MENGALAH

482 108 2
                                    

Lyra masih belum mengakui perasaannya terhadap Rama padaku. Aku tahu betul, ia merasa tidak enak denganku karena ia dan Sita sadar aku menyukai Rama, meskipun aku tak pernah benar-benar berterus terang pada mereka. Kutempuh satu cara yang sedikit ampuh mengorek perasaannya terhadap Rama. Aku berkata padanya dan Sita bahwa aku menyukai orang lain. Sedikit demi sedikit rasa bersalah Lyra mulai hilang, dan ia mulai memperlihatkan rasa sukanya terhadap Rama.

Kalian pikir itu tidak menyakitkan? Jelas sakit. Melihat mereka berdua menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah, dan desas-desus mengenai mereka berpacaran pun cukup kuat menghantam dadaku. Tapi aku tidak ingin menunjukkan perasaan ini. Aku tidak ingin Lyra merasa bersalah dan memutuskan mundur hanya karena perasaanku yang bahkan tidak dipilih oleh Rama. Akan ada dua hati yang tersakiti; Rama dan Lyra. Lebih baik satu saja hati yang tersakiti, bukan? Biar aku saja yang menanggung rasa sakit itu. Kebahagiaan Lyra sebagai sahabatku, juga Rama jauh lebih penting daripada rasa yang aku yakin akan menghilang dengan sendirinya, ditelan waktu yang berperan sebagai panasea.

Sore ini aku duduk berdua saja dengan Lyra di kamarnya. Sita tidak bisa ikut bergabung karena harus ikut les biolanya yang rutin dilakukan setiap akhir pekan. Aku hanya tiduran saja menatap langit-langit kamar. Pikiranku dipenuhi dengan masalah yang tak kunjung selesai, untuk kupikirkan, lebih tepatnya. Tak sengaja mataku menangkap sebuah boneka kodok berwarna hijau di atas meja belajar. Aku tak pernah melihat boneka itu sebelumnya.

"Boneka baru, Ra? Lucu sekali," Lyra melihat ke arah boneka kodok tersebut.

"Iya, Kar. Rama memberikanku boneka itu, kemarin," ucapannya membuatku mematung sesaat, sebelum berusaha menutupinya dengan wajah antusias.

"Oh ya? Lucu sekali dia memilihkanmu boneka kodok, daripada boneka beruang," sahutku dengan senyum lebar. Lyra terlihat semangat menanggapi responku. Ia bercerita kalau kemarin ia resmi berpacaran dengan Rama. Rama menawarkannya sebuah boneka kodok dan meminta Lyra mengambilnya sebagai tanda kalau Lyra menerima ajakan Rama untuk berpacaran. Hatiku runtuh mendengar hal tersebut, tapi lagi-lagi senyumku lebih lebar dari yang biasa kulakukan.

"Selamat, Lyra! Kamu harus traktir aku dan Sita, hehehe," ujarku memeluk Lyra, menunjukkan rasa senang. Lyra terlihat bahagia sekali.

***

Aku merasa sangat tidak bersemangat hari ini. Pelajaran sekarang terasa begitu panjang. Pikiranku begitu kusut saat ini, tidak selera memerhatikan penjelasan guru di depan. Aku menarik nafas panjang. Aku memutuskan untuk pergi ke toilet, sekedar membasuh wajah dan mencari udara segar di sepanjang koridor menuju toilet. Melihatku hendak ke toilet, Sita memutuskan untuk ikut karena juga ingin ke toilet, katanya. Kami berjalan pelan menuju toilet, dalam keheningan. Masing-masing dari kami seperti sibuk tenggelam dalam pikiran sendiri.

"Kar, kamu kenapa?" Sita memegang lenganku pelan. Aku terdiam lama. Rasanya, seluruh pertahananku untuk tidak menangis runtuh akibat sentuhan tangan Sita yang lembut. Ia menepuk bahuku pelan, membiarkanku hanyut dalam tangisan yang kukeluarkan. Cukup lama aku tersedu, kami duduk berhadapan di belakang toilet, dekat taman kecil milik sekolah. Aku menceritakan semua yang kualami saat ini pada Sita. Selama ini Sita hanya memilih diam karena aku tidak menumpahkan isi hatiku pada siapapun, termasuk Sita. Aku terlanjur memendam semuanya sendirian, dan kejadian kemarin di kamar Lyra mencapai puncak kesedihan yang kurasakan.

Sita mendengarkanku dengan seksama. Tidak ada yang kulebihkan pada cerita yang kusampaikan. Semua sesuai dengan porsinya. Aku dan Sita tidak menyalahkan siapa pun, kalau ia menjadi aku pun ia akan melakukan hal yang sama, katanya. Bagi kami, Lyra adalah segalanya di atas percintaan anak SMA seperti kami. Awalnya Sita ikut menangis, ia merasakan apa yang kurasakan. Ia berkata, "aku sayang kalian. Aku tidak mau kamu dan Lyra marahan hanya karena orang yang kalian sukai sama,". Perakataannya sukses membuatku jadi sedikit lebih tenang. Aku tersenyum dan menghapus air mataku. Aku yakin ini yang terakhir.

Tak sadar bel istirahat berdering, aku dan Sita tertawa karena kami menghabiskan waktu setengah jam pelajaran hanya untuk ke toilet. Kami bergegas kembali ke kelas. Guru pelajaran pagi ini sudah keluar sedari tadi, kami memutuskan untuk pergi ke kantin dan mengajak Lyra makan bakso Mamang bersama.

***

Renjana Semesta [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang