Phosphenes ~ 7

4.6K 223 15
                                    

Happy Reading

EVANO melajukan mobilnya melanjutkan perjalanan setelah menjemput ketiga teman perempuannya di kediaman masing-masing menuju suatu tempat untuk menghadiri acara pernikahan. Siang ini cuaca terlihat sangat tidak bersahabat sama halnya dengan perasaan salah satu temannya yang duduk di kursi penumpang. Sedari tadi wajah temannya tampak murung, ditambah lagi posisi duduknya tidak bisa diam seperti cacing kepanasan.

Evano melirik ke arah kaca. "Tolong dong yang duduk di belakang suruh diem sebentar pusing gue liat tingkahnya," katanya sedikit sewot karena kelakuan Bulan telah mengganggu konsentrasinya ketika mengemudi.

Bulan berdecak kesal. "Denger ya, tugas lo sekarang itu cuma satu, nyetir yang bener dan fokus ke depan. Gue gak mau kita sampai kenapa-kenapa. Lagian suruh siapa punya mobil gede tapi gak bisa bikin orang nyaman," balasnya tak kalah sewot.

"Hah, gak nyaman lo bilang?" Evano menarik sudut bibirnya sebelah. "Dasar kampungan! Ketahuan banget baru naik mobil mahal. Lain kali kalau gak sibuk gue ajak lo jalan-jalan deh pakai mobil ini biar terbiasa," lanjut Evano.

"Wah, bibirnya minta gue catok ya! Sembarangan banget kalau ngomong. Daripada lo ajak gue jalan-jalan, lebih baik lo pinjemin gue mobilnya aja sekalian sama surat-suratnya," kata Bulan membalas perkataan cowok yang ada di depannya.

Evano mengerutkan kening bingung. "Lah, ngapain anjir segala pakai surat-surat?" katanya.

"Mau gue jual ke tukang rongsok," jawab Bulan dengan santai, "lumayan 'kan uangnya bisa dipakai buat beli skincare, traktir Lea dan Ana makan-makanan yang mahal daripada diajak jalan-jalan tapi belinya batagor doang masih mending kalau sepuluh ribu."

Mendadak Evano menginjak pedal rem secara mendadak. "Lo nyindir gue gara-gara dibeliin batagor doang? Ck, lo emang gak pernah bersyukur, Lan."

"Menurut lo?" Bulan memutar bola mata malasnya. "Gue bersyukur kalau lo jauh-jauh dari hidup gue," lanjutnya.

Lea yang mendengar pertengkaran teman-temannya, memejamkan matanya sejenak. "Kalian gak usah berantem bisa 'kan? Jangan kayak bocah umur lima tahun debatin hal yang gak berguna." Perkataan Lea yang bernada dingin membuat kedua orang itu membungkam suara tak berani berkata-kata lagi, karena bulu kuduk mereka merinding.

Sedangkan, Anatasha terkekeh pelan saat melihat ekspresi wajah teman-temannya yang berubah dalam hitungan detik, terutama Evano. "Lea kalau lagi marah-marah gini mirip ya sama ibu-ibu kos minta uang bulanan. Serem banget," katanya.

"Hahaha ... bukan-bukan. Lea lebih cocok dimiripin sama malaikat pencabut nyawa," kata Evano tanpa menolehkan kepala sedikit pun. Sementara itu, Lea mendengus kesal.

"Bulan," panggil Lea dengan suara pelan. "Hm, lo yakin mau dateng kesana? Lo kuat liat Angga sama cewek lain?" Lea bertanya entah ke berapa kalinya. Dia belum puas mendengar jawaban temannya sejak semalam.

Bulan menampilkan senyumnya, lalu menepuk pelan paha temannya. "Gue yakin kok, Le, lagi pula gue seneng kali. Gue juga gak mau dianggap gagal move on gara-gara ditinggal nikah," katanya menjawab.

"Tapi kalau emang lo berubah pikiran kita masih bisa putar balik kok, mumpung belum jauh dari rumah lo," kata Lea.

"Gue yakin, Le. Bukan masalah besar juga buat gue dateng ke acara pernikahan Angga. Kalau lo khawatir gue melakukan sesuatu diluar nalar dan mengacaukan semuanya, lo tenang aja gue gak sebodoh itu. Gue gak bakal pakai acara drama-drama segala," kata Bulan menatap perempuan di sebelahnya dengan serius.

Lea menghembuskan nafasnya, dia mengerti maksud temannya seperti apa. Namun, tetap saja dia merasa khawatir. "Yaudah kalau itu kemauan lo. Tapi janji sama gue kalau lo gak bakal nangis ataupun sedih," katanya.

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang