16

80 8 17
                                    

Pagi masih gelap dan sepi, jarum jam di atas meja belajar Nadine baru menunjukkan pukul 5 pagi.
Nadine sudab babgun dan tekadnya sudah bulan pagi ino ia akan membulatkan tekad untuk kabur.
Dia udah gak tahan kalo terus-terusan seperti ini. Nadine menatap foto Mama yang di gantungin di dinding kamarnya. Mendadak dia pengen nangis lagi.

Nadine membuka jendela kamarnya perlahan. Dengan cepat ia membongkar lemari, mengambil sprei yang di ikat supaya bisa jadi panjang. Saat itu juga Nadine melihat topi di sebelah sprei dan selimut.

Oh iya! Jaga-jaga supaya gak ada yang ngenalin

Nadine langsung memakai topi itu dan kembali melanjutkan pekerjaan nya mengikat sprei lalu menjatuhkannya ke bawah jendela.

Setelah yakin ikatan sprei ke kaki tempat tidur cukup kuat, Nadine mengambil tas nya dan dengan cepat turun ke bawah.

Satu bagian sudah kelar. Nadine mengendap-endap berjalan ke samping, tempat tembok setinggi dua meter yang langsung bersebelahan dengan gang kecil. Nanti dari situ dia bisa langsung lari ke jalan raya yang cuma berjarak 500 meter lagi. Lagian kalo dari situ gak ribet soalnya ada tangga kecil setinggi kurang dari satu meter.

Untung tangga nya gak di simpen di dalem, batin Nadine.

Nadine dengan cepat mendekatkan tangga ke tembok, berusaha bergerak sepelan mungkin. Setelah berdiri diatas tangga, Nadine mengeluarkan ponsel nya dari tasnya karna tas itu akan ia lemparkan terlebih dulu dan sebelumnya ia amankan ponselnya.

Yes! Nadine sukses mendarat di seberang. Sekarang mau ke mana? Pikir Nadine sambil membetulkan letak topinya yang sudah miring. Nadine menoleh mencari tasnya, tiba-tiba terlihat dua pasang kaki serta tas Nadine yang di pegang salah satu orang itu.

Oh God! Salah rencana!

Ferris segera mengunci pintu gerbang dan membawa tas Nadine masuk ke dalam, membuat Nadine diam mematu di posisinya berdiri.

Mau kabur gimana kalo semua perlengkapan dan dompet ada di tas itu?

Nadine pasrah.
Dia berdiri di depan, di halaman dan masih belum mau masuk.

Sementara Cetta?
Dia juga masih ada di halaman. Di depan Nadine tepatnya.

Dari tadi Nadine cuma menunduk. Waktu dia ketangkep sama Cetta dan Ferris juga, Nadine gak sekalipun mengangkat wajahnya. Nadine emang salah rencana. Ini hari minggu, jadwal jogging Ferris dan Cetta, sengaja mereka memilih subuh gini karna udara masih bersih dan belum ada polusi.
Kayaknya Nadine kebanyakan nangis beberapa hari ini sampai gak inget ini hari apa.

Cetta menatap Nadine tanpa berkedip. Dia masih gak abis pikir, apa yang bikin Nadine mau kabir kayak gitu. Walaupun dia sempet curiga penyebabnya adalah Gladys. Karna kemarin Mesyha sempet cerita curhatan Nadine mengenai Gladys. Dan ia tahu kata-kata Gladys sangat menyakitkan bagi Nadine karna dia menghubungkan dirinya dengan kematian Mama nya.

Setelah mendengar cerita itu, tanpa berfikir panjang Cetta langsung menceritakannya ke Ferris dan mereka berdua langsung ke rumah Gladys. Awalnya Gladys gak mau ngaku, tapi akhirnya dia cerita juga. Semuanya.
Dan setelah mendengar pengakuan itu, Ferris langsung emosi. Bener-bener emosi.

Saat itu lah Cetta melihat kemarahan di mata Ferris. Bahkan hampir saja dia menampar Gladys, kalo gak keburu di cegah olehnya. Ferris bener-bener gak bisa maafin Gladys.

Gak hanya itu, Cetta juga sempat dengar curhatan Nadine ke Mbak Igla tentang Audi. Dan dari situlah Cetta tai Nadine cemburu pada Audi. Dan sejujurnya Cetta benar-benar sudah tidak ada perasaan apa-apa pada Audi, saat ini hanya Nadine lah orang yang paling berarti baginya.

Ketua OSIS (KETOS) - PARK CHANYEOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang