FABRI(ZIO) -31-

63 19 9
                                    

Zio mengacak rambutnya kasar. Cowok itu beberapa kali menghela napas gusar, tangannya tak pernah berhenti meremas kumpulan kertas yang berserakan di meja kerjanya.

"Sialan!"

Zio merasa hidupnya sedang kacau. Bayangan Jani dipeluk oleh Bakti terus terputar di kepalanya. Belum lagi tentang kasus yang ia tangani, dan banyak masalah lainnya.

Cowok itu butuh Jani sekarang, dirinya harus bertemu dengan gadis itu, setidaknya dengan mendengar suaranya saja sudah membuat Zio lebih tenang.

Ia mencari ponselnya yang sempat dilempar ke sisi ranjang. Di sana, ponselnya tergeletak menelungkup bagai benda tak berharga. Segera saja Zio mengambilnya dan mencari nama Jani di buku teleponnya.

Ia menekan ikon hijau di sana, sambungan pun mulai terdengar menghubungkan. Namun hingga detik ke sepuluh, panggilannya belum juga mendapat respons. Zio semakin gusar. Hatinya gelisah tak karuan.

Cowok itu mendesis pelan. Ia melempar kembali ponselnya dan berjalan menuju cermin besar yang tertempel di dinding kamarnya. Zio mengambil lensa kontak dan memakainya cepat. Ia masih belum berani mengakui jati diri sebenarnya. Zio akan mengakuinya, namun bukan sekarang, berikan ia waktu untuk menyakinkan semuanya.

Cowok itu membanting pintu kamar dan mengambil jaket hitamnya yang tersampir di sofa. Zio segara berjalan ke parkiran dan memarkirkan mobilnya. Kali ini, ia akan menggunakan mobil, tubuhnya sedang tidak baik jika harus terkena terpaan angin.

***

Mobil hitamnya terparkir di depan gerbang rumah Jani. Zio memandangi bangunan tinggi menjulang itu, terlihat kokoh dan kuat dengan berpuluh lapis beton sebagai pilarnya.

Zio keluar, ia berjalan mendekati gerbang itu, menatap kamar Jani yang berada di lantai atas rumah tersebut. Tirainya tertutup rapat, mungkin sedang tidak ada orang di dalam sana, ia tidak tahu.

Cowok itu memegang pagar besi di depannya, terlihat seperti penguntit yang sedang melakukan misinya secara terang-terangan, namun saat ini dirinya bukan lah seorang itu. Zio hanya merindukan Jani dan ingin bertemu dengan gadis itu.

Brak.

Zio terdiam beberapa saat mendengar suara dentingan pintu yang tertutup kasar. Matanya terfokus menatap seorang pria yang berjalan tergesa meninggalkan rumah, sementara seorang gadis berusaha menahannya dengan mencekal lengannya.

"Ayah..."

Cowok itu tercekat, Zio sangat mengenali suara sendu itu. Itu suara milik Jani.

"Lepaskan tanganmu itu!" titah pria yang Jani panggil sebagai ayah itu. Zio menatapnya tajam, apa-apaan pria itu? Tatapannya menyiratkan kebencian yang teramat dalam pada Jani.

"Ayah, dengerin Jani dulu, Yah," pinta Jani dengan nada memohon.

Pria itu menyentak lengan Jani hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Sebulir air mata berhasil lolos dari kelopak mata indahnya, membuat Zio mengepalkan tangan kuat.

"Ayah pasti nutup-nutupin sesuatu, kan? Ayah pasti tau tentang kotak hitam itu, kan?"

Kotak hitam?

Zio mengernyit, kotak hitam mana yang Jani maksud? Berarti firasatnya selama ini benar, ada sesuatu yang belum ia ketahui. Zio terlalu ceroboh. Cowok itu hanya mendesis pelan.

"Diam!"

Sebuah tamparan mendarat halus di pipinya, namun masih menimbulkan efek panas yang menjalari sekitar wajah Jani. Gadis itu terduduk lemas di lantai, dan hal itu pun membuat Zio mengerti, jika Jani tak lebih dari seorang gadis lemah yang berpura-pura kuat di hadapan semua orang.

"Ayah tau kan, tentang kematian ibu? Ayah juga tau kan, tentang bahaya yang lagi incar aku?"

Jani berada dalam bahaya? Rasanya Zio tak bisa merasakan apa pun lagi selain marah dan kecewa. Ia marah pada dirinya sendiri, dan kecewa pada keadaan yang seolah tak pernah berpihak padanya.

Jani bangkit, gadis itu menarik jas yang dikenakan sang ayah. Memaksa pria itu untuk berbalik, menatapnya. "Ayah masih salahin Jani? Hiks."

Pria itu mencengkram lengan Jani kuat, memberikan tatapan menusuk ke dalam manik mata putrinya itu.

"Jika ibumu tidak bertekad untuk melindungimu, dia pasti masih hidup. Harusnya kau saja yang mati," ujar Ayah penuh penekanan.

Jani semakin terisak dibuatnya. Hidupnya seolah tak diinginkan. Kehadirannya seolah tak dihiraukan. Dunia seakan menumpukan beban hidupnya terlalu berat, mengabaikan segala rasa sakit yang Jani derita. Rasanya tidak adil. Sangat tidak adil.

Sebuah tamparan hampir akan dilayangkan kembali, sebelum suara seseorang menginterupsi.

Zio berdeham keras, cowok itu membuka gerbang tinggi di depannya yang tidak terkunci rapat. Ia berlari ke arah dua orang itu, menatap Jani dan pria tak jauh dari Jani nyalang.

Hermawan terbelalak. Ia kaget setengah mati menyaksikan keberadaan seseorang di sana. Dalam hati, ia memaki sekuriti yang selalu absent saat-saat berada di situasi seperti ini. Berbeda halnya dengan Jani, gadis itu menatap Zio haru, merasa terselamatkan oleh kehadirannya.

"Jani," panggil cowok itu pelan. Rasa sakit mulai menjalari hati Zio. Sebuah bercak kemerahan tercetak jelas di pipi kiri Jani. Sungguh hatinya tak terima melihat gadis itu diperlakukan tak layak oleh ayahnya sendiri.

Tanpa aba-aba, Jani memeluk Zio. Akhirnya, ada seseorang yang benar-benar mengetahui semuanya. Mengetahui identitas aslinya sebagai putri Hermawan Harijaya, sebagai gadis lemah yang selalu diabaikan oleh ayahnya, dan sebagai gadis yang masih mencari teka-teki kematian ibunya.

Zio membalasnya tak kalah erat. Ia tahu sebesar apa rasa sakit Jani, ia dapat merasakannya walau belum pernah ada di posisi gadis itu.

Jani terisak pelan di dada bidang Zio, membiarkan cowok itu mengetahui segalanya. Tidak apa, hatinya tidak menolak apa pun tentang cowok di depannya ini. Jani hanya ingin merasakan terlindungi, bahkan setelah tahu jika dirinya menjadi target sasaran pembunuh ibunya.

"Fabri," panggil Jani lemah. Zio tersenyum simpul, menepuk-nepuk bahu Jani yang tengah terguncang hebat.

"Siapa kamu?"

Zio menatap Hermawan tajam. Api dalam dirinya sudah menyala sedari tadi, Zio ingin menghajar pria di depannya ini. Tangannya sudah gatal ingin melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah dan perut pria itu, namun belum bisa terealisasikan.

"Oh, jadi Jani putri Bapak, seorang pengusaha sukses yang tak pernah meliput berita tentang keluarganya." Zio berkata sambil tersenyum miring. Ia ingin mengetahui reaksi pria itu yang sudah mematung di tempatnya.

Hermawan menggeram. Ia mendekati Zio yang memiliki tubuh lebih tinggi darinya itu dengan cepat. Berusaha ingin mengunci pergerakannya, namun gagal.

Gerakan Zio sangat gesit. Cowok itu melepaskan pelukannya pada Jani. Ia mengamankan gadis itu di samping taman.

Sekarang, dirinya hanya ingin menghajar pria tua di depannya ini dengan brutal, melampiaskan segala bentuk kekesalannya yang sudah memuncak. Tidak salah, kan, jika Zio melayangkan sebuah pukulan saja?

"Lancang sekali!" desis pria berpakaian formal itu. "Jangan pernah berani mencampuri urusan keluargaku, anak muda!"

Keluarga? Rasanya Zio ingin tertawa sekencang-kencangnya mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Hermawan. Apa selama ini pria itu masih menganggap kehadiran Jani sebagian dari keluarga kecilnya? Bahkan untuk menyayangi gadis itu pun Hermawan tidak bisa.

Zio mendecih. Ia tak ingin bermain-main lagi, sudah cukup kesabarannya selama ini. Sebuah drama keluarga yang tak pernah ia bayangkan akan tersuguh di depan matanya. Emosinya benar-benar diuji.

Sialan!

Cowok itu siap untuk menarik kerah baju Hermawan. Gerakannya terhenti saat Jani seolah menghentikan waktu di antara keduanya.

"Biarin ayah pergi, Fab. Gue sayang sama lo, gue gak mau lo jadi korban kemarahan ayah gue."

***

Hai.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang