BANGKIT

424 100 1
                                    

Pintu toko terbuka pelan, mengeluarkan suara decitan kecil yang khas. Aku mengalihkan perhatianku dari buku catatan dan melihat siapa yang datang. Kak Rigel tersenyum kaku menatapku, jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Memori di kepalaku berputar kembali menuju malam dimana ia melamarku. Sudah beberapa hari sejak kejadian tersebut dan aku belum memberikan jawaban apapun padanya mengenai lamaran yang mendadak tersebut.

Aku berusaha membalas senyumnya, sedikit gugup.

"Hai, kak," sapaku duluan. Ia menggaruk kepalanya, terlihat kikuk. Aku yakin ia juga merasa canggung.

"Karina, sedang sibuk?"

Aku menggeleng pelan, "Tidak, kak. Aku baru saja mengecek perkembangan pesanan pelanggan," jawabku pelan.

"Apa kamu sudah makan siang?" ia kembali bertanya. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul satu siang, ternyata.

"Belum, kak."

"Mau ikut makan siang bersamaku? Aku tahu rumah makan yang enak," ujarnya pelan.

"Boleh, kak. Sebentar ya aku ambil tas di belakang," aku bangkit dan berjalan ke ruang kerja. Para karyawan tengah sibuk dengan bermeter-meter kain satin putih polos, siap untuk digunting sesuai pola yang sudah ada. Seketika aku teringat dengan satu pasang pakaian pengantin yang dipesan oleh Rama dan Maria. Minggu lalu aku sudah memberitahu perkembangan pesanan pada Maria. Gaun miliknya sepertiga rampung, namun minggu ini ia belum memberikan komentar apapun mengenai perkembangan yang sudah kukirim melalui chat. Apa ia marah dan membenciku karena tahu mengenai persoalanku dengan Rama? Aku menggigit bibir perlahan, sedikit khawatir. Nadia yang sedang melipat kain menatapku.

"Mau pergi, bu?" tanyanya. Aku mengangguk pelan.

"Mau makan siang sebentar, ya," pamitku, diikuti sahutan yang lain. Aku bergegas berjalan keluar toko. Kak Rigel sudah menungguku dengan mobil sedan miliknya. Ia tersenyum menatapku dan membuka pintu penumpang lalu menutupnya setelah aku duduk.

"Kamu mau makan apa?" tanya kak Rigel setelah ia duduk di kursi kemudi.

"Bawa aku ke tempat makan yang paling enak menurut kakak," jawabku dengan senyum.

Ia mengangguk semangat, "Siap, tuan putri."

Aku tertawa kecil. Kenderaannya mulai melaju pelan menyisiri jalanan kota yang tidak terlalu macet pada hari ini. Langit siang tampak biru cerah dengan sedikit arak awan. Aku terus saja berpikir mengenai Maria. Apa ia marah padaku? Atau ia marah pada Rama? Aku bahkan mulai berpikir buruk, seperti pernikahan mereka batal atau apapun itu.

"Apa yang sedang ada dalam pikiranmu, Karina?" suara kak Rigel membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng cepat.

"Tidak ada, kak."

"Jujur saja, Karina. Apa kamu sedang memikirkan Rama?" Ia tersenyum, membaca pikiranku dengan mudah.

Aku menarik nafas perlahan, "Tidak secara spesifik tentang Rama, kak. Aku memikirkan Maria."

"Maria?" kening kak Rigel terlihat sedikit berkerut, berusaha mengingat siapa Maria.

"Tunangan Rama," lanjutku cepat. Ia kemudian mengangguk. "beberapa hari lalu waktu Rama menemuiku di café kakak, ia mengatakan kalau Maria sudah tahu mengenai kisahku dengan Rama. Aku takut ia marah padaku, kak. Aku takut ia sedih," lanjutku.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa ia marah padamu?"

"Mungkin saja karena ia tidak tahu mengenaiku dari awal kami bertemu. Lalu aku malah menerima permintaannya merancang baju pengantin. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, kak," aku meremas jemariku, khawatir. Sesaat kemudian kak Rigel menyentuh jemariku pelan dan mengusapnya.

Renjana Semesta [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang