London,
Desember 2019
Aku kembali menghubungi Rama, namun nomornya tetap tidak aktif. Aku tidak tahu harus menemuinya dimana. London begitu luas, dan aku terduduk di kamar hotel yang tidak jauh dari Sungai Thames. Aku harus kemana? Aku mengintip keluar jendela, salju sudah berhenti sedari tadi. Udara disini jauh lebih dingin daripada terakhir kali aku mengunjungi London. Aku tidak bisa terus berdiam di kamar, mungkin ada baiknya aku harus segera mencari Rama.
Lima menit bersiap-siap, aku turun dan memesan sebuah taksi di resepsionis hotel. Sejujurnya, aku tidak tahu harus pergi kemana. Aku sama sekali tidak memiliki rencana matang ke sini. Sebuah taksi dengan nomor sesuai pesanan berhenti tepat di depan hotel. Aku masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Queen Mary's Rose Garden, please," ujarku diikuti anggukan supir taksi. Hanya tempat itu yang muncul dalam pikiranku saat ini. Kurasa tidak ada satupun bunga yang sedang mekar dengan cuaca seperti ini disana. Aku hanya mengingat kenanganku yang paling baik dengan Rama adalah di taman bunga itu. Kenderaan melaju santai menyisir jalanan kota yang ditutupi salju. Bus-bus double decker berwarna merah terlihat berlalu lalang mengantarkan penumpang pada tujuannya. Setelah salju berhenti, kota kembali pada kesibukan seperti biasa. Meskipun matahari tidak terlihat, aku tahu hari sudah mulai memasuki waktu siang.
Tidak sampai dua puluh menit, taksi yang kutumpangi berhenti tepat di depan gerbang masuk taman. Setelah membayar, aku mengucapkan terima kasih dan turun dari mobil. Aku berjalan pelan memasuki gerbang. Semuanya masih saja sama, yang membedakan hanyalah tidak ada bunga lagi yang tumbuh bergerombol menutupi dedaunan. Hanya hamparan hijau di sepanjang mata memandang. Aku tahu aku mengunjungi pada musim yang salah, namun aku tidak kesini untuk menikmati ini semua. Pikiranku masih dipenuhi bagaimana caranya agar aku dapat bertemu Rama di kota yang besar ini. Aku tidak tahu dimana tempat tinggal Rama, yang kutahu ia tinggal di samping apartemen Maria.
Tunggu... Rama dan Maria adalah tetangga! Sekejap aku langsung tersadar sesuatu. Aku bisa meminta tolong pada Maria untuk memberi tahu alamat tempat tinggal Rama. Ah, lagi-lagi aku seperti tidak tahu diri. Masih ada perasaan bersalahku pada Maria yang tersisa. Aku tidak ingin mengganggunya lebih jauh lagi.
Aku menatap sekitar. Ini adalah tempat dimana jariku tertusuk duri dan Rama membantuku mengeluarkan durinya. Aku masih ingat dengan jelas semua kenangan tentangnya. Mungkin memang benar, Rama tetap menjadi pusat semesta milikku. Hingga saat ini aku tidak mampu melupakan sosoknya bahkan sedetik pun.
"Karina?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku mencari sebuah suara yang terdengar tidak asing. Apa aku sedang berhalusinasi?
Aku menatap sosok laki-laki yang selama ini kucari. Ia berdiri sekitar sepuluh meter di belakangku. Aku tertegun, jantungku berdegup cepat. Kali ini, rasanya aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. Rama berdiri mematung menatapku tak percaya. Ia terlihat kurus, padahal belum lama aku bertemu dengannya.
"Karina? Kenapa bisa... kamu disini?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas.
Aku terdiam.
"A-apa kamu pergi bersama tunanganmu?" Terlihat senyum getir di garis bibir itu, "dimana dia?" tanyanya kembali sembari melihat-lihat sekitar, berusaha menemukan sosok Rigel di sekitarku.
Aku menghela nafas perlahan, kemudian mengangkat kedua tanganku, memperlihatkan jemari yang kosong dari aksesoris apapun.
"Aku telah membuat pilihanku sendiri," ujarku pelan, menatapnya lamat-lamat.
Hening di antara kami. Hanya suara angin meniup lembut di antara jeda yang kami berikan. Rama terlihat bingung, berusaha mencerna maksud dari kata-kataku. Sedetik kemudian, ia berjalan cepat ke arahku. Ia memelukku erat.
Sangat erat.
Suaranya mulai bergetar, "Karina..."
Mataku berair. Aku membalas pelukannya, lalu tangisku pecah seketika. Aku tidak pernah merasakan pelukan seerat dan sehangat ini. Dunia terasa berhenti berputar. Pada akhirnya, aku merasakan pelukan dari laki-laki yang terus menghantuiku selama bertahun-tahun. Cukup lama kami diam pada posisi ini, sebelum akhirnya ia menatap wajahku yang basah oleh air mata. Tangannya menyentuh pipiku pelan dan menghapus air mata yang mengalir sedari tadi.
"Terima kasih sudah memilih pilihan ini, Karina. Mari mulai semuanya dari awal," ujarnya dengan seulas senyuman yang berhasil menghangatkan tubuhku.
***
Ponselku berdering, terlihat nomor Lyra dari layar ponsel. Ia melakukan panggilan video. Aku menyentuh tombol hijau dan melihat wajah Sita pertama kali muncul di layar.
"Karina! Kamu dimana?" tanya Sita setengah berteriak.
"Aku di London, Sit. Kenapa kamu telfon melalui ponsel Lyra?"
"Serius?! Kenapa kamu tiba-tiba di London? Did we miss a lot of stories?!" wajah Sita terlihat semakin heran. Aku hanya tersenyum kecil lalu mengarahkan ponselku pada Rama. Rama melambai semangat pada Sita yang disusul teriakan kecil darinya.
"Oh my god finally!! Aku sangat senang melihat ini! Lyra juga harus tahu!!"
"Oh iya, mana Lyra?" tanyaku kembali.
"Ah! Kamu baru saja melewatkan persalinan Lyra yang berjalan lancar! And you know what? The baby is... a girl!" teriak Sita lagi, namun kali ini aku ikut berteriak kegirangan. Kenapa Lyra harus lahiran ketika aku tidak disana? Aku jadi tidak bisa melihat bagaimana wajah mungil bayi perempuan Lyra. Layar ponsel terlihat goyang tak beraturan, sepertinya Sita hendak pergi ke suatu tempat secara terburu-buru. Tak lama kemudian, muncul wajah Lyra yang terlihat pucat, namun ada sirat kebahagiaan di wajah itu. Ia menyapaku lembut.
"Karina, bayiku perempuan! Aku sudah menduganya, meskipun mas Aris bersikeras mengatakan kami akan memiliki anak laki-laki," ujarnya semangat. Ternyata meskipun baru selesai melahirkan, ia tetap saja bersemangat.
"Selamat, Lyra! Aku berjanji setelah kembali aku akan langsung mengunjungimu," ujarku dengan tawa bahagia.
"Kembali? Kamu sedang dimana, Karina?"
Aku tersenyum kecil kemudian memperlihatkan wajah Rama yang duduk di sampingku. Lyra terlihat kaget, namun ia teriak kegirangan.
"Akhirnya! Hei Rama! Ingat, jangan sakiti Karinaku! Atau kamu akan berhadapan denganku dan Sita nantinya!" ucap Lyra diikuti tawaku dan Rama.
"Siap, bos! Selamat atas kelahiran bayi pertamamu, Lyra!" sahut Rama, ia menggenggam tanganku erat.
"Selamat Lyra atas kelahiran putri pertamamu. Jangan lupa istirahat yang cukup. Tunggu aku ya," ujarku diikuti anggukan Lyra. Kemudian ia memutuskan telfonnya.
Aku menatap Rama, "So, what should we do now?" tanyaku dengan senyum yang tidak pudar.
"Ayo cari makan," ajaknya lalu berdiri. Kami berjalan di sepanjang taman menuju gerbang luar sembari bergandeng tangan.
Semesta, aku tahu renjana milikmu lebih hebat dari rencana milikku. Terima kasih telah mendengar isi hatiku.
TAMAT
***
HALOOOOO!!
Terima kasih sekali untuk kalian yang mau membaca novel pertamaku! Senang sekali bisa menulis dan menghibur siapa pun yang telah membaca cerita ini! *cries*
Walaupun begitu, sungguh aku paham ada banyak ketidaksempurnaan dalam tulisan ini. Maka untuk segala bentuk typo, kesalahan penulisan, hingga kesalahan pemahaman, aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian yang tak cukup puas dengan tulisanku.
I will try my best to improve my writing skill in the next story!
Again, Thank you so much for your love and support! It means everything for me <3
***
Sampai ketemu di lain cerita! *send hugs and loves*
Regards,
Piarnis
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romance"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...