Entah disadari atau tidak, banyak hal yang berubah semenjak Jisoo mengenal pemuda mancung bernama Lee Seokmin. Entah hal tersebut akan masuk ke dalam kategori hal baik, atau malah hal buruk. Mungkin pula masuk ke dalam keduanya, atau bahkan tidak masuk ke dalam keduanya. Jisoo tidak mengerti. Namun yang jelas, berkat kedatangan Seokmin yang secara tiba-tiba ini, hidup Jisoo menjadi lebih tertolong.
Jisoo coba berpikir sejenak. Kalau saat belanja di mini market dekat halte setelah dipecat kemarin ia tidak bertemu dengan Seokmin, apa yang akan terjadi?
Mungkin Jisoo masih pengangguran. Atau mungkin juga Jisoo sudah mendapat pekerjaan baru, tapi hanya menjadi seorang penjaga di salah satu toko dengan gaji pas-pasan. Akibat umur yang sudah tidak bisa lagi dikatakan muda. Begitu jarang ada perusahaan yang mau menerima. Kalau pun ada, pasti yang dicari adalah yang berpengalaman selama bertahun-tahun untuk mengisi jabatan tinggi. Jisoo yang minim pengalaman bisa apa?
Belum lagi ketika Jisoo mengalami hal buruk yaitu dikejar oleh seorang penjahat, akibat kelicinan jari-jarinya dalam mengetik berita. Siapa yang akan menyelamatkan Jisoo kalau bukan Seokmin? Mengingat Jisoo adalah pribadi yang begitu sulit akrab dengan orang lain, tidak ada. Tidak akan ada yang menyelamatkan Jisoo. Jadi kemungkinan besar Jisoo sudah mati terbunuh di depan pintu kamarnya sendiri.
Meninggal dunia tanpa pernah merasakan bagaimana indahnya pernikahan, memiliki anak, lalu membesarkan mereka hingga memberi Jisoo cucu. Oh my! Itu sangat mengerikan. Jisoo merinding ngeri membayangkannya.
Akan tetapi, ketakutan Jisoo ini bukan berarti bahwa ia telah menyesal karena sudah menyebarluaskan kebenaran di balik berita tabrak lari yang telah melayangkan nyawa seorang murid taman kanak-kanak itu. Sejujurnya, di antara banyaknya rasa takut dan was-was yang berusaha keras dipendam, Jisoo juga mendapat perasaan puas. Puas, karena sudah berhasil mengemukakan kebenaran. Anak yang menjadi korban harus mendapat keadilan, dan pelakunya harus mendapat hukuman yang setimpal.
Menoleh ke kiri, Jisoo diam memandangi korden jendela kamarnya yang tertutup. Entah dorongan dari mana, ia jadi begitu tertarik untuk mendatangi. Tapi sebelum itu, Jisoo coba mengambil ponsel genggam. Mengecek jam. Sudah jam 11 malam. Apa Seokmin sudah tidur?
Sebelum Jisoo pulang, pemuda berhidung mancung itu sempat bilang kalau matanya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan terlelap. Akibat minum kopi terlalu banyak di sore hari. Jisoo sempat memarahi. Berpesan agar cukup meminum kopi di pagi atau siang hari saja. Agar tidak sampai mengganggu jam tidurnya.
Merangkak seperti bayi, dengan sedikit kesulitan Jisoo berusaha menjangkau korden berwarna kuning kusam itu dari ujung tempat tidurnya dengan mengandalkan kaki. Terlalu malas turun. Mengintip sedikit. Dari celah yang berhasil dibukanya itu, Jisoo bisa melihat balkon apartemen Seokmin. Lampunya masih menyala. Sebuah pertanda bahwa si penghuni apartemen belum juga pergi tidur. Cukup. Jisoo kembali menutup kordennya. Masih dengan kaki. Duduk bersila tanpa mengubah posisi sedikitpun. Mengecek ponsel genggamnya sekali lagi. Buka aplikasi chatting.
Pesan terakhir Seokmin ia terima tadi siang. Mengingatkan Jisoo agar tidak makan apa pun sebelum datang ke apartemennya. Peringatan ini Jisoo terima akibat kemarin ia sempat menolak hidangan makan malam yang sudah Seokmin siapkan. Beralasan sudah makan sebelum berangkat ke apartemen Seokmin. Tidak berbohong. Jisoo sungguhan sudah makan di jam 4 sore. Sudah benar-benar kenyang, walau sekadar memasukkan sup ikan buatan Seokmin dalam beberapa suapan. Seokmin kecewa setengah mati. Alhasil, sup ikan itu Jisoo bawa pulang. Dimakan besok paginya setelah dipanaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Boy (✓)
Fanfic[SEOKSOO GS Fanfiction] Sugar Boy? Satu buah tamparan langsung Seokmin terima begitu tawaran kerja nyeleneh itu diucapkan. Gila memang. Jisoo sampai tidak habis pikir. Tapi nyatanya, tawaran kerja dari Seokmin yang sangat tidak masuk akal itu akhirn...