Jungkook menutup kasar bukunya, dan beranjak dari meja belajar. Entah kenapa ia tidak bisa fokus mengerjakan tugasnya. Ia mencemaskan namjoon, ia sudah mencoba menelfon ponsel namjoon beberapa kali, namun selalu operator yang menjawabnya. Ia merutuki kebodohonnya karena tidak meminta nomor hoseok ataupun seokjin. Ia mengambil jaket serta dompetnya dan melangkah keluar kamar, memutuskan pergi ke rumah namjoon hanya untuk memastikan namjoon sudah sampai di rumah baik-baik saja.
"Tuan muda anda mau kemana?" Dengan santai jungkook menuruni tangga rumahnya mengacuhkan panggilan dari orang yang di percayakan ayahnya untuk mengawasinya selama ini.
"Tuan muda, anda tidak di perbolehkan keluar malam"
Jungkook membalikkan badannya dan menatap kesal pria paruh baya di depannya."Mr. Oh, bukan hak anda mengatur saya, saya hanya keluar sebentar, anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan berbuat macam-macam, saya hanya ingin mengunjungi seorang yang berharga untuk saya, permisi"
Jungkook menghela nafasnya, dan mulai melanjutkan langkahnya, ia lelah selalu di awasi dan di kekang di rumahnya, biar saja ia terlihat kurang ajar pada orang yang lebih tua darinya, ia sungguh sudah muak menghadapi orang-orang utusan ayahnya tersebut.Jungkook berdiri di depan gerbang rumahnya dengan ponsel di tangan memesan taxi, namun pandangannya teralih saat sebuah mobil berhenri tepat di depannya, ia memutar bola matanya malas.
"Tuan muda, kalau begitu izinkan saya mengantar anda, berbahaya jika anda pergi sendirian" ucap pria paruh baya di balik kemudi mobil tersebut, yang hanya di balas tatapan tajam dari jungkook.
"Saya tidak akan melaporkannya pada tuan besar jika tuan muda mengizinkan saya" ucapnya lagi meyakinkan jungkook yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
Ia tersenyum saat jungkook akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan mulai menjalankan mobil menuju alamat yang di tunjukkan jungkook padanya.
.
.
.
Namjoon merutuki kebodahannya, ia baru ingat jika ia tidak pernah keluar sejauh ini sendiri dari rumahnya selama ini, membuat otak cerdasnya tak pernah mengingat jalan di sekitarnya saat berkunjung karena ada seokjin ataupun dokter song di sisinya. Bagaimana ia akan pulang? ingin memesan taksi tapi sayang uang yang ia bawa sudah habis saat menaiki bus tadi. Ponselnya pun sudah mati beberapa jam yang lalu karena kecerobohannya lupa mengisi ulang dayanya semalam. Dengan langkah gontai ia berjalan tanpa arah dan memutuskan berhenti di halte terdekat, bergabung dengan kerumunan orang-orang yang menunggu kedatangan bus tujuan mereka. Namjoon mulai risih saat semua orang di sana menatapnya aneh, bahkan beberapa dari mereka menggeleng-gelengkan kepala melihat ke arahnya."Hey, anak muda, kenapa kau tidak memakai mantel di cuaca sedingin ini?" Namjoon menolehkan kepalanya dan menatap wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya dan kemudian menatap pakaiannya. Bodoh, kenapa ia baru sadar, sudah pasti semua orang akan menganggapnya aneh karena keluar hanya memakai seragam di cuaca sedingin ini.
"Ah, a..aku lupa membawanya ahjumma, aku kira malam ini tidak akan turun salju" namjoon menggaruk tengkuknya menahan malu karena semua orang mendengar alasan bodohnya.
"Ay, kau bodoh sekali, kau bisa sakit setelah ini, berendam lah langsung dengan air hangat saat sampai di rumah" namjoon mengangguk dan berterimakasih atas saran yang diberikannya, tak lama bus pun datang, ia hanya terpaku melihat orang-orang yang berdesakan memasuki bus, dalam sekejap halte menjadi sepi meninggalkannya seorang diri. Ia hanya berdiri di sana dengan harapan seseorang datang menjemputnya.
.
.
.
Entah sudah berapa lama taehyung berjalan mondar-mandir di ruang utama rumahnya dengan ponsel di telinganya. Ia menghela nafas lagi saat nomor yang ia hubungi tidak mengangkat telfonnya. Ia mendial nomor tersebut kembali, berharap kali ini akan di angkat."Hyung, bagaimana? Apa kau sudah menemukan namjoon hyung?" Tanyanya langsung saat telfonnya tersambung.
Ia dapat mendengar jelas helaan nafas panjang dari sebrang ponselnya.
"Maafkan aku tae, aku masih belum menemukannya, aku akan mengitari daerah ini lagi, kau tunggu saja, akan aku kabari langsung setelah menemukannya""Baiklah hyung, tolong kabari aku secepatnya hyung"
"Oke tae, bagaimana dengan seokjin hyung? Apa sudah ada kabar?"
"Seokjin hyung tidak mengangkat telfonnya hyung, aku rasa dia sedang fokus melihat jalan sekitar."
"Oke, coba terus hubungi ponsel namjoon tae, bisa saja sewaktu waktu ponselnya aktif"
"Ne hyung"
Ucapnya dan mematikan sambungan telfon. Ia manarik rambutnya frustasi, kesal pada dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kabar. Ia memfokuskan panggilannya kembali ke nomor namjoon dan terhenti beberapa menit kemudian saat mendengar ketukan di pintu rumahnya.
.
.
.
Seokjin memelankan laju mobilnya saat mencapai daerah gangnam, ia menajamkan penglihatannya mencari sosok yang sangat berharga baginya. Jantungnya masih berdetak tak karuan saat mendapat kabar tiba-tiba dari taehyung dan penjelasan hoseok mengenai perginya namjoon. Tanpa fikir panjang ia memutar arah mobilnya dan di sinilah ia saat ini, menulusuri sepanjang jalan berharap menemukan presensi adiknya.
.
.
.
Salju mulai turun semakin lebat membuat kondisi jalan semakin sepi, hanya satu dua mobil terlihat melintas, namun tidak membuat namjoon beranjak sedikit pun dari posisinya. entah kenapa badannya susah digerakkan, tubuhnya serasa kaku. Ia meletakkan tangannya di dadanya merasakan detak jantungnya yang kian melambat dan nafasnya yang mulai sesak. Ia mungkin tidak merasakan dinginnya salju, tapi ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin lemah dan lemah setiap detik berlalu. Ia menyandarkan kepalanya di dinding halte dan memejamkan matanya saat pandangannya mulai memburam, apakah hidupnya akan berakhir di sini? Tidak, ia tidak ingin mati konyol karena ke egoisannya sendiri, setidaknya biarkan ia berbaikan dengan sahabatnya terlebih dulu, batin namjoon di ambang kesadarannya.
.
.
.
"Bagaimana? Sudah ada kabar dari seokjin?""Belum hyung, taehyung bilang seokjin tidak mengangkat telfonnya"
Jawabnya dan kembali fokus melihat sisi jalan. Kondisi jalan yang sepi membuat pandangannya lebih leluasa melihat sekitar. Ia menajamkan matanya saat melihat sosok namja dengan seragam yang sama dengannya terduduk lemas di halte seberang jalan. Matanya membulat sempurna saat menyadari sosok tersebut."Hyung! Berhenti, itu namjoon"
Yoongi melihat arah yang di tunjuk hoseok segera membawa mobilnya ke seberang jalan, jantungnya serasa berhenti berdetak melihat kondisi namjoon yang hampir tak sadarkan diri terkulai lemas dengan bibir pucat yang hampir membiru."Ho..hobi"
Hoseok menangis histeris dan memeluk tubuh sahabatnya, tangannya tersentak saat bersentuhan dengan kulit dingin namjoon.
"Hoseok! Cepat masukkan dia ke dalam mobil!" Hoseok tersentak mendengar teriakan yoongi yang membuka pintu belakang mobil."Joonie, hiks, bertahanlah, kita akan ke rumah sakit" hoseok tak bisa menghentikan tangisannya, masih dengan berderai air mata ia membawa namjoon, membaringkan tubuh lemas sahabatnya dan meletakkan kepala namjoon di pangkuannya.
"Mianhae, hiks, joonie, maafkan aku ini salahku" namjoon membuka matanya saat air mata hoseok menyentuh kulitnya.
"Ho..hobi-ah, ul..ji...ma" namjoon berusaha mengangkat tangannya yang sudah mati rasa, perlahan ia mencoba menyentuh wajah hoseok dan menghapus air matanya.
"Mi...anhae" lirihnya di ambang kesadarannya.
"Andwe, jebaall bertahanlah, sebentar lagi kita sampai" teriak hoseok saat namjoon menutup kelopak matanya dan tangannya yang semula di pipi hoseok jatuh terkulai lemas di sisinya.
"Joonie, hey joonie, jeball bertahanlah" dengan tangannya yang bergetar, hoseok menepuk nepuk pipi dingin namjoon mencoba menyadarkan sahabatnya kembali, tidak namjoon tidak boleh menutup matanya, ia takut tak akan melihat sahabatnya membuka matanya kembali.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Meaning of Life
FanfictionDia menyadari bahwa tubuhnya terdapat bom, bom yang bisa meledak sewaktu-waktu tanpa dia sadari. Akankah dia dapat bertahan dengan kondisinya ini? My first story. Just newbie.