FABRI(ZIO) -16-

72 22 13
                                    

Jangan lupa tekan ikon di pojok kiri bawah. :)

Happy reading^

***

Suasana menjadi canggung saat perkelahian itu berhasil dihentikan. Siswa-siswi mulai membubarkan diri dan pergi ke tempat tujuan masing-masing. Pak Arya selaku guru BK pun mempunyai tanggung jawab lebih atas keributan yang baru saja berakhir itu. Ia menggiring empat siswa yang turut andil dalam kekacauan beberapa menit lalu.

Jani, satu-satunya gadis yang ikut terseret ke dalam kasus pun harus ikut dimintai keterangan di ruang BK. Gadis itu duduk diam di sebuah sofa coklat yang disediakan di sana.

Tak ada yang berani membuka suara. Semuanya diam, termasuk Randy yang terpaksa harus menahan rasa sakitnya demi membuat situasi tidak semakin kacau.

"Jadi, apa kalian tahu, jika apa yang kalian lakukan itu berbahaya?" tanya Pak Arya. Nadanya biasa saja, malah terdengar ramah. Tak ada penekanan sama sekali.

Semuanya kompak mengangguk sambil berujar, "tahu, Pak."

Pak Wisnu yang posisinya berada di samping Pak Arya pun memberi tanggapan. Sama, tak ada nada memojokkan sama sekali. Guru muda itu pun tersenyum saat mengucapkannya, seolah menasihati anak TK yang serba harus hati-hati dan penuh kesabaran.

"Jika tahu, berarti kalian sudah mengerti, bahwa tindakan yang kalian lakukan itu salah. Salah besar."

"Utamanya kamu, Bakti. Di sini, Bapak tidak memojokkan kamu, hanya saja Bapak sedikit kaget dan tentunya heran, mengapa kamu bisa bertindak separah ini, huh?"

Kini, Pak Wisnu yang bertanya, matanya menatap Bakti yang duduk di paling ujung dengan pandangan tertunduk. Cowok itu meremas jarinya, ia merasa tersudutkan sekarang.

"Maaf." satu kata itu berhasil keluar dari mulutnya yang sedang meracau tidak jelas.

Di sampingnya, terdapat Randy yang terus memegangi rahang dan bagian perutnya. Pak Arya meneliti cowok itu sekilas, lalu mengembuskan napas perlahan.

"Ada baiknya, kamu pergi ke UKS terlebih dahulu, obati lukamu itu. Setelah usai, kembali ke sini untuk menghadap Bapak."

Cowok itu memegangi sudut bibirnya yang terasa kebas dan mati rasa. Randy mengangguk, ia berjalan gontai meninggalkan ruangan seluas 4x5 itu setelah mengucapkan salam.

Kini, tersisa dua siswa dan satu siswi yang berada di ruangan ini. Fabri duduk di tengah. Tatapannya lurus ke depan, menatap dua guru yang tengah menatapnya dan Jani bergantian.

"Rennisa Anjani."

Gadis itu langsung menoleh. Tangannya bergerak gelisah di atas paha. Hati-hati, kepalanya mendongak, menatap Pak Arya dan Pak Wisnu bergantian. Kedua guru itu tengah tersenyum menatapnya.

"I-iya, Pak."

Demi apa pun, jika perasaannya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan, mungkin sudah tercetak satu buku setebal novel remaja.

Fabri melihat kegelisahan itu. Cowok itu sedikit terkejut saat dengan lancang, Jani mencubit pahanya keras. Menyalurkan segala kegelisahan lewat cubitan itu.

Fabri menjauhkan tangan Jani, cowok itu pun menggenggam tangan gadis itu. Matanya menerawang ke dalam manik mata bulatnya, tampak ketakutan terpancar jelas dari sorotnya.

"Bisa kamu jelaskan, bagaimana kejadian ini dapat terjadi?"

Wajah gadis itu langsung memucat. Jantungnya berdegup kencang. Dirinya sangat takut, apa yang harus dikatakannya? Bahkan sepatah kata pun tak pernah terlintas di pikirannya. Bagaimana ia menjadi saksi bicara dalam kejadian tadi?

"Eh, Pak. Ma-maksudnya?" tanyanya sudah seperti orang bodoh. Tentu saja Jani mengerti, bahkan sangat mengerti dengan pertanyaan Pak Arya barusan. Hanya saja kegugupannya seolah melenyapkan segala keberaniannya.

"Bagaimana awal dari kejadian ini? Bapak yakin, kamu pasti tahu, mengingat kamu berada di satu tempat yang sama dengan mereka."

"Em, anu .., Pak."

Pak Arya masih menatapnya. Menunggu jawaban versi Jani sebagai saksi. Mendengar desas-desus yang berdedar pun, Jani adalah orang yang menjadi pemicu keributan terjadi, sebenarnya ada apa?

"Sa-saya enggak tahu."

Mendengar jawaban itu, Pak Wisnu yang sudah siap untuk mengetiknya pun tersenyum. "Kamu bisa jelaskan apa pun yang kamu ketahui. Semuanya, tapi jangan berbohong."

"Jani enggak tahu apa-apa, Pak," ucap Fabri, membuat Jani menatapnya lama. Senyuman pun terbit, Fabri tak bisa mengenali jenis senyuman apa yang ditunjukan gadis itu padanya. Semacam senyuman, haru, namun terdapat tanda tanya besar dan keraguan di dalamnya.

Fabri menghela napas. Kedua guru itu mulai menatapnya lekat. Menunggu semua ucapan yang akan ia paparkan. Dan tanpa disangka-sangka, Jani menggenggam tangannya erat, membuat Fabri terdiam cukup lama. Cowok itu pun tersenyum, tak menyadari sesuatu yang menggebu dalam dada saat kulit tangan gadis itu menyentuh telapak tangannya.

Bakti yang masih menunduk pun melihatnya. Cowok itu mengangkat wajah dan matanya menajam melihat kedua tangan itu bersatu. Cowok itu memejamkan mata, berusaha meredam segala emosi yang mulai naik ke permukaan.

"Kami dihukum oleh Bu Wina karena kedapatan mengobrol saat beliau berbicara. Kami disuruh berdiri di lapang hingga pelajarannya usai, Pak."

Jani semakin mencengkram genggaman itu, namun tetap tak terasa apa pun bagi Fabri. Cowok itu mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar, seolah tak memiliki rasa gugup sama sekali.

Bakti mendecih pelan mendengarnya, Fabri pun masih dapat mendengar itu. Apa pun yang sudah ditemukannya dalam data penyelidikan memang benar, segala sikap yang ditunjukan Bakti saat ini sudah membuktikan keakuratan bukti tersebut.

"Lalu?"

"Bukankah kamu murid baru, kenapa sudah memiliki kasus dengan guru?" tanya Pak Arya sambil mengernyitkan dahi. "Apa di sekolah lamamu juga, kamu adalah murid bermasalah seperti sekarang?"

Fabri tersenyum dan menggeleng. "Tidak, Pak."

"Lantas?"

"Sebelumnya, saya pernah memiliki urusan dengan siswa bernama Randy di hari pertama saya masuk sekolah ini. Dia menantang saya bermain basket, dan tim saya pun menang. Dia merasa tidak terima dan saya pikir, dia memiliki dendam akan hal itu pada saya."

Pak Arya membuang napasnya kasar. Tangannya memijit pelipis dan tetap menunggu kelanjutan dari ungkapan Fabri tersebut.

"Saat menjalankan hukuman, Randy dan teman-temannya datang menghampiri kami. Mereka mengejek apa pun tentang saya, ya saya seorang, karena di sini saya yang bermasalah dengan dia."

Pak Arya tak habis pikir dengan jalan pemikiran anak didiknya itu. Apa yang ada di kepalanya hingga berani melakukan hal tidak berfaedah itu?

"Apa hubungannya dengan Bakti, kenapa dia memukuli Randy?"

Fabri menoleh ke arah cowok itu, Bakti hanya melirik sekilas, kemudian membuang wajah, tak ingin mengucapkan apa pun. Fabri pun menghela napas, dirinya lagi yang harus menjawab pertanyaan itu, menyebalkan!

"Randy mengira Jani adalah pacar saya, dia pun berusaha untuk mendekati Jani, namun Bakti tidak terima, saya tidak begitu tahu atas dasar apa dia melakukan hal itu, saya pikir mungkin karena Jani adalah temannya. Bapak bisa tanyakan langsung pada Bakti."

***

Hai?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

Part ini gak sempet direvisi lagi ya, maaf kalo banyak typo wkwk. Oh iya, di mulmed itu ada Fabri pas masih jaman SMP.

Salam hangat,
intansaadah123

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang