Aku membuka mata perlahan, cahaya matahari menyembul malu-malu dari balik tirai jendela. Sudah pagi ternyata, namun aku tetap merasa tidak segar. Hari-hari yang kulalui akhir-akhir ini terasa berat. Pikiranku berkecamuk, membuat kepalaku sedikit pusing. Ucapan-ucapan kak Rigel tadi malam, kotak cincin, lamaran di atas gedung tinggi pusat kota Jakarta, semua terasa seperti mimpi.
Aku mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan seluruh nyawa yang sedari minggu lalu terasa melayang; tak sepenuhnya menetap di tubuhku. Rigel, sosok laki-laki dewasa yang kutemui tiga tahun yang lalu. Saat itu aku tengah sibuk dengan persiapan peresmian toko bridal milikku yang berada tepat di seberang café dan travel miliknya. Aku memberikan undangan yang langsung diterima olehnya. Ia laki-laki yang cukup pengertian dan humoris, dengan cepat kami menjadi akrab. Ia terasa seperti kakak laki-laki sekaligus sahabatku selain Lyra dan Sita.
Aku berpikir keras, sepertinya aku tidak tahu banyak mengenai Rigel Anggada, seorang laki-laki ramah yang terpaut usia sekitar tiga tahun dariku. Diantara kami, akulah yang paling banyak bercerita mengenai kehidupanku, terutama tentang Rama. Aku sadar aku tidak berusaha mencari tahu lebih banyak mengenai kak Rigel. Pusat semestaku sedari dulu tetaplah Rama, hingga hari dimana aku mengetahui Rama akan menikah.
Rigel merupakan laki-laki yang baik. Siapapun bisa melihat kebaikan yang terpancar dari wajahnya. Ia tulus dan tidak menuntut banyak dariku, bahkan tadi malam pun ia tidak memaksaku untuk langsung menjawab lamarannya. Disaat banyak laki-laki yang berusaha dikenalkan Sita memaksaku untuk menyukai mereka, kak Rigel justru dengan sabar memberikan perhatian semampu yang ia bisa.
Aku terus memikirkan seberapa baiknya ia selama ini padaku, sedangkan aku tidak bisa melihat seluruh semesta miliknya mengarah kepadaku. Hatiku sungguh ditutupi kenangan dan harapan tentang Rama, lalu tanpa sadar melupakan bahwa ada orang lain yang berusaha berjuang untukku. Aku tidak tahu, selama ini aku menganggap kak Rama sebagai seorang kakak laki-laki yang baik dan perhatian. Aku tidak tahu apakah aku bisa membuka hatiku padanya.
Kuraih kotak merah kecil di meja kecil samping tempat tidur, kemudian membuka kotaknya. Sebuah cincin dengan berlian kecil terlihat indah di dalamnya, menanti untuk dikenakan di salah satu jari tanganku. Wajahku memerah. Apa aku dapat mencintai kak Rigel dengan tulus? Apa aku dapat melupakan Rama dan mengalihkan semestaku pada Rigel?
Tiba-tiba ponsel yang terletak tak jauh dariku berdering, mengejutkanku dari lamunan yang tiada habisnya. Aku segera menyambarnya dan menatap layar; Rama. Entah keberapa kalinya dalam satu hari ia berusaha menghubungiku, hendak menjelaskan segalanya. Aku bahkan bingung sekali apa yang hendak ia jelaskan, ketika aku mengetahui kenyataan bahwa ia akan menikah dan harapanku telah pupus. Ah, tidak. Harapanku pupus bahkan sejak sembilan tahun yang lalu. Kurasa aku harus menyelesaikan masalah ini secepatnya. Aku menyentuh tombol hijau, menempelkan ponselku pada daun telinga dan terdiam.
"Halo, Karina! Karina please don't turn off your phone, please," suara Rama terdengar sangat memohon. Aku meremas jemariku. Bahkan suaranya pun terasa menyayat hatiku.
"Apa yang kamu inginkan, Rama?"
"Karina, aku hanya berharap kamu mau menemuiku dan memberikanku kesempatan untuk menjelaskan segalanya. Aku tidak ingin membuatmu sedih, Karina..."
"But you did," ujarku setengah berbisik.
"That is why I need to meet you right now, Aku mau menjelaskan segalanya, Karina."
Aku terdiam, menghela nafas.
"Orion Café, tepat di seberang tokoku, pukul sebelas."
"I got it, thank you so much."
Aku memutuskan panggilan, peluh terlihat membasahi tengkuk. Kamu harus kuat, Karina. Aku menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi, lalu bangkit menuju kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Semesta [✔️]
Romance"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku jatuh cinta- jatuh cinta yang teramat dalam- sebelum akhirnya harus kandas karena ia lebih memilih...