FABRI(ZIO) -11-

84 26 16
                                    

Hai, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

Kayaknya aku bakal ubah jadwal update dari sekarang deh. Soalnya kalo malam itu, you know lah, padet banget. Muehehe. :D jadi aku pikir biar gak keteter, updatenya pagi aja.

Maaf ya, sempet-sempetnya nyelipin head note kayak gini, soalnya kalo di akhir kadang suka gak dibaca gitu, huhu. :'(

Udah deh, segitu aja. Hope you are enjoying this chapter guys. <3

Selamat membaca~

***

Fabri menggertakkan giginya. Ia marah. Amarahnya langsung memuncak saat dengan tiba-tiba Jani menggenggam tangannya erat. Tubuhnya bergetar hebat. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

"Kamu ... sudah bebas? Enggak ... Ja-jangan ganggu kami lagi!"

Cowok itu semakin berang saat melihat wajah Jani yang berubah pucat. Tangannya mendingin dalam genggaman, membuatnya ingin menghajar orang itu habis-habisan.

Fabri mengubah posisi. Cowok itu kini mengajak Jani berdiri. Posisi keduanya saat ini kurang menguntungkan, terpojok di sudut tembok membuat Fabri beberapa kali mendengkus tak suka.

"Oh, tenang. Tenang saja. Saya tidak akan menyentuhmu lagi, Nona. Jangan khawatir," ucap pria itu tanpa beban.

Jani hanya menggeleng. Napasnya sudah tidak beraturan. Rasanya sesak, kilasan masa lalu itu kini terputar jelas di kepalanya. Erangan kesakitan dan jeritan memenuhi pikirannya.

Fabri meremas tangan gadis di belakangnya kuat. Lagi, katanya? Jani pernah disentuh oleh pria kolot seperti lelaki di depannya? Sialan!

Rasanya Fabri sudah hilang kendali saat ini. Tangannya gatal ingin menghantam wajah tanpa dosa pria itu. Kilatan marah terpancar jelas di kedua bola matanya. Rahangnya mengatup keras.

Bugh.

Satu pukulan ia layangkan. Sasarannya adalah perut. Jani masih berada di belakangnya. Rasanya, semua terdengar menyakitkan. Pukulan lainnya mulai dilancarkan. Beberapa tendangan dan bogeman ditujuan untuk pria biadab di depannya ini.

"Bangsat!"

Pukulan itu terus berlanjut. Pria di depannya tak melawan sama sekali, hanya pasrah dengan keadaan. Fabri berubah menjadi brutal. Kali ini, ia akan melindungi seseorang yang menurutnya perlu dilindungi. Jangan sampai kejadian tempo hari terulang lagi, di mana dirinya habis dihajar orang-orang berjas itu.

Kerumunan pun mulai tercipta. Jani sudah menangis di balik punggung Fabri. Ia marah pada dirinya sendiri. Mengapa orang itu hadir kembali? Mengapa tidak mati sekalian saja?

Beberapa orang sudah melerai aksi brutal Fabri, namun masih saja tidak bisa dihentikan. Amarahnya sedang benar-benar di ujung kepala, dan cara menyalurkannya adalah dengan memukuli orang kurang ajar itu.

"Berani-beraninya lo sentuh Jani. Mati lo!" ucap Fabri penuh penekanan.

Kang Edun—kang bakso yang melihat kekacauan di lapaknya berjualan pun langsung panik. Dua porsi dan dua gelas es teh pesanan Fabri dibiarkan saja di meja pengunjung. Ia harus menghentikan semuanya.

"Eh, eh, ada apa ini?" tanyanya tidak habis pikir.

"Saya ... sudah menyentuh —dia."

Pengakuan itu kembali menyulut api dalam jiwa Fabri semakin berkobar. Cowok itu menendang dada pria di depannya tanpa ampun. Pukulan dengan tenaga penuh sudah tak terhitung berapa kali dilayangkan.

"Bajingan!"

"Udah, udah, cukup, Nak!" lerai orang-orang yang masih setia mengerumuni mereka.

Jani mendekat. Tangisnya masih berlanjut, namun sekarang hatinya sudah lebih tenang. Setidaknya, orang yang membuat kekacauan pada hidupnya sudah mendapat balasan, meskipun tidak setimpal.

"Fabri," ujarnya pelan. Jani menahan bahu cowok tinggi di depannya. Berharap cowok itu mau menghentikan aksi gilanya itu.

Fabri terdiam sebentar. Emosinya masih berada di puncak. Ia masih tidak terima dengan semua perlakuan pria gila yang sudah menyentuh Jani. Ia marah. Kesal. Ingin menggila dan tak peduli dengan risiko yang akan diterimanya nanti.

"Gue enggak pernah disentuh sama dia, hiks," isak Jani membuat pukulan Fabri terhenti begitu saja.

Cowok itu membisu. Tatapannya sudah tidak bisa fokus. Hanya tatapan kosong yang diberikan Fabri padanya.

"Dia ... penjahat. Gue, takut."

Cowok itu merasakan sebagian hatinya tercubit saat wajah Jani masih menunjukan raut ketakutan yang sangat kentara. Fabri berjalan mendekat, tangannya langsung merengkuh tubuh kecil gadis itu ke dalam dekapan.

Para kerumunan mulai bubar. Sementara Kang Edun masih dilanda kepanikan dan perasaan waswas.

Tak lama, ambulan datang setelah seorang pengunjung menghubungi rumah sakit terdekat. Pria itu langsung dibawa petugas dan mobil pun berlalu.

"Jangan takut."

Jani menggeleng di dada bidang cowok itu. Fabri kelelahan. Tenaga cowok itu terkuras habis. Rasanya, dunia seperti berputar di penglihatannya.

Tubuh Jani masih saja bergetar. Ia terus menggeleng. "Dia ... dia orang jahat. Gue gak mau ketemu dia lagi."

Fabri memejamkan matanya. Cowok itu nemumpukan dagu di kepala Jani. Mendekap gadis itu erat. "Stt, ada gue di sini. Jangan takut lagi, oke?"

Fabri melepaskan pelukan. Cowok itu menatap Jani lekat. Gadis itu tak terluka sedikit pun. Syukur lah.

Jani terlihat sangat lemah di matanya, berbeda dengan Jani yang ditemuinya beberapa hari lalu. Separah itu kah luka yang pria tadi torehkan padanya? Sial!

"Lo minum dulu, ya."

Fabri menggiringnya duduk di kursi yang sempat mereka tempati. Cowok itu menyodorkan segelas es teh yang dipesannya sebelum insiden tadi. Jani menerimanya dan langsung meminumnya cepat.

"Makasih."

"Sama-sama."

Kang Edun menatap keduanya panik. Ia dilema dan merasa serbasalah. Ia ingin bertanya sesuatu pada Fabri, namun melihat caranya memukuli orang begitu tak kenal ampun, pria paruh baya itu merasa bimbang. Dirinya takut pertanyaannya membangkitkan kembali jiwa liar pemuda itu.

"Gue mau pulang aja, Fab," terang Jani. Gadis itu langsung berdiri dan berhenti di pinggir jalan. "Lo enggak perlu anter gue. Istirahat aja."

Fabri berdecak. Cowok itu mengambil dompet dan mengeluarkan uang berwarna biru. Ia meletakkannya di samping mangkuk bakso yang belum tersentuh sedikit pun.

"Makasih, Kang. Maaf udah buat keributan." cowok itu berlalu menghampiri Jani. Gadis di sampingnya masih saja terlihat ketakutan. Jemarinya bertaut kuat, menghasilkan getaran yang cukup hebat.

Jani menatapnya sekilas. Fokusnya kembali menatap jalanan. "Lo enggak apa-apa, 'kan?"

Fabri tersenyum simpul. Ia mengangguk. Tangannya menarik Jani, mengajaknya untuk segera pulang. "Sakit hati lo lebih besar dari sakit fisik yang gue alami. Jadi di sini, lo orang sakitnya. Gue anterin sampe ke rumah, ya."

Perlahan Jani mendongak, melihat betapa baiknya cowok ini terhadapnya. Padahal, Fabri bisa saja berlari, menjauh dan meninggalkannya. Tapi sebaliknya, cowok itu sangat tulus padanya. Ia masih mau mengulurkan tangan saat dirinya berada di jurang masa lalu.

"Lo gak boleh nangis lagi, jelek lo bertambah 10 kali lipat."

Fabri memarkirkan motornya. Jani hanya tertawa kecil sebelum naik ke jok penumpang.

"Jangan pernah ngerasa sedih lagi. Di sini, gue yang bakal temenin lo," bisik cowok itu sebelum motor melaju membelah jalanan kota.

Dada Jani langsung bergemuruh. Gadis itu meraba tubuh bagian depannya heran. Ada apa dengan ritme jantungnya?

***

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang