Ombrophobia

10 3 0
                                    


3 bocah SMP sedang berjalan pulang. Hujan turun dengan deras nya, tapi mereka sama sekali tak menghiraukannya. Mereka anggap tetesan hujan itu sebagai air shower dari kamar mandi mereka yang menyegarkan. Mereka berjalan beriringan, hingga salah satu diantara mereka berjalan mendahului.

"Sandi, ngapain?" teriak anak perempuan itu.

Tak menjawab, anak yang dipanggil Sandi tandi jongkok lalu mengulurkan tangannya dan mengambil sampah sampah yang menyumbat selokan.

"Dewi, Shiga, bantuin sini! Ada banyak banget!" ajak bocah lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Shiga dan Dewi pun membantu Sandi untuk membersihkan sampah yang menyumbat selokan.

Tawa puas tercetak dari wajah Sandi, melihat air selokan mengalir dengan lancar.

"Gini kan enak diliatnya!" seru Sandi.

Dewi dan Shiga hanya senyum melihat kelakuan Sandi. Mereka berdua sudah tak kaget dengan sifat Sandi yang seperti itu. Suka menolong. Entah itu orang maupun lingkungan nya. Sandi bahkan tidak keberatan sama sekali menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menolong orang lain, membawakan belanjaan nenek yang ia lihat, melerai pertengkaran teman nya, mengerjakan tugas Shiga, dan banyak hal lainnya yang biasanya tak mau dikerjakan oleh anak kelas 6 SD. Sandi terkenal karena kebaikan hatinya.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanannya yang diiringi hujan. Menyenangkan. Setiap langkah mereka diiringi keceriaan.

Shiga berlari di depan dan lompat saat ia menjumpai genangan air. Cipratan air yang ditumbulkan menyulut tawa dari Sandi dan Dewi yang melihatnya. Kebahagiaan datang dari hal sekecil itu. Puas tertawa, mereka kembali berjalan.
Belum genap selangkah, sebuah bola yang entah dari mana datangnya tiba tiba melesat di depan mata Shiga, berhenti di jalan raya.

"Maaf kak!" seru seorang bocah laki laki yang lebih muda darinya. Sekitar baru kelas 4 SD.

Bocah itu berlari untuk mengambil bolanya. Dari kejauhan, sebuah cahaya menembus deras nya air hujan. Shiga melihat itu, sebuah mobil mendekat dengan kecepatan tinggi dan anak itu tak menyadarinya.

Shiga ingin berteriak memperingatkan anak itu, tapi mendadak lidahnya kaku. Tak satu pun anggota tubuhnya menuruti kemauannya saat ini. Seseorang akan meninggal di depan matanya.

"AWAS!!!"

Sandi melompat, berlari ke arah anak itu dan mendorongnya hingga terlempar ke sisi jalan. Anak itu selamat. Sandi, tidak. Dan Shiga, menyalahkan dirinya sediri. Andai saja ia bisa setidaknya mengeluarkan suara pada saat itu, kematian Sandi mungkin tak secepat itu. Tapi fakta kalau ia tak bisa melakukan apa apa menghantuinya sampai saat ini.

---

"Jadi harusnya kalian itu bertiga?" tanya Luis. Saat ini ia sedang menyetir, mengantarkan Dewi pulang. Dewi bersikeras ingin ikut mengantarkan Amelda pulang, alhasil Luis harus bolak balik karena rumah mereka yang ada di arah yang berlawanan. Yah, Luis sama sekali tak keberatan sih, artinya ia punya lebih banyak waktu bersama Dewi.

"Iya, Tapi Sandi terlalu baik, jadi dia dipanggil duluan sama Tuhan. Dan Shiga punya pandangan lain" Tatapan Dewi kosong. Hatinya ngilu mengingat kejadian itu. "Dia merasa kalau semua itu salahnya. Dia bahkan ga berangkat sekolah selama seminggu penuh setelah kejadian itu" lanjutnya.

"Yah, kenangan buruk bisa mengundang ombrophia sih. Jadi wajar aja Shiga sampai kaya gitu waktu hujan" Ucap Aldi.

"Combro?"

"Ombrophia sayang. Phobia hujan" Luis menarik pipi Dewi gemas, membuat Dewi meng-aduh kesakitan.

"Jadi kepribadian Shiga berubah setelah itu?" tanya Luis lagi.

"Iya. seperti, Shiga mengambil kebiasaan baik Sandi, suka menolong. Jadi Shiga yang kamu lihat sekarang itu adalah gambaran mendiang Sandi semasa hidup dulu. Seakan akan Shiga ingin menebus kesalahannya dengan cara membiarkan Sandi hidup di dalam dirinya"

-Prayxga

MiRAINcle (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang