Aku membuka gulungan kertas kecil yang sedari tadi kupegang. Ini adalah pembagian kelompok yang biasa dilakukan oleh para guru setiap mata pelajaran agar seluruh murid dapat membentuk kelompok secara adil, jauh dari pilih-pilih teman. Pembagian kelompok hari ini adalah untuk mata pelajaran Seni Budaya. Kami diberi tugas untuk memainkan drama dari sebuah legenda atau cerita yang terkenal di Indonesia bulan depan, sebagai nilai ujian semester yang akan datang. Dengan pembagian kertas secara acak, kecil kemungkinan bagiku bisa sekelompok dengan Sita atau Lyra. Sebenarnya bagus karena aku punya kesempatan untuk berbaur dengan teman-teman lain yang belum terlalu kukenal, namun aku terlalu takut memulai percakapan dengan yang lainnya. Aku melihat gulungan kertas secara pelan, tertulis angka 2 di kertas tersebut. Itu tandanya aku kelompok 2.
"Ta, dapat nomor berapa?" aku menyikut Sita yang terlihat santai menggulung kembali kertas kecil tersebut.
"Kelompok 4, Kar. Kamu?"
Aku mengeluh sedikit kecewa, "Kelompok 2," jawabku pelan lalu berbalik ke belakang, tempat Lyra duduk.
"Lyra, kelompok berapa?" tanyaku padanya, berharap ia akan menjawab kelompok dua.
"Aku dapat kelompok 1. Apa itu artinya aku dapat giliran tampil pertama?" Lyra terlihat lebih kecewa dariku. Aku hanya tersenyum kecut. Gulungan kertas tersebut mulai kugenggam sambil menyapu seisi kelas, mencari tahu siapa saja yang akan satu kelompok denganku.
"Semuanya sudah dapat kertasnya, kan? Masing-masing kelompok pindah ke lokasi duduk yang sudah ibu tentukan ya," ujar bu Nadia, guru pelajaran seni budaya yang mengajar di kelasku. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan berpindah ke tempat duduk yang sudah diperintahkan bu Nadia, sesuai dengan nomor kelompok. Satu persatu siswa sudah mengisi seluruh kursi yang ada di kelompok 2, sebelum aku sadar bahwa kursi kosong yang ada di sebelah kiriku telah diisi oleh seorang murid laki-laki yang konyol. Mataku membesar menatap Rama yang cengar-cengir melihatku. Aku tak tahu apa aku harus senang atau merasa biasa saja ketika menyadari ia ada di kelompok yang sama denganku.
"Kamu kelompok 2?" tanyaku memastikan padanya.
"Iya, kebetulan sekali ya," ujarnya dengan senyum lebar. Aku hanya membalas senyumnya senang. Aku yakin sekali senyumku kali ini bukan sekedar senyum kecil.
"Halo Karina, Rama," sapa seorang perempuan yang duduk di sebelah kananku sambil tersenyum. Aku balas tersenyum menatapnya.
"Halo Mita," sapaku. Banyak teman yang cukup kukenal, walau mungkin hanya berinteraksi dua atau tiga kali. Kami mulai berdiskusi drama apa yang akan diperankan, sesekali disertai canda tawa. Aku cukup menikmati diskusi yang berjalan.
"Jadi sudah ada tiga pilihan cerita yang bisa kita angkat jadi drama. Ada Malin Kundang, Roro Jongrang, dan Siti Nurbaya. Kalian mau yang mana, nih?" Indra, salah satu anggota kelompokku menanyakan pilihan terakhir setelah kami menyaring cerita yang akan dijadikan drama. Aku berpikir keras, berusaha menemukan cerita yang tidak terlalu sulit diperankan.
"Malin Kundang sudah biasa dijadikan drama, bagaimana kalau Roro Jongrang?" sahut Hilda.
"Kalau Roro Jongrang sepertinya sulit diperankan, harus banyak properti dan harus banyak pemeran. Sementara kita hanya tujuh orang," ujar Mita diikuti anggukan yang lain.
"Siti Nurbaya saja, mau tidak? Kita ubah dengan konsep yang sedikit modern?" Saran seorang gadis yang kukenal sebagai Linda. Idenya menarik, menurutku. Teman-teman yang lain terlihat berfikir sebelum akhirnya mengangguk setuju.
"Boleh juga, Siti Nurbaya saja ya," tanya Indra sembari melihat kami satu persatu, mencari tahu apakah ada penolakan yang diberikan dari anggota kelompok. Aku mengangguk setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romance"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...