Phosphenes ~ 6

5K 208 13
                                    

Happy Reading

"Bulan," panggil Angga.

Gadis yang merasa terpanggil namanya hanya bisa diam dengan wajah yang tenggelam pada bantal. Air matanya tidak bisa diajak kerja sama karena terus menerus mengalir membasahi pipi hanya untuk seorang pria yang jelas-jelas sudah menyakiti perasaannya. Bulan menyesal percaya akan kata-kata manis yang keluar dari bibir Angga, padahal teman-temannya sudah menasihatinya untuk tidak menjalin hubungan dengan orang yang sama.

"Lan, buka pintunya! Dengerin penjelasan aku dulu," kata Angga yang sedikit berteriak dari luar kamarnya, bahkan mengetuk pintu beberapa kali.

"Kita bisa bicarakan masalah ini secara baik-baik, jangan kayak gini, Lan, kita bukan anak kecil lagi."

Perasaannya bercampur aduk antara kesal, marah, dan tentunya kecewa ketika mengetahui kenyataan pahit bahwa Angga, kekasihnya itu, telah memiliki calon istri dan mereka akan menyelenggarakan pernikahan dalam kurun waktu dekat. Tapi, mengapa Angga tidak menceritakan yang sebenarnya pada Bulan dan memilih untuk bungkam. Sepertinya Angga memang sudah berencana membuat Bulan merasa bodoh dengan tingkahnya sendiri.

"Lan, tolong!" kata Angga frustasi.

Bulan menghapus sisa-sisa air matanya, lalu membuka pintu kamarnya.

"Bulan." Angga yang tengah bersender pada dinding seketika menegakkan tubuhnya.

"Kamu gak perlu cape-cape jelasin, Ngga, semuanya udah ada bukti. Lagi pula hubungan kita pun udah berakhir," kata Bulan.

"Sebenarnya aku-"

"Gak perlu, Ngga, aku udah bilang 'kan. Bukti yang aku kasih ke kamu itu lebih dari cukup," kata Bulan menahan emosinya. Bulan yang memang sudah mulai curiga dengan perubahan sikap Angga, mau tak mau mengikuti kemana perginya cowok itu selama tiga hari berturut-turut dan akhirnya semuanya terbongkar.

"Sekarang kamu seneng 'kan? Iyalah masa enggak," kata Bulan terkekeh. "Padahal dulu kamu bilang gak mau nikah muda, tapi apa? Oh, aku paham. Kamu gak mau nikah muda sama aku, maunya sama orang lain. Betul 'kan," lanjutnya.

"Enggak, Lan," kata Angga membantah.

Bulan menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Udah, Ngga, lebih baik kamu pulang. Gak baik kalau calon pengantin berkeliaran apalagi ke rumah mantannya," kata Bulan.

"Aku salah, aku minta maaf udah buat kamu kecewa," kata Angga menundukkan kepala.

"Aku udah maafin kamu," kata Bulan mencoba untuk mengikhlaskan semuanya.

"Itu artinya ..."

"Hubungan kita tetap berakhir. Cepat atau lambat perasaan kamu ke aku akan hilang dan tergantikan sama istri kamu," kata Bulan.

"Aku gak mau!"

"Terserah," kata Bulan membalikkan tubuhnya untuk masuk ke kamar. "Hm ... Ngga, kita masih bisa berteman 'kan. Anggap aja hubungan kita gak pernah terjadi."

"Lan," kata Angga meraih tangan Bulan.

"Pulang, Ngga, kamu tau kan pintunya di sebelah mana."

"Aku gak mau hubungan kita selesai gitu aja," kata Angga.

Bulan menatap orang di depannya dengan jengah dan memilih untuk menutup pintu kamarnya begitu saja membiarkan Angga terus berteriak meminta maaf akan kesalahannya.

...

"Gimana, Ngga?" tanya Anatasha dengan penasaran. Pasalnya ini untuk pertama kali mereka melihat pertengkaran besar antara Angga dan Bulan, apalagi di tempat umum yang jelas-jelas banyak orang yang memperhatikan.

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang