Sesuatu

12 4 0
                                    


"Gua udah nikah sama Shiga"

Mendengar ucapan Amelda, secara tak sadar mulut Dewi terbuka dengan lebarnya. Entah sudah sebesar apa cinta Amelda kepada Shiga, entah apa yang telah merasuki Amelda, tapi halu nya itu sudah ada di tingkat abnormal. Tak bisa dipercaya. Prasangka buruk tentang Shiga pun mulai keluar di benaknya. Shiga, main pelet?.

"Hah?!" Amelda tertawa melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Dewi. Sedikit berlebihan menurutnya.

"Enggak lah, bercanda" Ucap Amelda sambil menahan tawanya. Dewi sedikit kesal karena ia ditertawakan.

"Ish, ngeselin. Yaudahlah yuk jalan, kasihan bebeb gua udah nungguin"

Dewi tahu kalau Amelda tidak serius mengatakan nya, dia hanya bercanda. Tetapi ada sesuatu yang membuat Dewi berpikir kebalikannya. Seperti, itu benar benar terjadi. Sulit rasanya memikirkan hal yang tidak masuk akal seperti itu. Ia tahu kalau hal itu tidak mungkin, tapi ada sisi lain dari dirinya yang mengatakan kalau Amelda jujur, Amelda serius mentakan hal itu tadi.

Entah kenapa atmosfer diantara mereka berdua berubah. Tak ada percakapan lagi, sama sama tenggelam dalam pikiran masing masing. Dewi lagi lagi tertarik untuk mencerna perkataan Amelda. Sensasi aneh yang ia rasakan saat Amelda mengucap kalimat tadi dan bagaimana ia menyembunyikan dengan tawa yang dibuat buat. Dia, Amelda, dan Shiga seumuran. Sama sama anak kelas 3 SMA. Kemungkinan mereka menikah sangat kecil, bahkan tidak ada. Tapi tetap saja hal itu mengganggu pikirannya.

TIN

Suara klakson mobil Luis memecah lamunan Dewi, menarik nya dari alam bawah sadar dan memaksanya kembali ke realita. Amelda sudah berada di dalam mobil, Dewi tak menyadari nya.

"Kamu ga mau masuk bi?" Tanya Luis. Dewi tak menjawabnya, ia buka pintu mobil dan buru buru masuk ke dalamnya agar air hujan tak sempat membasahi tubuhnya.

Di dalam mobil kelakuan Dewi juga tak jauh berbeda, sepanjang perjalanan yang ia lakukan hanyalah menatap kosong jalanan di depan nya. Luis tahu ada yang aneh dari perilaku kekasihnya itu, tapi ia memilih untuk bungkam, memberikan Dewi ruang untuk bercengkrama dengan imajinasi nya.

---

Setelah berhenti sebentar untuk membeli Apel, mereka melanjutkan perjalanannya. Hujan mulai reda, sinar sang surya juga sudah mulai memaksa menerobos masuk menembus pekatnya awan hitam. Amelda senang melihatnya, ia merasa ada sesuatu yang baik sedang menunggu nya.

Sekitar 5 menit dari tempat terkahir kali mereka berhenti, mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Tempat Shiga dan Dewi tinggal. Jantung Amelda mulai berdegup kencang. Padahal baru sampai di gerbang komplek, belum sampai gerbang hati nya Shiga.

Mobil Luis berjalan lambat saat memasuki pekarangan rumah Shiga, Rumah 2 lantai dengan cat biru muda. Model rumahnya tak jauh berbeda dengan rumah rumah lainnya yang berada di komplek itu, jadi tak ada yang menarik. Mungkin banyaknya tumbuhan yang ditanam di halaman rumah Shiga yang menjadi satu satu nya pembeda.

Mereka bertiga turun, lalu berjalan melewati jalan setapak sebelum sampai di depan pintu. Setelah memencet bel rumah, mereka disambut oleh wanita paruh baya yang mengantarkan mereka ke kamar Shiga.

"Mel, lu duluan aja ikut Bi Ida. Gua mau nyiapin ini dulu" Dewi mengangkat kantong plastik yang berisikan buah buahan yang mereka beli tadi. "Luis bantu aku ya" Luis hanya mengangguk.

"Eng, emang gapapa?" Amelda sedikit ragu, menemui Shiga dikamarnya. Hanya berdua. Ah jantungnya serasa mau keluar lewat mulutnya.

"Udah gapapa. Ga bakal diapa-apain kok" Dewi meyakinkan. Sedikit bercanda juga, tapi Amelda terlalu deg deg an untuk bisa tertawa.

"Mari non" Ajak bu Ida sekali lagi.

Sepertinya Amelda sudah tak mempunyai pilihan lain. Ia mengekor Bi Ida menaiki anak tangga. Satu persatu anak tangga ia naiki, jarak juga semakin terkikis, degupan jantung Amelda juga semakin kencang. Ah mungkin dia akan pingsan.

Bi Ida berhenti di sebuah ruangan, Mengetuk pintunya.

"Den, ini ada temennya"

"Suruh masuk aja bi" Suara yang Amelda kenali itu lagi lagi berhasil membuat dirinya tak bisa mengontrol jantungnya sendiri. Suara serak khas orang sakit, entah kenapa terasa sangat enak di dengar di telinga Amelda.

Bi Ida membukakan pintu lalu mempersilahkan Amelda untuk masuk. Walau ragu, Amelda memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ia menundukkan kepalanya, belum berani memandang ke arah yang seharusnya. Hingga sebuah suara menghancurkan hatinya, ekspetasi nya.

"Lo, gak seharusnya ada di sini"

-Prayxga.

(Ps : Iye tau, gua juga ngerasa part ini kosong. Tapi anggep aja ini kaya suasana tenang sebelum badai datang. Gua gamau bikin part ini terlalu panjang. Stay tuned ya. Tunggu part selanjutnya! Thanks)

MiRAINcle (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang