"Halo, semua," sapaku pada karyawan toko. Meskipun masih terasa sedikit pusing, aku memutuskan untuk tetap masuk toko, khawatir tertinggal banyak pesanan yang harus diselesaikan. Seluruh karyawan di toko yang sedang sibuk dengan kain dan mesin jahit mengalihkan perhatian padaku, lalu tersenyum senang.
"Akhirnya ibu pulang juga! Kami rindu sekali," ujar Lisa. Aku tertawa kecil sembari berjalan dan meletakkan beberapa bungkus plastik ke atas meja besar yang terletak tepat di tengah ruangan. Para karyawan meninggalkan pekerjaannya dan mendekati meja.
"Ini apa, bu? Oleh-oleh?"
Aku mengangguk, "Sudah kubungkuskan satu-satu untuk kalian. Ini ucapan terima kasih karena sudah menjaga toko dengan baik," jelasku santai.
"Baik sekali, bu. Terima kasih!" para karyawan terlihat memilih bungkusan plastik satu persatu.
"Apa ada orderan yang masuk selama aku tidak ada?" tanyaku sambil mengecek beberapa gaun yang sudah hampir selesai.
"Ah, ada dua orderan, bu. Keduanya dari orang yang sama, ia pesan satu kebaya pengantin untuknya dan satu kebaya untuk ibunya. Deadlinenya dua bulan lagi," jelas salah satu karyawanku, Nadia. Aku mengangguk kecil.
"Aku mau ke depan dulu ya," pamitku sambil menenteng sebuah paperbag berukuran sedang. Tujuanku adalah café Orion, milik kak Rigel. Aku tidak sempat bertemu kak Rigel di apartment pagi tadi, maka aku memutuskan untuk menghampiri cafénya.
Pintu café terbuka lebar, baru saja dibersihkan karyawan. Belum ada satu pengunjungpun yang mampir karena waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku menatap ke sekeliling, berusaha menemukan sosok laki-laki yang kucari. Mataku berhenti tepat di pojok ruangan. Tepat di tepi dinding kaca yang mengarah pada taman kecil, tempat aku biasa duduk, kak Rigel terlihat sedang menggigit croissant dengan fokus.
"Lapar sekali, kak?" candaku. Ia terlihat kaget dengan kehadiranku, segera menyelesaikan gigitannya dan membersihkan mulutnya menggunakan tisu.
"Eh, Karina. Tumben datangnya pagi-pagi?" aku duduk di kursi seberang kak Rigel dan meletakkan paperbag di atas meja. Wajahnya terlihat kebingungan menatap paperbag dengan ukuran yang tidak kecil tersebut.
"Tadi pagi aku hendak memberikan oleh-oleh ini pada kak Rigel, namun aku yakin kak Rigel pasti sudah berangkat ke toko sebelah. Jadi aku membawa oleh-olehnya kesini," jelasku sambil memanggil salah satu karyawan dan memesan minuman. Aku juga belum sarapan.
"Ini oleh-oleh? Aku mengira ini buah tangan," canda kak Rigel yang membuatku tertawa.
"Terimalah, semoga kakak suka."
Kak Rigel terlihat bersemangat membuka beberapa bungkusan yang ada dalam paperbag. Ia mengeluarkan sebuah syal merah bertuliskan salah satu klub bola asal Inggris kesukaannya, dan menumpuk beberapa kotak teh dan biskuit. Wajahnya terlihat berseri menatap syal merah tersebut, ia menatapku tak percaya.
Aku tersenyum lebar lalu setengah berbisik, "Itu edisi terbatas, aku tahu kakak akan suka. Aku jamin originalitasnya," Kak Rigel mengangguk semangat.
"Aku sudah beberapa kali mencoba pesan secara online, namun selalu kehabisan. Aku baru ingat kalau mereka menyediakannya langsung di toko sampai akhir tahun. Kau tahu? Aku sempat berfikir ingin menitipkannya padamu, namun aku mengurungkan niatku karena aku tahu lokasi tersebut cukup jauh dari Chelsea, aku tidak ingin merepotkanmu. Tapi lihatlah ini, Karina! Kamu memberikan apa yang sangat kuinginkan! Terima kasih banyak!" kak Rigel terlihat sangat bersemangat. Ia bahkan lupa pada sepiring croisant yang belum habis ia santap. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
"Syukurlah kalau kakak suka, aku juga memberikan beberapa jenis teh dan biskuit untuk kakak. Ah, kakak benar, teh di sana sangat enak. Aku membawa pulang dalam jumlah banyak untuk bisa kuminum di rumah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romansa"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...