Kurasa latihan drama selanjutnya berjalan lebih... kaku dari biasanya. Aku yang lebih kaku, maksudku. Setelah kejadian di laboratorium biologi, aku merasakan desir yang berbeda ketika bertemu Rama, apalagi bila secara tidak sengaja kami bersentuhan. Sungguh, aku bisa dengan tiba-tiba menarik diri sedikit menjauh, tidak ingin ia sadar dengan degup jantungku yang semakin kencang.
Hari ini adalah hari penampilan drama kami di depan kelas. Aku merasa sepuluh kali lebih gugup dari biasanya. Segala kekhawatiran muncul, membuat perutku mulas dan mual. Aku mulai menyeka keringat yang mengalir di dahi. Bagaimana kalau aku lupa dengan dialog yang seharusnya kuucapkan? Bagaimana kalau aku lupa adegan apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau aku tiba-tiba pingsan di depan? Bagaimana kalau aku tiba-tiba kentut dan aromanya menyebar hingga ke seluruh ruang kelas? Aku menutup mataku rapat-rapat berusaha menghilangkan perasaan gundah tersebut.
"Jangan gugup," seseorang berbisik tepat di telingaku, membuatku sedikit tersentak karena kaget. Aku kenal suara ini.
"Iya, Rama," ucapku sambil meremas jemari.
"Aku juga gugup, tapi kurasa kita bisa memainkan peran dengan baik. Percaya padaku," lanjutnya disertai senyum yang mengembang. Ya ampun, jangan sekarang kumohon, aku memegang dadaku secara refleks karena mulai merasakan degup jantung ini mulai kencang. Ia menatapku bingung.
"Kenapa, Karina?" Ia mulai terlihat serius, aku menggeleng kuat.
"T-tidak, aku tidak apa-apa. Ayo, sudah mau dimulai," jawabku cepat lalu melengos pergi menuju panggung kelas yang tak lain adalah area kosong di depan kelas. Drama yang kami pentaskan berjalan dengan cukup lancar selama 15 menit, meskipun ada adegan-adegan yang tak terduga seperti Mita yang tiba-tiba berimprovisasi menjadi penjual sayuran ditengah-tengah pertempuran antara Samsulbahri dan Datuk Meringgih, atau saat Rama bertingkah lucu secara tiba-tiba. Seisi kelas terlihat tertawa. Awalnya aku merasa sangat gugup, namun setelah melihat Rama dan anggota lain yang terlihat santai, aku pun menjadi lebih santai dan menikmati peranku. Drama yang kami perankan mendapat tepuk tangan meriah, walau hanya tepuk tangan yang berasal dari teman-teman kelas, namun aku sangat senang dan tak dapat berhenti tersenyum.
Aku berjalan menuju bagian kelas paling belakang, menyusun properti yang sudah kami bersihkan, teman-teman kelas mulai sibuk menyusun untuk properti penampilan drama kelompok selanjutnya. Aku melihat Rama sekilas, ia terlihat sibuk memperbaiki rambutnya yang diubah selama drama berlangsung tadi. Ia balas menatap mataku, lalu datang mendekatiku dengan senyum yang menjadi ciri khasnya.
"Kamu memainkan peran dengan baik, Karina," puji Rama. Aku tersenyum kikuk.
"Terima kasih, Rama. Kamu juga lucu sekali tadi," balasku.
"Istirahat ini, mari makan bakso mamang sama-sama. Aku jadi lapar, hehehe," usulnya dengan semangat.
"Boleh. Aku ajak Lyra dan Sita ya," jawabku diikuti anggukan Rama.
***
Lima porsi bakso mamang yang menggugah selera tiba di meja kami. Aku yang duduk paling tepi mengoper mangkuk-mangkuk bakso satu persatu kepada teman makanku. Rama terlihat sangat lapar, ia langsung meracik bakso tersebut dengan kecap dan saus, mengaduknya, kemudian mulai meniup-niup perlahan sebelum melahapnya dengan semangat. Begitu pula dengan Ardy, teman dekat Rama yang juga ikut makan bersama.
Untuk beberapa saat, meja kami terlihat hening. Masing-masing dari kami terlihat sibuk dengan bakso di mangkok sendiri. Tidak ada percakapan dan keributan yang terjadi seperti pada saat kami duduk dan menanti bakso datang. Lyra dan Sita terlihat bergantian menuangkan saus seperti tidak puas dengan rasa pedas yang ada. Mereka memang pecinta pedas. Empat atau lima sendok saus cabai belum tentu cukup, sedangkan aku hanya mampu satu sendok saus. Mangkuk bakso mulai terlihat kosong. Kami menyeruput minuman masing-masing.
"Tidak terasa ya kita sudah mau naik kelas dua," Rama berbicara santai.
"Iya, sebentar lagi kita bakal liburan," sahut Lyra penuh semangat. Ia memang sangat senang bila libur sekolah tiba.
"Biasanya kalau liburan, kalian kemana?" tanya Rama menatap kami satu persatu sambil menyeruput sisa minuman digelasnya.
"Aku biasanya pulang kampung, mengunjungi nenek," jawab Lyra.
"Aku keluar kota," Sita menyahut singkat. Rama menatapku, menunggu jawaban.
"Aku tidak kemana-mana, Rama," jawabku pelan. Memang setiap libur sekolah, jarang sekali aku bepergian jauh, entah itu pulang kampung atau keluar kota seperti yang dilakukan Lyra dan Sita setiap libur sekolah.
"Ohya? Kalau kamu, Dy?" Rama menatap Ardy yang duduk di sebelahnya.
"Aku tidak kemana-mana. Aku tidak punya kampung, hehe," ujar Ardy diikuti tawa kami.
"Hmm... Bagaimana kalau kita jalan-jalan selama beberapa hari ke tempat yang bagus? Semacam wisata," Rama mengusulkan ide yang membuat teman-temanku mengerling satu sama lain.
"Wisata? Kemana?" Lyra terlihat antusias.
"Aku berencana untuk jalan-jalan ke puncak. Ada villa milik ayahku yang biasa kami gunakan bila ada acara keluarga, pemandangannya cukup bagus untuk dinikmati selama beberapa hari. Kalau kalian tertarik untuk ikut, kita bisa pergi selama tiga hari dua malam. Bagaimana?" tawaran Rama jelas menarik perhatian kami. Puncak? Villa? Apa ini semacam piknik tiga hari dua malam secara gratis? Jujur aku pun merasa tertarik.
"Siapa saja yang akan ikut, Rama?" tanyaku. Ia terlihat berfikir.
"Kalian sudah pasti, bila kalian berminat. Mungkin aku akan ajak satu orang lagi, Azlan. Jadi kita berenam, bagaimana?" Rama menatap kami satu persatu dengan penuh semangat.
"Ya... Aku bisa kalau Lyra dan Karina ikut," ucap Sita diikuti anggukan Lyra.
"Aku bisa kalau Karina dan Sita ikut. Tiga hari tidak akan lama, pulang dari puncak aku akan langsung ke rumah nenek di kampung, hehe," sahut Lyra. Rama menatapku penuh harap.
"Aku... tidak bisa..." Rama terlihat kaget mendengar jawabanku, membuatku tersenyum geli lalu melanjutkan, "tidak bisa kalau tidak ikut, hahahaha." Rama terlihat menekuk dahinya, merasa dikerjai. Lyra, Sita, dan Ardy terkekeh karena ekspresi yang ditunjukkan Rama.
"Kamu sudah berani mengerjaiku ya, Karina," mata Rama menyipit ke arahku. Aku tertawa lepas menanggapinya. Setidaknya bukan hanya dia saja yang terus-terusan dapat mengerjaiku, aku juga dapat melakukan hal yang sama.
"Mau berangkat kapan, Ram?" Lyra kembali pada topik kami.
"Kita sudah mulai libur minggu depan, ya? Bagaimana kalo kita pergi minggu depan hari Senin? Kalau berangkat hari akhir minggu pasti ramai sekali," saran Rama yang dibalas anggukan kami semua.
"Kumpul dimana?" tanya Ardy.
"Di rumahku, pastinya. Nanti kita akan pergi dengan mobil ayahku saja," jawab Rama santai. Kesepakatan sudah dicapai. Aku merasa tidak sabar menunggu minggu depan. Selama ini aku, Lyra, dan Sita selalu menginap di salah satu rumah kami bila hendak menghabiskan waktu bersama. Tidak pernah sekalipun berlibur ke suatu tempat selama beberapa hari. Liburan kali ini pastilah menyenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Roman d'amour"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...