Rama berdiri di depan pintu keberangkatan internasional, ia membantuku meletakkan tumpukan dua koper besar di troli. Aku mengikat rambutku asal, khawatir akan merasa gerah nantinya. Aku merasa sangat bingung, padahal awalnya aku hanya membawa satu koper besar yang tidak terisi penuh, namun kini kenapa aku membawa dua koper besar yang sama-sama cukup berat ketika didorong?
"Kamu lucu sekali, Karina," ujar Rama tertawa, aku mendelik ke arahnya.
"Sudahlah, Rama. Aku membawa banyak pesanan teman-teman dan saudaraku di sana. Untung saja aku langsung membeli koper dan menambah bagasi," jawabku sedikit manyun. Rama tertawa semakin keras.
"Aku akan kembali ke Indonesia bulan depan, tunggu aku ya," ucap Rama setelah tawanya berhenti. Aku tersenyum lebar lalu mengeluarkan sebuah sebuah kotak hitam berukuran kecil dan memberikannya pada Rama. Ia menatapku bingung.
"Itu hadiah dariku untukmu, sebagai ucapan terima kasih telah menemaniku selama beberapa hari penuh disini," jelasku singkat. Ia membuka kotak tersebut, sebuah jam tangan tipis berwarna silver dengan desain minimalis terletak manis di dalamnya. Ia kembali menatapku, kali ini disertai senyum lebar.
"Bagaimana kamu bisa..."
"Aku hanya kepikiran mungkin kamu akan suka jam tangan, kebetulan aku sempat membelinya di salah satu toko jam tangan dekat hotel tempatku tinggal. Terimalah, jangan lupa dipakai ya," sahutku cepat.
"Terima kasih, Karina. Aku suka jam tangan," ujarnya senang lalu mengacak rambutku perlahan. Aku tertawa kecil.
"Baiklah, aku masuk ya."
"Oke, hati-hati ya. Kabari kalau sudah sampai," Rama melambai ke arahku.
"Bye," aku membalas lambaian tangannya, lalu memasuki pintu gerbang keberangkatan.
***
Ponsel genggamku berdering, aku menatap layar sebelum kemudian menyentuh tombol hijau pada layar ponsel.
"Halo, kak Rigel," ucapku membuka pembicaraan.
"Kamu di mana, Karina? Aku tepat di depan gerbang kedatangan internasional," kak Rigel bersuara santai.
"Ah, ya, aku baru saja mau jalan keluar."
"Baiklah, aku tunggu di depan ya," suara di seberang putus sedetik kemudian. Aku memasukkan ponsel ke dalam slingbag milikku dan mendorong troli koper perlahan. Wajah kak Rigel sudah terlihat tepat di depan pintu kedatangan ketika kakiku melangkah keluar. Udara di luar bandara langsung terasa panas dan gerah. Indonesia selalu saja panas, aku jadi rindu kampung halamanku, Bandung, dengan cuaca yang jauh lebih sejuk daripada disini; Jakarta. Kak Rigel tersenyum senang ketika melihatku untuk pertama kalinya sejak seminggu yang lalu. Ia menghampiriku dengan cepat bahkan sebelum aku benar-benar jauh dari pintu kedatangan, kemudian memelukku tiba-tiba, membuatku kaget dan mematung. Tak lama, kak Rigel tersadar dan segera melepas pelukannya, wajahnya memerah.
"M-maaf, aku refleks," ucapnya berusaha menjelaskan keadaan.
"Ya, tidak apa. Apa kabar, kak?" balasku berusaha tenang. Rasa kaget masih tersisa di tubuhku. Kak Rigel menggaruk kepalanya gugup.
"A-aku baik. Kamu sehat? Sepertinya terlihat baik-baik saja," aku tersenyum menanggapi pertanyaannya. Ia langsung menggantikanku mendorong troli. "Kita cari makan dulu, mau?" ajaknya.
"Baiklah, aku ingin sekali soto ayam," ujarku bersemangat.
"Nah, pas sekali aku tahu tempat soto yang enak," kami berjalan menuju tepi jalan. Supir yang sedari tadi telah menunggu mengangkat koper satu persatu ke dalam bagasi mobil. Aku mengikuti kak Rigel memasuki mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romansa"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...