FABRI(ZIO) -13-

88 23 31
                                    

Fabri menatap gadis di depannya lama. Tatapannya datar, tidak menunjukan ekspresi apa pun. Dirinya menunjukan sikap aslinya saat ini, kaku dan dingin.

"Kamu siapa?"

Melihat reaksi terkejut gadis itu membuat Fabri mengerutkan dahi. Tentu saja ia hanya berpura-pura tidak tahu tentang siapa gadis yang sedang berbicara dengannya ini. Fabri tidak mungkin mengalami amnesia dadakan seperti itu.

Jani tersenyum cerah. "Kenalin, gue Jani. Lo siapa?" gadis itu mengulurkan tangannya.

Fabri tidak merespons uluran tangan tersebut. Ia tidak mau bersentuhan dengan gadis mana pun saat dirinya menjadi pribadi yang asli. Cowok itu hanya membuang wajahnya dan langsung berbalik tanpa menatap Jani.

Terdengar dengkusan cukup keras. Jani memejamkan mata, sepertinya ia harus banyak bersabar saat berbicara dengan cowok di depannya ini. Dengan lantang, Jani berteriak, membuat langkah cowok tadi lagi-lagi terhenti.

"NAMA LO SIAPA?"

Fabri berbalik, matanya menusuk tajam. Sangat kontras dengan wajahnya yang terkesan baby face. "Zio."

Mendengar namanya, membuat hati gadis itu berdegup kencang. Dalam hati, Jani memuji ketampanannya. Ia berpikir, mungkin saja Zio adalah cowok yang lebih tua darinya. Terlihat jelas raut dewasaan yang membuatnya semakin terkagum pada cowok itu.

Jani harus menelan kekecewaannya saat Zio kembali melangkahkan kakinya menjauh dari area rumahnya. Semakin jauh, sampai gadis itu melupakan pertanyaan paling penting yang belum sempat ia tanyakan.

Apa yang barusan cowok itu lakukan di depan rumahnya?

Jani pun mengambil nasi padangnya dan kembali melanjutkan langkah. Gadis itu yakin, jika suatu saat nanti, dirinya akan bertemu kembali dengan Zio, sangat-sangat yakin.

***

Jani mengernyit, menatap heran pada pintu utama rumahnya yang terbuka lebar. Apa ayahnya sudah pulang? Tapi ini masih waktu kerjanya, atau ada barang yang tertinggal? Gadis itu tidak tahu.

Ia berjalan memasuki rumahnya dengan perasaan waswas. Ia takut, dirinya tak ingin bertemu dengan sang ayah, ia tak ingin kejadian beberapa hari lalu kembali terulang.

Jani berjalan mengendap-endap menaiki tangga. Matanya masih bertugas mengawasi keadaan sekitar, takut-takut ayahnya melihat kehadirannya. Ia tidak mau itu terjadi.

"Dari mana saja, huh?"

Tubuhnya membeku. Napasnya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Jani menoleh perlahan, melihat ayahnya sedang berdiri di anak tangga terakhir di lantai satu.

Nyawanya seolah direnggut saat melihat sorot mata sang ayah yang sangat menusuk dan tajam. Pria itu berjalan menghampiri Jani, membuat jantung gadis itu berpacu semakin cepat.

"Dasar tidak tahu diuntung!"

Satu tamparan keras mendarat di pipi mulusnya. Jani meringis, memegangi bekas tamparan yang terasa panas itu.

"Ayah sudah membebaskan kamu, membiayai sekolah kamu, memfasilitasi segala kebutuhanmu, tapi kamu masih saja membantah apa yang Ayah katakan."

"Ma-maaf, Ayah," ujar Jani pelan. Dirinya masih sangat tersentak mendengar ayah mengungkit segala jasa yang diberikan, meskipun sudah berkali-kali Hermawan melakukannya.

"Anak tidak berguna! Selalu saja menyusahkan." Hermawan siap melayangkan kembali tamparan kerasnya, namun terhenti mendengar suara Jani yang terdengar rintih itu.

"Ayah selalu aja salahin Jani. Jani enggak tau apa-apa, Yah. Jani enggak tau, hiks."

Setetes cairan bening berhasil turun membasahi pipinya. Jani menatap ayahnya sendu. Tidak mengerti mengapa ayahnya selalu merahasiakan keberadaannya, selalu mengatakan pada media bahwa putri semata wayangnya telah meninggal, padahal dirinya masih hidup, bahkan berdiri di hadapan ayahnya langsung. Mengapa?

Jani mengusap air matanya. Tatapannya berubah menjadi raut kekecewaan. Hatinya sangat sakit, ayahnya seakan tak menganggap kehadirannya ada di dunia. Dan itu sukses membuat Jani hancur sehancur-hancurnya.

"Ayah jahat sama Jani. Ayah selalu paksa Jani buat sembunyiin identitas, larang Jani enggak keluar rumah, larang buat ajak temen-temen main ke sini, larang Jan—"

"Berhenti!"

Satu tamparan mendarat kembali di pipi Jani. Gadis itu semakin terisak. Genggaman pada kantong plastik mengerat, hatinya tidak terima dengan semua perlakuan ayahnya itu.

Kenapa ayahnya bersikap seperti tadi? Kebahagiaannya terenggut setelah hari itu tiba, hari di mana Ferdio datang ke rumahnya dan menghancurkan semuanya.

Ia benci pria tua itu, ia benci melihat wajahnya. Ia benci segala hal yang berkaitan dengan pria itu, ia benci segalanya.

Jani mengepalkan tangan. Amarahnya mulai terpancing kembali. Ia benci pada ayah yang selalu melakukan kekerasan fisik padanya. Jani tak pernah tahu alasan di balik perubahan sikap Hermawan itu, namun satu yang ia sadari, sejak kematian ibunya, tatapan ayahnya selalu saja berisi kabut hitam pekat yang membelenggu hati.

"Masuk ke kamar!"

Jani memejamkan mata mendengar setiap kata yang terucap yang dibarengi dengan nada perintah dari ayahnya itu. Lagi-lagi, Jani hanya diam, tak bisa memprotes segela perintah ayah. Ucapan itu mutlak, tidak dapat disanggah apalagi dibantah.

Gadis itu berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Hermawan dengan kebisuan yang tercipta. Air matanya terus saja mengalir. Tangannya segera mengunci pintu dan tubuhnya terkulai lemas di lantai.

"Apa salah gue?" tanyanya dengan isakan yang masih mengiringi.

Jani melemparkan kantong nasi padangnya hingga bungkusan plastik itu masuk ke kolong ranjang besar miliknya. Ia menangis sejadi-jadinya. Menyesali semua perbuatan yang telah ia lakukan.

"Apa Ayah malu punya anak kayak gue?" racaunya. Penglihatan Jani mulai mengabur.

Jani bangkit dan berjalan gontai mendekati jendela besar di samping kamar. Ia membuka gorden coklat tuanya pelan, pemandangan indah terlihat dari tempatnya berdiri. Rumah-rumah berjajar rapi dan gedung pencakar langit terlihat memanjakan mata.

Namun semua itu tak ada artinya. Jani sedang kacau, tak bisa menikmati setiap keindahan yang tersaji di pelupuk mata. Hatinya sudah patah. Semua orang sangat kejam padanya. Bahkan alam pun seolah tak menginginkan kehadirannya terlihat.

Jani mengambil sebuah foto album keluarga yang selalu ia simpan di dalam laci meja riasnya. Ia membuka lembar demi lembar album itu. Senyumnya terbit saat melihat Jani kecil tengah berada di gendongan ayah sambil menangis. Sementara Sakira—ibunya tersenyum cantik menatap kamera.

Gadis itu membuka lembaran baru, tampak di sana Jani tengah memegang boneka kelinci berwarna merah jambu dengan senyum ceria di wajahnya. Ia tebak usianya saat itu masih berumur tiga tahun.

Di samping gambar itu, terdapat sebuah gambar berisikan sepasang suami istri yang sedang tersenyum hangat ke arah kamera. Sang istri mengapit lengan suami dan kepalanya sedikit menyandar di sana.

"Ibu..."

Jani merindukan sosok penyayang yang selalu mengepang rambutnya saat ia masih menginjak di bangku sekolah dasar. Jani merindukan sosok ibu yang selalu membisikan kalimat indah saat ia tertidur lelap sehabis pulang sekolah yang saat itu dirinya masih berada di awal masa putih-birunya.

Air matanya kembali mengalir, mengingat betapa peliknya hidup ini.

Jani membuka lembar berikutnya, matanya langsung bertatapan dengan mata hitam milik ibu yang tertawa saat Jani memeluknya di dapur. Ayah yang mengabadikan gambar itu. Hingga Jani tak pernah menyangka, jika foto tersebut adalah kenangan terakhir yang sempat terabadikan sebelum ibunya benar-benar pergi. Meninggalkannya. Dan ... Ayah.

***

Hai, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. <3

Part ini no edit. Maaf kalo berantakan. :(

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang