Phosphenes ~ 14

4.1K 180 25
                                    

Happy Reading

MENJELANG malam hari hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, namun tak terbesit sedikitpun dalam pikiran Lea untuk meninggalkan tempat yang tengah dipijaknya. Berulang kali juga Evano membujuk perempuan itu, mengingat keduanya tidak berpamitan sebelum pergi, tapi apalah daya memiliki teman keras kepala seperti Lea. Bahkan Evano tidak bisa menghubungi teman-temannya untuk memberikan kabar karena masalah jaringan sinyal.

"Setelah dipikir-pikir bangun rumah di hutan ini gak terlalu buruk," celetuk Lea.

Evano menoleh ke sumber suara. "Kena mental kalo lo tinggal disini."

"Sok tau," kata Lea mendengus.

Di menit berikutnya ketika mereka sama-sama terdiam menikmati sejuknya udara, terjadilah perubahan ekspresi wajah. Tanpa sadar jari-jari tangan Lea mencengkram kuat lengan orang yang duduk di sebelahnya. Bibirnya tak henti-henti mengeluarkan ringisan dan keringat pun bercucuran di pelipisnya. Evano yang menyadari hal itu, memejamkan mata sejenak untuk mencerna apa yang terjadi. Lalu, pria itu segera mengangkat tubuh Lea ala bridal style.

"Van, kok rasanya sakit banget. Anak gue gak bakal berojol malem ini 'kan?" kata perempuan itu yang menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Evano.

"Sabar ya kita ke rumah sakit sekarang!" Sungguh, Evano tidak kuat melihat teman yang sudah dianggap adiknya sendiri merasa kesakitan.

Kurang lebih sepuluh menit berjalan keluar menelusuri hutan dalam kondisi panik, Evano dapat melihat kendaraan yang ditumpanginya tadi terparkir. Dengan cepat pria itu menekan salah satu tombol sehingga pintu terbuka. Diletakannya hati-hati tubuh Lea sebelum dia berpindah menuju kursi penumpang. Setelah itu, Evano menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata karena tidak ingin hal buruk terjadi.

Tidak butuh waktu lama bagi Evano untuk menemukan sebuah rumah sakitnya karena kini pria itu tengah memarkirkan kendaraannya disembarang tempat tanpa mempedulikan jika nantinya harus berurusan dengan pertugas keamanan yang bertugas. Bagi Evano hal paling penting sekarang adalah keselamatan Lea beserta bayi yang ada dikandungannya.

"Dok, dokter!" teriak Evano.

Seorang perawat yang kebetulan habis mengantarkan makanan dari kamar pasien, datang menghampiri dengan raut bingung. "Ada apa, pak?" tanyanya.

"Tolong, perutnya sakit. Dokter dimana?"

Perawat itu mengangguk. "Mari bawa ke ruang pemeriksaan."

Evano berjalan mengikuti langkah kaki perawat tersebut. "Hua, gue malu sumpah diliatin ibu-ibu," kata Lea.

"Goblok banget coba. Lagi sakit begini masih aja mentingan rasa malu," kata Evano.

Ketika sampai di ruang pemeriksaaan, Evano langsung membaringkan Lea di atas berankar.

"Silakan keluar dulu pak biar kami memeriksa keadaan istrinya," kata seorang perempuan berjas putih yang tak lain merupakan dokter. Sementara Evano yang mendengar perintah tersebut hanya bisa diam mematung layaknya orang bodoh. Sepertinya dia jatuh cinta pada pandangan pertama, terbukti jantungnya berdetak lebih cepat hanya karena tidak sengaja menatap mata indah lawan jenisnya.

"Pak, dengar saya tidak?"

"Eh," Evano tersentak saat dokter cantik itu melambaikan tangan di depan wajahnya, "tapi saya gak bisa ninggalin dia. Saya tetap mau disini!"

"Saya paham. Tapi, ini sudah prosedur dari rumah sakit," kata dokter.

"Baiklah," balas Evano yang lantas membalikan tubuhnya.

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang