat tujuan terlalu siang. Sementara itu, selagi menunggu Lea yang menyelesaikan aktivitas mandinya, Bulan menggunakan kesempatan waktunya untuk berdandan.

"Le, lo punya lipstik baru?" Bulan bertanya dengan antusias saat menemukan benda tersebut. Ya, beberapa hari yang lalu sebelum keberangkatan mereka, Bulan memang sempat menitipkan pouch make up miliknya pada Lea, karena kopernya sudah tidak muat menampung barang-barang. "Warnanya cantik banget, gue suka. Boleh gue coba gak?" kata gadis itu.

"Pake aja, Lan." Lea membalas dengan cara berteriak.

"Aaaa ... makasih, sayang!" Bulan meraih kaca kecil dan memoleskan lipstik itu pada bibir tipisnya. "Eh, lo mandinya jangan lama-lama," kata Bulan mengingatkan.

"Apaan sih segala pake sayang-sayang. Najis tau gak sih," balas Lea.

Bulan tertawa mendengar balasan temannya. "Hm, giliran Milo yang manggil lo kayak gitu aja senengnya gak ketulungan," katanya menggoda.

"Ya kan beda lagi," kata Lea membalas. "Btw, si Ana udah bangun belum?"

"Tadi sih udah gue bangunin. Mungkin sekarang udah rapi kayak gue," kata Bulan.

"Udah dipastiin matanya melek? Entar dia malah tidur lagi."

Bulan terdiam sejenak. Tadi dia memang hanya mendengar suara gerutuan Anatasha. "Gue liat lagi deh entar kalo udah selesai make up," katanya.

....

Perlu diakui Anatasha memang senang berkendara dengan kecepatan diatas batas normal karena dapat mempersingkat waktu. Namun, setiap perbuatan yang dilakukan manusia tentu akan menimbulkan resiko besar terhadap keselamatan pribadi maupun pengguna jalan lain. Meskipun begitu, gadis berambut hitam panjang kecokelatan itu memiliki kekurangan, yakni takut saat duduk di kursi penumpang.

"Apaan sih, Na!" Evano, pria itu mengusap telinganya yang terasa berdengung akibat ulah teman perempuannya.

"Lo tuli apa? 'Kan udah gue bilang berhenti. Kenapa masih dilanjut aja?" kata Anatasha kesal karena perkataannya diabaikan.

Evano memutar bola mata jengah menghadapi sikap temannya yang labil. "Hidup gue serba salah jadinya. Dipelanin bilangnya lelet mirip siput. Giliran udah dikencengin malah marah-marah. Sebenernya mau lo apa sih?" katanya membalas.

"Ya santai aja 'kan bisa. Berasa dikejar waktu tau gak," kata Anatasha menundukan kepala karena menyadari kesalahan yang diperbuatnya.

Lea melirik sekilas. "Nanti kalo ada supermarket berhenti dulu. Gue mau beli cemilan," kata perempuan itu mengalihkan pembicaraan sebelum terjadi perdebatan.

"Okey," kata Evano menyetujui.

Kini keadaan terasa canggung ketika mereka sama-sama tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga pada akhirnya, Evano dengan sengaja menginjak pedal gas yang membuat teman-temannya memekik terkejut. "Van, lo gila apa!" omel Lea.

"Haha ... maaf-maaf. Abisan sunyi banget," kata Evano.

"Kalo gue jantungan lo yang tanggung jawab," kata Anatasha.

Dua puluh lima menit sudah menempuh setengah perjalanan, mobil yang ditumpangi ketiga orang tersebut berhenti. "Lo mau nitip sesuatu gak?" kata Lea bertanya sembari mengeluarkan dompet dari sling bag.

"Minuman dingin deh," jawab Evano.

Lea mengacungkan jempol tangannya, kemudian berjalan kearah mobil lain untuk mengajak Bulan berbelanja bersama mereka.

"Pengen makan seblak," kata Lea tiba-tiba saat sedang memilah-milah cemilan.

"Disini mana aja," kata Anatasha.

"Aneh-aneh aja emang," timpal Bulan.

....

"Astagfirullah, Agatha!" Resa yang baru saja akan menjatuhkan bokongnya pada kursi dibuat terkejut karena kelakuan putri kecilnya yang tiba-tiba membuka pintu secara paksa sehingga menimbulkan suara yang sangat kencang. "Kamu ini kenapa sih baru aja dateng udah marah-marah?" katanya berusaha meredam emosi.

Agatha, gadis kecil nan manit itu melemparkan tas sekolah ke sembarang tempat. Kemudian berlari memeluk tubuh sang mama dengan mata yang berkaca-kaca dan sudah pastinya dalam hitungan detik air mata gadis itu akan tumpah membasahi pipi. "Ma-mama ..." panggilnya dengan suara yang terbata-bata.

"Loh, kok nangis sih?" kata Resa dengan tatapan bingung sekaligus khawatir.

Bukannya mereda, tangisan Agatha semakin kencang. "Aduh Tha, kamu jangan nangis dong. Maafin mama ya tadi gak bisa jemput," kata Resa sambil mengusap punggung putrinya agar keadaan lebih tenang.

Agatha mengangguk. "Gak apa-apa," katanya sambil mengusap air mata.

"Coba cerita sama mama, kenapa nangis? Berantem ya sama Raka?" tebaknya.

"Ih kok mama tau sih," kata Agatha menatap takjub.

"Emangnya siapa lagi yang suka bikin kamu nangis selain Raka," balas Resa.

Agatha menampilkan deretan giginya. "Pokoknya besok mama harus marahin Raka karena udah buat Atha nangis gini," katanya.

"Tapi 'kan mama gak tau permasalahan kalian."

"Tadi tuh Raka bilang kalo Atha jelek. Terus dia juga banding-bandingin Atha sama Bianca. Kan ngeselin banget jadi orang."

Resa menghembuskan nafasnya. "Lain kali gak usah dengerin omongan Raka. Anak mama cantik kok," katanya.

"Gimana gak didengerin. Atha punya telinga," kata Agatha dengan wajah polos.

"Hm ... bisa aja kalo jawab," balas Resa menggeleng-gelengkan kepala. "Oh iya, mama bikin puding kesukaan kamu loh. Mau enggak?"

"Mau-mau," kata Agatha semangat.

"Tapi beresin dulu tas sama sepatu ke tempat asalnya." Agatha menuruti perkataan mamanya.

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang