Shiga datang ke sekolah sedikit terlambat hari ini, sengaja. Ada yang mengusik pikirannya beberapa hari terakhir ini yang membuat ia tak bisa menjalankan hari hari nya dengan tenang.Setelah memarkirkan motornya, Shiga melepaskan helmnya lalu berjalan menuju kelas dengan tergesa gesa. Dia tak membalas sapaan teman teman nya yang dia jumpai di lorong kelas. Dia tak meminta maaf saat ia bertabrakan dengan siswa di dekat tangga, dan dia tak mengucapkan selamat pagi saat ia akan masuk ke dalam kelasnya. Bukan hal yang biasa ia lakukan. Dia berhenti di depan kelas nya, memandangi kursi yang sudah 4 hari ini tidak ditempati pemilik nya.
Benar, semenjak hari dimana Shiga dan Amelda membuat perjanjian itu, Amelda benar benar memegang kata katanya. Dia tak sedetikpun membiarkan dirinya mengganggu ketenangan Shiga. Tapi anehnya, justru hal itu lah yang paling mengganggu Shiga. Merasa terganggu karena tidak diganggu? Itu yang tengah Shiga rasakan.
Shiga menarik nafas dalam dalam, lalu melangkahkan kaki nya ke dalam kelas yang sudah ramai itu.
"Kecewa Amelda ngga masuk?" terka Keita saat melihat tingkah Shiga pagi ini. Bukan asal bicara, dia tahu betul kalau teman sebangkunya ini tak mungkin berangkat se-siang ini jika cuaca sangat cerah seperti hari ini.
"Gosah ngada ngada" Jawab Shiga malas, ia melemparkan tasnya ke mejanya lalu membiarkan kepalanya menindih tas itu. Seperti biasanya, menatap langit nan biru.
"Hari ini gak mendung lho, kok lesu?"
Pertanyaan Keita menyentil hati Shiga. Shiga sendiri juga bertanya tanya di dalam dirinya. Kenapa ia mau menunggu 30 menit lebih lama untuk berangkat sekolah, kenapa ia sangat ingin memastikan kalau Amelda sudah berangkat terlebih dahulu dan duduk manis sambil membaca novelnya saat ia sampai di kelas, dan kenapa ia merasa ada yang mengganjal hatinya saat tahu bahwa Amelda tak berangkat sekolah hari ini. Padahal seharusnya ia bahagia karena waktu di sekolah bisa ia habiskan tanpa gangguan Amelda.
"Kalo suka mah gosah dipendem kali, nanti repot sendiri loh"
Emosi Shiga sedikit tersulut mendengarnya, dia bangkit dan siap melayangkan pukulan ke arah Keita. Tapi pukulan itu tak mendarat di bagian tubuh manapun, dan Keita juga tak khawatir akan hal itu. Dia sudah paham betul sifat teman sebangkunya itu.
"Lo kesel sama gua, apa sama diri lo sendiri?" Dengan tenang Keita menurunkan kepalan tangan Shiga yang berhenti di udara.
"Bodo amatlah" Shiga kembali ke posisi awalnya. Favoritnya.
"Kenapa dia?" Tanya Dewi yang baru datang.
"Gelud sama ego"
---
Shiga tak memiliki semangat sama kali untuk menjalankan kegiatan disekolahnya, sebagian besar waktunya ia habiskan untuk memperhatikan awan yang bergerak perlahan. Saat istirahat pun ia enggan untuk beranjak dari tempat duduknya. Akibatnya rasa lapar berkecamuk di perut Shiga. Syukurlah Shiga memiliki Keita dan Dewi yang membelikan makanan untuknya.
Meskipun terasa sangat berat, tapi akhirnya Shiga berhasil melewati hari disekolah nya yang sangat membosankan itu. Bel pulang berbunyi, semua murid pun bergegas pulang mengingat awan mulai menghitam.
"Keith"
Mendengar Shiga memanggilnya, Keita yang baru akan beranjak dari tempat duduknya pun berhenti, menunda kepulangannya.
"Apa?"
"Maaf" Keita tersenyum, lalu menepuk pundak Shiga.
"Santai, gua paham kok. Duluan ya" Keita akhirnya benar benar pulang.
Setelah melihat sosok Keita menghilang. Shiga menaruh kepalanya di atas meja lagi. Hal yang biasanya ia lakukan saat langit cerah, Dewi yang melihatnya sedikit heran. Karena saat ini mendung sedang mengancam.
"Shiga, lu bawa jas hujan?" tanya Dewi memastikan, ia akan pulang dan ia tak mau meninggalkan temannya dalam keadaan sulit.
"Bawa kok" Shiga tak mengubah posisinya.
"Yaudah gua duluan ya" Dewi pun akhirnya pulang. Luis sudah menantinya di depan kelas.
---
Hujan sudah mengguyur, dingin mulai terasa. Hal itulah yang akhirnya menyadarkan Shiga untuk segera pulang. Sudah lebih dari 30 menit Shiga tak melakukan apa apa. Kelas sudah kosong, begitu pun sekolah. Suara dari air yang bertabrakan dengan tanah dan atap sekolah yang menjadi suara pengiring Kepulangan Shiga.
Dia membuka tasnya, mencari jas hujan yang sudah ia persiapkan. Untuk beberapa saat Shiga memandangi Jas hujan itu, lalu akhirnya menutup Tasnya tanpa mengeluarkan jas hujannya.
Dia berlari menerjang hujan di depannya. Menerjang hal yang paling ia benci di dunia. Ia merasakan sensasi aneh. Dingin, bebas, segar. Ia bahkan tak peduli jika demam menyerangnya besok pagi. Ia puaskan dirinya menari di tengah hujan, pengalaman langka yang mungkin tak akan dia lakukan lagi.
"Shiga Dion Prastawa, menangis"
-Prayxga.
KAMU SEDANG MEMBACA
MiRAINcle (ON HOLD)
Teen Fiction#1 wattysid 020120 #3 dingin 020120 #2 mati 020120 "Harusnya aku sudah mati" "Tidak, Saat ini sedang hujan. Kau tidak ku izin kan mati sekarang!" "Apa ini kutukan?" "Tidak, Kau memang tak boleh mati"