Kejujuran

1.3K 88 1
                                    

Hari Minggu pagi, Vina dan Mira tengah berkutat di toko, melayani para pelanggan Sun Bakery yang tampak lebih ramai dari hari-hari biasanya. Nusa pamit pulang dari jam 5 pagi, meninggalkan nasehat pada Vina agar tidak membiarkan Mira kelelahan. Vina berkali-kali memperhatikan wajah pucat Mira, khawatir akan kondisinya setelah pingsan kemarin malam.

"Gue gak apa-apa, Vin. Lu jangan ngelihatin gue terus," ujar Mira sambil tangannya sibuk memasukkan sederetan angka di mesin kasir.

"Lu yakin? Lu istirahat aja, Ra. Muka lu pucat," kata Vina.

"Gue gak apa-apa, Vin. Serius."

Mira tersenyum hangat, menyampaikan pada Vina bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi sahabatnya itu tetap tampak cemas, mengingat Mira bisa setenang ini setelah insiden kemarin, membuat Vina tidak langsung percaya. Bel pintu berbunyi, masuklah seorang pria yang sosoknya tidak ingin ditemui Mira dalam waktu dekat ini. Ryan berjalan ke arah Mira, menyerobot dan berdiri di antrean paling depan.

Mira menghirup napas dalam, mencoba menguasai dirinya agar tidak melakukan hal-hal bodoh. Namun, hatinya tak mampu berbohong, rasanya sakit sekali saat menatap wajah laki-laki yang hingga kini masih amat sangat dicintainya. Gumpalan air berkumpul di sudut mata Mira, sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menangis.

"Ra," kata Ryan, tidak menghiraukan tatapan antrean pembeli yang sedang berdiri di depan meja kasir.

"Biar gue yang ganti jaga, Ra. Kalian bicara saja dulu di luar," kata Vina mencoba mengusir rasa canggung.

Mira membuang napas dalam untuk kesekian kalinya. Dia beranjak dari meja kasir dan berjalan keluar dari toko, diikuti oleh Ryan yang gusar menatap punggung mungil mantan kekasihnya. Mira berdiri di depan mobil Innova putih milik Ryan, tangannya bersedekap.

"Apa kita bisa bicara di tempat lain?" tanya Ryan pelan, ada kesedihan dalam nada bicaranya.

"Di mana pun tidak ada bedanya," jawab Mira ketus.

"Ayo masuk mobil, kita akan bicara di tempat yang lebih nyaman," kata Ryan meraih tangan Mira.

"Tidak perlu, Mas. Bicara di sini saja," kata Mira sambil menepis tangan Ryan.

"Ku mohon, Ra."

Mira menatap wajah Ryan. Laki-laki itu tampak berantakan. Rambutnya tak serapi biasanya, kemejanya dibiarkan keluar dari celana, dan ada lingkaran hitam yang muncul di matanya. Beginikah tampilan seorang laki-laki yang baru saja bertunangan? Begitu berantakan.

Ryan membuka pintu mobilnya, mereka bertatapan sebentar sebelum Mira akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobil. Ryan berputar ke samping, duduk di kursi sopir. Sejurus kemudian, mobil itu melesat pergi. Jauh meninggalkan Sun Bakery. Mira melepas apron yang sedari tadi dipakainya, pikirannya terus terfokus pada Ryan hingga lupa melepas apron kerjanya.

"Pakai sit belt, Ra!" perintah Ryan.

"Bukankah kita sebentar lagi akan berhenti?" tanya Mira.

"Tidak, Ra. Perjalanan kita akan cukup jauh. Jadi, tolong pakai sit belt."

Mira tidak membantah lagi, dia mengenakan sabuk pengaman dan kembali fokus menatap jalan. Mira terus menebak kemana kira-kira Ryan akan membawanya. Terkadang dia mencuri pandang ke arah Ryan, merasakan jantungnya masih terus berdebar. Dia masih sangat mencintai laki-laki ini, bahkan duduk berdekatan seperti ini saja sudah mampu menciptakan debaran kuat di jantungnya.

Sekitar 30 menit berkendara dalam keheningan tanpa sepatah kata pun, Ryan membelokkan mobilnya masuk ke area parkir sebuah restoran. Ryan dan Mira turun saat petugas valet datang menghampiri mobil Ryan, menawarkan jasa parkir mobil. Ryan menyerahkan kunci mobilnya ke petugas dan menggandeng tangan Mira, masuk ke dalam restoran.

PAINFUL LOVE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang