Aku menurunkan ranselku dari kursi belakang penumpang, berdiri di depan gerbang yang sudah terbuka sejak aku sampai. Rama yang sedari tadi terlihat di teras rumah berlari kecil ke arahku, dan menyalami papa dan mama.
"Ini ya yang namanya Rama?" sapa mama ramah. Rama mengangguk dengan senyum mengembang.
"Masuk dulu, om, tante."
"Oh tidak apa, tante dan om harus ke kantor sekarang, sudah hampir terlambat. Tante titip Karina ya, salam untuk papa mama kamu," mama berucap lembut. Aku menyalami mama dan papa sebelum mereka masuk ke dalam mobil dan pergi melaju meninggalkan kami di depan gerbang.
"Aku minta maaf ya datangnya terlalu cepat, soalnya nanti tidak ada yang bisa mengantarku karena mereka pergi ke kantor pada jam yang sama," ujarku pelan pada Rama.
"Tidak apa, Karina. Kita juga akan berangkat sekitar dua jam lagi. Ayo sini aku bantu bawakan ranselmu, pasti berat," Rama meraih ranselku dan mengangkatnya santai.
"Rama, tidak per..."
"Tidak apa, Karina. Beginilah laki-laki gentle yang seharusnya, hehe," ujar Rama ketika aku berusaha mengambil lagi ranselku. Aku hanya tersenyum dan membiarkannya membawa ranselku. Semakin banyak sifat dan hal yang mengejutkan darinya.
Kami memasuki rumahnya yang cukup besar, dengan gaya klasik Eropa zaman dulu. Pilar-pilar besar berditi tegak di teras depan, menjadi ciri khas Eropa pada masa renaissance dulu. Rumah ini didominasi warna putih dengan sedikit unsur emas, menambah kesan mewah bagi siapapun yang melihatnya. Halaman depan terlihat bersih, diisi oleh berbagai macam mawar dan geranium yang dirawat dengan baik. Aku cukup kagum dengan suasana rumah Rama yang terawat dan bersih. Aku selalu penasaran dengan rumah ini sebelumnya, karena rumah ini termasuk rumah yang sering aku lewati ketika jalan pulang dari sekolah, tanpa tahu bahwa ini adalah rumah Rama.
Aku melangkahkan kakiku ke dalam rumahnya. Ruang tamu yang luas dengan nuansa broken white dan coklat muda semakin menambah suasana vintage. Lukisan-lukisan bergaya Yunani terlihat menggantung di dinding ruang tamu. Sebuah foto keluarga berukuran besar menempel tepat di tengah dinding, diantara lukisan-lukisan Yunani tersebut. Aku memperhatikan dengan seksama, apakah ini keluarga Rama? Terlihat seorang laki-laki paruh baya yang tinggi tegap berdiri di samping Rama, tengah memegang pundak dua orang perempuan berwajah oriental yang cantik.
"Ini ayahmu?" tanyaku pada Rama tanpa mengalihkan pandanganku dari foto tersebut.
"Iya, mirip, kan?" balasnya.
"Mirip sekali, Rama. Apa ini kakakmu? Ia sangat mirip dengan ibumu," ujarku terpana.
"Ya, aku mirip ayahku, sedangkan kakak mirip ibuku," jelasnya semangat. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang sedikit lebih tinggi dariku, tersenyum hangat menatapku dan Rama. Aku yakin ini ibu Rama, ternyata lebih cantik daripada foto. Aku tersenyum canggung.
"Selamat pagi, tante. Saya Karina, teman Rama," sapaku duluan dan bergerak menyalami ibu Rama.
"Pagi, nak Karina. Ayo duduk dulu, jangan berdiri terus. Pergi sama siapa kesini?"
"Saya diantar papa dan mama, tapi mereka sudah pergi terlebih dahulu karena buru-buru ke kantor," jelasku pelan, takut salah mengucap.
"Oh ya? Sayang sekali tidak sempat bertemu," sahut ibu Rama dengan ramah. Aku hanya tersenyum kikuk. Tak lama aku duduk, terdengar suara mobil berhenti di depan gerbang. Rama bangkit dari sofa dan melihat ke arah gerbang.
"Itu Lyra dan Sita," ujarnya lalu keluar menuju gerbang. Aku mengikutinya dari belakang, menyapa Lyra yang kesulitan menurunkan barang dari bagasi mobil dan Sita yang sedang berbicara pada supirnya. Aku turut membantu Rama mengangkut barang-barang milik Lyra dan Sita. Kami berjalan beriringan memasuki gerbang menuju ruang tamu. Bibi yang bekerja di rumah Rama membawakan cangkir-cangkir berisi teh hangat dan piring biskuit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romance"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...