FABRI(ZIO) -3-

141 41 11
                                    

Lelaki itu turun dari dalam mobilnya. Mata tajamnya begitu menusuk. Auranya sangat mengintimidasi, berbanding terbalik dengan pakaian santai yang membalut tubuh atletisnya. Ia melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang terletak di lantai teratas gedung ini.

Dentingan suara lift terbuka membuatnya langsung masuk dan menekan angka 27 di antara barisan angka yang tersusun rapi di sana. Kebetulan, tak ada antrean sama sekali, membuatnya leluasa untuk segera menemui atasannya.

Tak berselang lama, lift pun kembali terbuka. Lelaki itu langsung berjalan memasuki lorong panjang, sementara matanya menangkap sebuah pintu besar dengan banyak ukiran di setiap sudutnya. Di samping pintu itu, terdapat meja panjang yang menampilkan seorang wanita berusia awal tiga puluh tahunan berdiri menyambutnya.

"Selamat siang. Mencari Pak Santoso?" tanyanya ramah.

Lelaki itu mengangguk, membuat wanita tadi pun ikut menganggukkan kepala.

"Sebelumnya, sudah membuat janji terlebih dahulu?"

Kini, gelengan kepala yang menjadi jawabannya. "Saya Zio, beliau pasti selalu mengizinkan saya untuk menemuinya. Sila tanyakan saja."

Wanita bernama Ellia itu tampak ragu, namun masih bisa mempertahankan senyumnya. Ia pun berjalan menuju pintu dan mengetuknya.

Sahutan dari dalam sana menandakan bahwa dirinya dipersilakan untuk masuk. Dengan hati-hati, wanita itu masuk dan segera berdiri di depan atasannya.

"Maaf sebelumnya, Pak, telah mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin memberitahukan, bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan Bapak. Ia tidak memiliki janji sebelumnya, namun ia mengenalkan diri sebagai Zio."

Pak Santoso pun langsung menoleh, menatap wanita itu penuh minat. Tumben sekali pemuda itu datang menemuinya, apakah sesuatu yang diinginkannya sudah berhasil didapat? Entah lah, yang jelas, dirinya ingin mendengar apa yang akan pemuda itu katakan.

"Izinkan dia masuk, El."

Setelah mengangguk, wanita itu pun pamit dan langsung berjalan ke luar, mempersilakan Zio untuk segera masuk ke dalam.

Lelaki itu terdiam di ambang pintu, sebelum sebuah suara menginterupsinya untuk segera masuk. Ia melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang tengah duduk menatapnya. Pria itu tampak semringah meski tak ada senyum yang tercetak di bibirnya.

"Duduk lah, Anak Muda," ucapnya mempersilakan Zio duduk di depannya.

Keduanya diam. Santoso sibuk memperhatikan beberapa luka yang masih membekas di wajah orang kepercayaannya itu. Sementara, lelaki bernama Zio tadi hanya menatap lurus ke manik mata atasannya.

"Bagaimana kondisimu, sudah lebih baik?"

Zio mengangguk. "Anda tidak bisa melihat kehadiran saya di sini jika saya masih tak sadarkan diri, Pak."

"Kau terlalu serius, Nak," ungkap Santoso diselingi dengan tawa. "Jadi, apa yang membuatmu kemari?"

Lelaki itu menutup matanya. Berusaha merekam ulang kejadian yang dialaminya tempo hari. Ia lupa, tak mengatakan apa pun pada Santoso saat dirinya masih berada di rumah sakit. Alasannya berada di sana, hanya dibegal.

"Beberapa hari yang lalu, sebelum saya terbaring di rumah sakit, saya sudah menyelidiki sedikitnya hal dasar yang ada pada gadis itu."

"Lalu?" tanya Pak Santoso penasaran.

"Dia bernama Anjani, teman-temannya sering menyapanya Jani. Ya, benar dugaan Anda, Pak, gadis itu adalah putri dari Hermawan Harijaya, seorang pengusaha kelas atas di bidang furnitur."

Bayangan saat pukulan demi pukulan menghantam ke arahnya membuat Zio kembali merasakan sakit di beberapa bagian tertentu di beberapa titik tubuhnya. Lelaki itu pun menghela napas demi meminimalisir segala tekanan yang menjalar itu.

"Beberapa hari yang lalu, saya sempat melihatnya duduk di sebuah warung makan pinggir jalan. Saya pun memutuskan untuk mengikuti tanpa sepengetahuannya. Dan hal paling mengejutkan adalah, gadis itu telah diikuti lebih dulu oleh tiga pria bersetelan formal.

"Saya memperhatikan bagaimana gadis itu sempat dijambret, berbicara dengan beberapa pengamen kecil, bahkan melihatnya menahan lapar dan memilih untuk duduk di bawah pohon rimbun."

Pak Santoso tersenyum kecil. "Kau belum menceritakan bagian ini padaku, Anak Muda."

Zio mengangguk. Ia pun memilih untuk melanjutkan kalimatnya. "Beberapa kali pria-pria itu menatap saya curiga. Saya pun berusaha mengalalihkan fokus mereka dengan cara membaur dengan keramaian, namun saat saya akan menyebrang jalan, mereka menghentikan saya dengan mobil mereka dan menodongkan senjata api ke arah saya.

"Sebelumnya, saya kira kasus ini akan cukup ringan, mengingat hanya menyelidiki beberapa bukti yang akan dijadikan penguat dalam tuntutan di pengadilan nanti, sekali lagi, saya salah pemikiran. Sepertinya tugas saya bertambah dengan menyelidiki orang-orang itu."

Santoso tersenyum. Pria itu bangkit dan berdiri di samping Zio. "Saya akan selalu percayakan semuanya padamu, Anak Muda. Kerja bagus!"

***

Jani memicingkan mata saat sinar matahari menerobos masuk ke dalam maniknya. Gadis itu mengernyit, menatap lapang utama yang cukup ramai. Beberapa temannya sudah pulang, ada pula yang masih tinggal di sekolah demi mengikuti ekstra.

Langkahnya mengayun di koridor utama, yang mana itu merupakan jalan satu-satunya untuk bisa menaiki tangga.

Beberapa kali ia mengecek ponselnya, berharap sedikitnya ada orang yang mencarinya, namun nihil. Ia pun segera memasukan benda persegi panjang itu ke saku roknya.

"Princess harus jalan lagi, haduh," decaknya pelan. Gadis itu pun sedikit tertarik untuk melihat berita terbaru yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia memutuskan untuk mendekati majalah dinding yang terpasang di setiap koridor.

Matanya melihat ada beberapa pengumuman mengenai program OSIS yang baru saja diresmikan. Ada pula brosur dan penawaran untuk menghadiri acara penyuluhan kesehatan. Semuanya tidak menarik. Gadis itu pun kembali mencari beberapa kata kunci menarik di sana, hingga sebuah kalimat menarik perhatiannya.

"Dianjurkan untuk tidak berjalan sendirian di tempat sepi. Usahakan selalu mencari jalan ramai untuk berpergian. Seorang pejalan kaki (22) dikabarkan meninggal dalam insiden pengeroyokan oleh beberapa preman."

Mata Jani langsung terbelalak, ia melihat tanggal dan tempat yang tertera dalam poster itu, 2 Januari, Jalan Perdamaian Nomor 19.

Embusan napas lega pun terdengar begitu saja. Jani langsung tersenyum senang, tak lama, rautnya kembali sedih.

Sekali lagi, ia membaca artikel yang tersaji di sana. Ia pun mengembuskan napas lalu berujar, "innalillahi, kasian bet sodara gue, ya. Mungkin kalo nggak meninggal, doi udah bisa kasih duit buat orang tuanya. Malang banget sih, nasibnya."

Ia pun melanjutkan langkah. Ingatannya kembali membawanya pada kejadian tempo lalu, di mana kasus yang sama terjadi. Kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh beberapa orang bersetelan rapi, dan yang menjadi korbannya adalah anak muda.

Mata itu, membuatnya teringat akan wajah babak belurnya. Jani merasa ngilu saat kilasan yang terdengar rintih itu terputar jelas di memorinya. Ia jadi sedikit khawatir dengan keadaan orang itu, apalagi ia tak sempat membantunya. Apakah ia berdosa akan hal itu? Jika memang iya, kutuk lah dirinya sekarang.

Jani memutuskan untuk berkunjung ke tempat kejadian. Mungkin, ia bisa menemukan beberapa ciri atau tanda orang itu masih hidup, semoga saja.

***

Hai, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang