Phosphenes ~ 11

4.4K 203 24
                                    

Happy Reading

PANDANGANNYA tak bisa teralihkan saat melihat wajah damai seorang perempuan yang masih terlelap tidur, bahkan dengan jahil pria itu menyentuh pipi mulusnya. "Sayang, ayo dong bangun! Ini udah jam sembilan loh, masa kamu gak mau jalan-jalan sama aku sih."

"Eungh ..." Perempuan itu menggeliat kecil karena merasa terusik, namun enggan membuka matanya yang terasa berat. Terlebih lagi hawa dingin menusuk kulit disebabkan suhu normal yang berasal dari pendingin ruangan membuatnya semakin nyaman berada di posisi tersebut dengan kain tebal menutupi tubuhnya.

Pria itu menghembuskan nafas kesal sebab rencananya tak berhasil. "Lea, aku datang jauh-jauh ke sini cuma buat ketemu kamu. Tapi, kamu malah mengabaikan kehadiran aku seolah gak peduli lagi," katanya, "aku beneran sedih kalau dicuekin terus sama kamu. Aku tau kamu masih tidur, tapi seenggaknya perlakuan kecil aku, buat kamu terganggu. Apa jangan-jangan ... kamu suka ya kalau aku bersikap kayak gini. Jahilin kamu dengan cara cium pipi tembam ini. By the way, kamu kelihatan berisi sekarang."

"Hua ..." Lea, perempuan itu menangis tanpa mengeluarkan air mata. "Pergi sana jangan ganggu tidur gue. Serius deh semalam gue gak bisa tidur gara-gara minum kopi yang dikasih Bulan," katanya meracau.

Dengan sejuta ide yang melekat di otaknya, pria itu menarik tangan Lea berharap rencana kali ini akan berhasil. "Enggak, gimana caranya kamu harus tetap bangun. Aku gak mau tau pokoknya!" katanya pria itu.

Lama-kelamaan kesabaran Lea berada diujung tanduk. Perubahan warna wajahnya pun sudah berubah jadi merah menahan emosi. Sepertinya si pelaku bukanlah salah satu teman prianya, sebab sedekat apapun hubungan pertemanan tak ada satupun dari mereka yang berani masuk ke kamar seorang perempuan tanpa seiizin pemiliknya. Terlebih lagi, orang itu tidak sopan karena berani mengecup pipinya.

Pada akhirnya perempuan itu membuka mata secara perlahan menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke kornea. Setelah tersadar, bibirnya siap untuk melontarkan umpatan-umpatan pada orang tersebut. Namun, saat dia menolehkan kepala ke samping dan melihat wajah seorang pria membuatnya cukup terkejut. Bahkan, Lea sampai menampar pipinya berulang kali hanya untuk memastikan saja.

"Jangan dong," pria itu menghentikan perbuatannya dan mengusap pipinya, "sekali aja udah buat pipi kamu merah. Apalagi kalau sampai berkali-lagi."

Dengan bibir yang bergetar menahan tangis dan kedua telapak tangan menyentuh wajah pria itu Lea berkata, "Mi-Milo? Ini bener kamu?"

"Ya, ini aku. Apa kabar?"

Matanya berkaca-kaca dan sontak memeluk tubuh suaminya dengan sangat erat seakan-akan tak ingin berpisah lagi. Lea sangat rindu pada sosok yang ada di hadapannya. "Aku kangen banget sama kamu Mil. Kenapa kamu pergi gitu aja, apa karena kamu udah gak ada perasaan sayang lagi?" katanya.

Milo menggelengkan kepala. "Entah untuk ke berapa kali aku buat kamu kecewa sejak kita menikah. Aku minta maaf untuk kesalahan-kesalahan yang udah aku perbuat selama ini. Aku sama sekali gak berniat melakukan ini ke kamu," balas pria itu.

"Setelah kecelakaan pesawat kamu kemana aja, kenapa gak kasih aku kabar?" todongnya dengan mata yang tajam menatap suaminya.

Milo, pria itu membungkam suaranya karena bingung harus menjawab apa dari pertanyaan istrinya. Dia hanya menampilkan senyumnya, senyum menjengkelkan bagi Lea dan sebagian orang yang melihatnya.

"Milo," panggil perempuan itu, "selama ini kamu kemana? Kamu tau gak, suami terjahat yang ada di muka bumi ini adalah kamu. Kayaknya kamu emang sengaja menghukum aku karena punya banyak salah."

Orang yang dipanggil namanya menatap wajah istrinya, kemudian menunjukan ekspresi wajah bersalah. "Maafin aku ya, sayang."

Lea mendengus. "Jelasin dulu ke aku kenapa kamu membohongi kita dengan cara berpura-pura meninggal setelah kecelakaan itu. Kamu bukan cuma nyakitin perasaan aku, tapi calon anak yang sedang aku kandung."

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang