13

64 18 22
                                    

13
----------

Satu hal yang membuat Cinta betah didekat tuan Iqbal Dinata karena dia mau mendengar segala ocehan milik Cinta, baik yang terdengar rasional maupun tidak. Ya, walupun si Iqbal cuma menanggapi dengan deheman, decihan, dan decakan. It's okay lah ya, yang penting Makci senang. Dia memahami karakter Iqbal yang diam gak banyak ngomong persis seperti robot bernyawa, kaku.

Cinta berharap saja Iqbal tidak segera dibawa ke museum, atau menjadi bagian tujuh keajaiban akibat menjadi benda paling langka di semesta. Entar kasihan yang mau wawancaranya gedek sendiri gara-gara manusia kaku ini. Misalnya kaya gini;

"Apakah anda senang menjadi salah satu robot yang harus dilestarikan oleh tunas, bangsa, dan dunia?" tanya reporter berita berlogo segitiga warna warni.

"Hm," jawab Iqbal.

"Bagaimana tanggapan keluarga anda tentang hal tersebut?" tanya reporter yang atasannya punya banyak stasiun televisi.

"Cih!" Iqbal menjawab.

"Saya mempunyai pertanyaan dari para netizen, apa robot tampan seperti anda bisa eek?" Kali ini ikan emas terbang yang bertanya.

"Ck!"

Reporter antah berantahpun ikut ikutan bertanya pada Iqbal. "Apa anda mempunyai nomer rekening? Bisakah saya meminta transfer-an? Tolong saya, anak saya belum makan satu tahun Pak." ujar reporter itu dramatis

"Hm. Cih! Ck?!"

Makci sudah membayangkan bagaimana reaksi reporter antah berantah itu, antara ingin mencekik tuan Iqbal atau ingin membuang robot hidup ini ke dalam rawa rawa. Iqbal memang pendiam dan menyebalkan. Dan, sifat itulah yang membuat Makci tertarik.

Rasa ketertarikan itu semakin menjadi saat mata Makci menangkap pemandangan indah. Di depannya, Iqbal sedang memasang mimik serius untuk bertempur dengan kuas dan cat. Satu kata terlintas dibenak Cinta, keren!

Andai saja genk ciwi-ciwi berada di sini sudah pasti mereka akan bertingkah histeris. Mamih bertugas sebagai pemandu suara meneriaki kata keren. Bundo ingin mencium keringat Iqbal yang sedari tadi mengucur deras. Vini hanya tersenyum kecil, dalam hati ingin melakukan apa yang dilakukan oleh Bundo, namun tertahan karena gengsi. Kalau.... Regita?

"Kenapa?" Iqbal tiba tiba bertanya membuyarkan lamunan Makcin. "Kenapa lihatin gue?" kata Iqbal melengkapi pertanyaannya.

"Loe tadi nyuruh gue lihat ke depan, kan?" alih alih menjawab pertanyaan seperti itu, makci sebenarnya ingin berkata seperti ini habisnya loe keren banget, sayang kalau gue sia-siakan pemandangan sekeren ini. Tapi gak jadi karena Cinta gengsi.

"Sketsanya udah selesai dari setengah jam yang lalu. Jadi loe udah bebas ngapain aja sekarang."

"Huuuft" Cinta menghela nafas, "akhirnya!" Gadis yang sebentar lagi genap berusia dua puluh tahun itu merenggangkan otot-ototnya.

Ternyata menjadi model untuk lukisan sangat melelahkan. Walupun kerjaan Cinta hanya diam tak bergerak. Sebenarnya Iqbal menawarkan tugas membuat lukisan untuk meniru photo saja. Tapi menurutnya meniru di dalam photo nilai seninya akan berkurang.

"Wow, keren!" puji Cinta ketika melihat goresan wajahnya ada di kanvas itu. Cinta mengamati Iqbal yang sedang berusaha membuat sketsa wajah menjadi lebih hidup. Agar dia nyaman mengamati Iqbal, dia mengambil kursi yang sebelumnya dia pakai.

"Bal?!" panggil Cinta. Iqbal tidak menyahut panggilan itu, menoleh pun tidak. "Pernah cium gak?"

"Enggak!" jawab Iqbal tegas.

Makci mengeryit, "Masa?"

"Loe pernah ciuman?"

"Pernah!" tegas Makci meniru intonasi suara Iqbal. "Semua orang juga pernah kali. Loenya aja hidup di jaman purba."

Iqbal diam memandangi perempuan yang katanya pernah ciuman ini. Dari gestur yang dia tampilkan tak terlihat bahwa dia memang pernah benar benar melakukan itu. Apa Cinta berbohong agar terlihat keren?

"Gimana rasanya?" Iqbal tiba tiba jadi penasaran.

"Bau," Iqbal menahan senyum tidak mau menyinggung perasaan Cinta, siapa tahu Makci dan lelaki itu masih berpacaran. Dia patut bersyukur karena hingga detik ini bibirnya belum terkontaminasi oleh bibir orang lain.

"Ya, iyalah bau, Bal! Cium ketek sendiri baunya semerbak. Apalagi kalau keringetan terus keringatnya dibiarkan begitu aja."

Iqbal kembali fokus pada kerjaannya. Dia salah tadi, seharusnya dia tidak menanggapi makhluk di sebelahnya yang tidak pernah serius dalam ucapan.

"Bal?!" panggil Makci lagi. Kali ini apapun kalimat yang dilontarkan perempuan itu dia tidak akan menanggapi. "Seka jangan?"

Iqbal tidak merespon walau dengan kata andalannya berupa deheman, decihan, atau decakan. "Keringetan loe banyak. Gue lap, yah?! Kebetulan gue bawa tisu."

"Hm," deheman Iqbal diartikan iya oleh Makci.

"Tumben? Gue kira loe bakal nolak," ujar Makci disela-sela aktivitasnya mengelap pelipis Iqbal.

"Gue takut loe pingsan karena bau keringat gue." Tatapan serius milik Iqbal terganti dengan tatapan tanda tanya. Kenapa Cinta diam?

Cinta memberanikan diri menatap Iqbal dengan lekat. Tangan kanannya masih melekat pada tulang pipi Iqbal. Sedangkan tangan kirinya mengempal, menahan rasa gugup yang kini diderita.

"Bal!" tiba tiba Iqbal merasa panas dingin mendengar panggilan kecil yang terdengar manis. Iqbal merasa aneh sebenarnya sensasi apa yang dia rasakan? Kenapa dia bisa mendadak sakit dalam waktu sekejap. Apa suara halus milik seorang gadis mampu membuat imunitas tubuhnya menurun?

Mereka masih mempertahankan posisi mereka sampai detik ini. Iqbal yang diam mematung dengan cat air ditangannya. Hingga akhirnya Cinta mendekat pada telinga Iqbal.

"Keringet orang keren gak akan mungkin bau Bal!"

------

Maul meninggalkan kelas setelah dosen yang mengajarnya keluar beberapa menit yang lalu. Dia berjalan menunduk menatap benda persegi panjan di genggamannya. Maul bersabar untuk mendapat balasan dari orang yang dia hubungi lewat aplikasi whatsapp. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Pahrijal.

"Hai, bro!" sapa Pahrijal.

"Loe lihat Iqbal?"

"Dia lagi sama cewek. Beuhh itu cewek bening banget. Tapi sayangnya mau aja tuh cewek diapelin di ruang seni."

"Jadi Iqbal di ruang seni?" tanya Maul memastikan.

"Yoi," jawab Pahrijal. "Ngapain loe cari dia? Demen ya, loe sama di—" Maul pergi meninggalkan Pahrijal tanpa mendengar kalimat absurd yang akan dilontarkan sahabatnya.

"Kutu buset! Ngaleos weh siga jurig¹."

"Ahh, tai!"

-----------------------------------------------------------

1. Pergi gitu aja kaya hantu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Non InvitatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang