FABRI(ZIO) -26-

72 18 14
                                    

Jani keluar dari rumahnya dengan mengendap-endap, sebisa mungkin ia harus terlihat invisible, namun memang segala usahanya itu selalu sia-sia. Nyatanya, Pak Ohan sedang menatapnya sambil menyengir lebar. Pria itu tengah berjaga di sekitaran rumah, dan sialnya Jani tertangkap basah tengah menyelinap keluar.

"Mau ke mana, Non?"

Pak Ohan menghampiri Jani, pria itu pun memiringkan wajahnya, berniat menggoda Jani. "Kok enggak sekolah, bolos, ya?"

Gadis itu membeku. Tubuhnya kaku, Jani hanya bisa memperlihatkan deretan gigi rapinya sambil menggaruk tengkuknya.

"Em, anu, Pak. Saya ada ... ulangan praktek, iya, ulangan praktek, Pak."

Pak Ohan menatapnya dengan ragu, Jani pun langsung mencekal lengan pria itu, ia tersenyum manis. "Saya mau ke sekolah dulu, Pak. Nanti ngobrol lagi, ya, tinggal koling-koling aja."

Jani langsung berlari meninggalkan Pak Ohan yang hanya diam sambil menatapnya bingung.

Gadis itu membuka gerbang dan menutupnya cepat. Jani berlari menghampiri Fabri yang sudah menunggunya dengan senyuman cerah.

"Maaf lama, ya."

"Gak pa-pa." Fabri memperhatikan tampilan Jani dari atas sampai bawah. "Lo mau ke mana?"

Jani mengerutkan dahi bingung. Pertanyaan konyol apa itu? Memang Fabri ingin membawanya ke mana?

Seakan paham, cowok itu terkekeh. Fabri turun dari atas motornya dan berdiri tepat di hadapan Jani. Ia mengangkat kakinya tinggi, memperlihatkan sepatu olahraga yang baru Jani sadari.

"Lo ngajak gue olahraga?" tanya Jani memastikan. Bagaimana tidak, saat ini gadis itu hanya memakai pakaian kasual dengan kardigan yang membalut tubuhnya. Sepatunya pun hanya flat shoes sederhana, sangat tidak cocok untuk berolahraga.

Fabri mengangguk sambil tertawa kecil. Ekspresi Jani langsung berubah muram, seingatnya, tadi cowok itu mengenakan pakaian biasa, kenapa sekarang tampak berbeda.

"Gue sempet ganti baju di WC umum deket sini."

Jani menatap Fabri sebal, membuat cowok itu semakin melebarkan cengirannya. Fabri menarik tangan gadis itu, membuat Jani harus mengikutinya naik ke atas motor besarnya.

Gadis itu naik setelah memakai helm yang sempat Fabri berikan padanya. Dengan hati-hati, kakinya menginjak tumpuan dan motor pun melesat jauh meninggalkan area perumahan.

Jani memandangi rumah-rumah mewah yang terbangun kokoh di sekitarnya. Gadis itu menepuk pundak Fabri, membuat cowok itu menatapnya melalui spion.

"Kok lo bisa tau alamat rumah gue?"

Mata cowok itu menyipit, tanda tersenyum. Tak ada jawaban yang diberikan Fabri untuknya, pertanyaannya pun menggantungkan di udara.

Jani memicing, gadis itu menatap Fabri curiga. "Lo nguntit gue, ya?"

Bahu Fabri terangkat kecil, membuat Jani lagi-lagi menepuk pundaknya. "Asem lo!"

Motor melaju sedang, hingga seorang pengendara motor lainnya tiba-tiba memepet jalan Fabri hingga cowok itu harus sedikit menyisikan motornya mendekati trotoar.

Fabri melirik pengendara itu, motornya sama seperti dirinya, tipe motor besar dengan harga luar biasa. Tatapannya berubah sinis saat motor tersebut menaik-turunkan gasnya, seakan menantang Fabri untuk balapan.

Dengan santai, cowok itu mengoper kopling, ia langsung menarik gasnya hingga kecepatannya mencapai angka seratus delapan puluh perjam.

Tubuh Jani terhuyung ke depan, refleks gadis itu pun melingkarkan lengannya ke perut Fabri, mencari perlindungan di sana.

"Fab," panggil Jani takut. Pelukannya semakin kencang saat si pengendara itu berusaha mengejar keduanya.

Cowok itu tidak menyahut, matanya fokus ke arah depan dengan sesekali melirik kaca spion. Dalam hati ia menggeram, ada yang berniat mencelakakannya. Sialan!

Si pengendara itu berhasil menyamai kecepatan Fabri. Cowok di balik kemudinya itu mengangkat sedikit wajahnya, tangannya terjulur menunjukan lambang sip terbalik.

Fabri menahan gejolak emosinya. Ia mencengkram stang motor, emosinya benar-benar diuji saat cowok itu berusaha menyerempetkan motor Fabri kembali.

Dengan cekatan, ia mengambil tangan Jani, digenggamnya erat sambil matanya melirik gadis itu yang terus memejamkan mata. Guratan-guratan di samping matanya pun tercetak jelas, membuat Fabri sedikit melengkungkan senyumnya.

"Pegangan yang kuat, gue mau ngebut."

Jani mendengar kalimat itu, namun ia masih setia dengan kegiatannya. Rasa takutnya mengalahkan segalanya. Bahkan gadis itu merasa jika tubuhnya kini sedang melayang. Fabri benar-benar minta diceramahi.

Dari tadi juga udah ngebut, anjir!

Jantung Jani terasa ingin keluar saat laju motor cowok itu semakin bertambah. Tak dapat dipungkiri, Fabri memang jago dalam mengemudikan kendaraan beroda dua itu, namun apa cowok itu tidak memikirkan bagaimana perasaan Jani sekarang? Rasanya gadis itu ingin menangis saja.

"Bangsat lo, bajingan!" Fabri menarik napasnya kuat. Cowok itu berusaha lari dari kepungan motor di sampingnya. Bagaimanapun, ia merasa jika dirinya tidak memiliki bakat dalam hal balap-membalap. Apa lagi sekarang Fabri tengah membonceng Jani, keselamatan gadis itu adalah alasan utamanya.

Sekali lagi, cowok itu menarik kopling, giginya ia oper dan motor pun semakin melesat jauh. Fabri membelokkan arah di pertigaan menuju pasar tradisional.

Cowok itu melengkungkan senyum saat motor tadi sudah tidak terlihat mengikutinya. Ia pun segera memelankan lajunya, apalagi kondisi jalanan semakin ramai, banyak angkutan umum dan pejalan kaki yang menenteng belanjaan berhilir mudik.

Fabri membuka kaca helmnya, wajahnya menunduk, memperhatikan lengan Jani yang masih melingkar erat di perutnya. Senyumnya mengembang sempurna, rasa hangat kembali mengisi hatinya.

"Jani," panggilnya pelan.

Gadis itu menyahut dengan gumaman, matanya masih terpejam rapat, Jani masih belum merasakan aura sekelilingnya.

Tangan Fabri menepuk tangan gadis itu dua kali, terasa dingin dan dipenuhi banyak keringat. Cowok itu terkekeh geli, Jani ketakutan, apa lagi melihat ekspresinya yang masih tidak berubah, membuat Fabri gemas ingin mencubit pipinya.

Gadis itu membuka matanya ragu, detik selanjutnya, matanya langsung terbuka lebar. Jani mengembuskan napas berat.

Mendengar kekehan cowok di depannya membuat Jani naik pitam. Gadis itu langsung mencubit perut Fabri keras membuat empunya meringis pelan.

"Dasar! Lo pengin ngajak gue mati, heh?"

"Iya, iya, maaf."

Jani menatap spion dan langsung menunjukan tatapan sebal pada cowok itu. Hampir saja jantungnya loncat dan kabur, bisa bahaya jika hal itu sampai terjadi.

Sadar dengan posisinya sekarang, gadis itu langsung melepaskan lengannya dan beringsut menjauh ke belakang. Fabri hanya tersenyum kecil melihatnya.

"Lo punya musuh?" tanyanya hati-hati. Jani hanya tak ingin cowok itu merasa terganggu dengan pertanyaan yang terkesan ingin tahu ini.

Fabri tidak menjawab, cowok itu hanya mengedikkan bahu. Jani pun mengangguk tanda mengerti. Tatapannya beralih ke arah beberapa bajaj yang terparkir rapi di parkiran pasar. Banyak wanita paruh baya membawa tas belanjaannya berjalan memasuki kendaraan beroda tiga itu.

Dalam hati, Jani merasa penasaran bagaimana sensasi menaiki bajaj, karena selama dirinya hidup, gadis itu tak pernah sekali pun menaiki kendaraan itu. Sepertinya menyenangkan.

"Gue rasa, gue gak pernah punya musuh, selain Randy, tentunya."

Jani kembali memfokuskan matanya ke arah spion, menunggu kelanjutan ucapan Fabri.

"Tapi sekarang kayaknya musuh gue bertambah, dan gue gak mau lo ikut terjerumus sama hal gak baik yang gue lakuin."

***

Hai?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang