2. Penguntit Bucin

1.4K 206 80
                                    

Kadar ke-bucin-an Seokmin meningkat dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya.
_____

Jisoo meneguk banyak air putih. Tidak puas hanya dengan satu gelas, diambilnya lagi gelas berikutnya. Habis dalam hitungan detik. Rasanya tenaga Jisoo telah habis. Entah karena apa. Yang pasti bukan karena meniti anak tangga hingga ke lantai 4. Jisoo sudah terbiasa. Sudah sebulan lebih lift mengalami kerusakan. Hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan mengalami perbaikan. Pemilik rumah susun memang terkenal pelit. Terlambat bayar sewa sehari saja, siap-siap aliran air diputus tanpa diberi peringatan.

Akibat terlalu banyak berpikir, mungkin. Seharian penuh Jisoo berpikir keras. Bahkan malam ini ia memutuskan untuk menulis artikel ringan saja. Bukan kasus berat seperti biasanya. Beruntung ia masih memiliki stock draf siap edit. Tidak memiliki mood mencari berita tadi sore. Malah melamun di halte. Seperti orang yang telah kehilangan tujuan hidup.

Mengingat apa yang dipikirkannya seharian ini, membuat Jisoo menggigit bibir bawah kuat-kuat. Meringis kemudian. Rasanya mengeluh tidak memungkinkan lagi. Sudah cukup tadi siang dihabiskannya waktu hanya untuk mengeluh selama berjam-jam. Tidak memberi efek positif. Malah membuat pikiran semakin semerawut. Bagaimana caranya ia mendapat pekerjaan baru dalam waktu kurang dari 2 minggu? Mengingat semakin menipisnya lowongan pekerjaan, rasanya mustahil.

Hubungi teman lalu meminta pertolongan? Jisoo menggeleng kuat. Meski sudah hidup di ibu kota selama lebih dari lima tahun, Jisoo tidak memiliki satu pun teman dekat kecuali orang-orang kantor. Itu pun tidak bisa dikatakan akrab. Hanya sebatas formalitas karena berada di perusahaan yang sama.

Tangan memegangi meja makan. Kepala menunduk ke bawah. Kaki kanan menendang angin berkali-kali. Berpikir lagi. Malah tanpa sengaja menendang belanjaannya. Isinya tergerai berantakan. Dengan cepat Jisoo merapikan kembali. Sekalian saja diletakkan ke tempat yang seharusnya. Mie instan, roti dan sedikit beras diletakkan di lemari. Sayur, buah, dan ikan yang jumlahnya jauh kalah banyak dengan mie instan diletakkan di kulkas. Lalu yang terakhir, tiga kaleng kornet...

Jisoo diam. Kening mengerut. Tidak habis-habisnya berpikir. "Noona Jendela?"

Monolog Jisoo mengingat diri sendiri pada pemuda yang tidak sengaja ditemuinya di mini market dekat halte. Terlebih lagi ekspresi anehnya di saat pertama kali melihat Jisoo. Pingsan. Bertemu dengan Jisoo sudah seperti melihat setan. Membulatkan mata, mulut tidak kalah lebarnya dibuka, menunjuk sambil meneriakkan "Noona Jendela" sebelum pingsan. Saat itu, Jisoo segera menoleh ke kiri, kanan, dan belakangnya. Berpikir bahwa ada kemungkinan orang yang pemuda itu teriakkan adalah orang lain. Tapi nyatanya dugaan Jisoo salah besar. Tidak ada orang lain, selain dirinya.

Jisoo jadi takut. Khawatir dikira telah membunuh seseorang. Dengan hati-hati Jisoo meraih belanjaannya kembali. Meninggalkan pemuda aneh itu begitu saja. Tanpa disangka dengan langkah seperti pinguin pemuda itu malah mendatangi Jisoo lagi. Mengulurkan tangan. "Noona Jendela, senang sekali bertemu denganmu secara nyata. Maaf, tadi nyawaku kabur. Tapi aku berhasil menangkapnya, sebelum malaikat pencabut nyawa datang. Jadi aku masih hidup."

Jisoo masih diam. Enggan menyambut uluran tangan tersebut. Yakin pemuda itu telah salah mengenali orang.

Si mancung kembali meracau. "Namaku Lee Seokmin. Aku tetangga Noona Jendela," katanya. "Setiap hari aku melihat Noona Jendela melalui jendela."

Teringat dialog itu, dengan segera Jisoo meletakkan kaleng-kaleng kornet di sembarang tempat. Menyalakan lampu ruang tengah. Menyibak korden jendela. Sungguh terkejutnya ia begitu melihat apa yang ada di seberang sana. Dari salah satu kamar apartemen mewah tepat samping rumah susun tempat tinggalnya, ada seseorang yang tengah berdiri di balkon. Bahkan melambaikan tangan tinggi-tinggi, seolah menunggu kehadiran Jisoo di sana.

Sugar Boy (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang