FABRI(ZIO) -22-

61 18 6
                                    

Halo, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. {°}

Sebelumnya aku mau minta maaf banget buat semua temen yang nungguin cerita ini (kalau ada xD).

Aku mau cerita sedikit, boleh? Jadi kan waktu itu hp aku kayak error gitu, nah terus aku diemin aja, mungkin nanti juga balik, pikirku ya gitu. Nah terus, beberapa hari ke depannya kayak tetep aja gak ada kemajuan. Eror terus, sinyal ilang, dan semacamnya. Sampe sekarang, hpku itu masih kayak gitu. Ini aja aku pake hp satunya lagi. Doain aja semoga cepet balik lagi hpku ya, aamiin. :((

Oh iya, minal aidin wal'faidzin, mohon maaf lahir dan batin ya.

***

Jani mengurung dirinya di kamar. Gadis itu tak ingin keluar di hari kedua dirinya diskors. Kemarin, ia memaksa pulang tanpa memberikan penjelasan apa pun pada Fabri. Cowok itu tak bertanya lebih jauh, karena pasti ia akan menyelidikinya sendiri.

Jani bangkit dan berjalan menuju lemari, mencari pakaian ganti karena ia belum sempat mengganti pakaiannya dari semalam. Ia akan mandi guna membersihkan diri dan tentunya menghilangkan lingkar hitam dan sembap akibat menangis terlalu lama.

Jani mengambil handuk yang tersimpan rapi di lemari. Sebelum beranjak menuju toilet, gadis itu sempat melirik jendela yang terbuka lebar di dinding kanan. Ia pun memutuskan untuk melihat ke arah sana.

Jani merasa tak pernah membuka tirai coklat tuanya pagi ini. Gadis itu dibuat keheranan dengan gorden yang tersibak dan kunci yang terbuka. Apa ada seseorang yang menyelinap masuk dan lupa mengunci jendela?

Gadis itu menurunkan pandangan ke lantai dasar, di mana taman rumahnya yang menjadi objek pemandangan utama. Jani memicingkan mata melihat sebuah kotak hitam tergeletak di teras samping pos satpam.

Rasanya sangat janggal jika Pak Ohan menaruh kotak tersebut sembarangan seperti itu. Lebih janggal lagi jika kotak itu merupakan paket yang ditunjukan langsung pada sekuriti pribadi rumahnya. Karena seingatnya, Pak Ohan tergolong dalam tipe manusia yang tertinggal zaman, bukan apa-apa, tak ada maksud merendahkan, namun ponsel pria itu saja masih menggunakan ponsel jadul dengan fasilitas minim. Tidak mungkin ia membeli paket atau menerima kiriman paket.

Jani segera keluar kamar dan berlari menuju lantai satu. Gadis itu membuka pintu utama dengan terburu-buru, tak peduli jika sekarang penampilannya terkesan sangat tidak girly.

Ia berjalan cepat mendekati pos satpam, matanya masih berfokus pada kotak itu yang memiliki ukuran cukup besar. Tak ada yang menarik dari bentuknya, hanya kotak biasa yang memiliki warna mencolok.

Ia masuk ke dalam pos, tak ada siapa-siapa di baliknya. Tempat berukuran 2x2 meter itu kosong. Mungkin Pak Ohan sedang keliling rumah atau membantu Bi Inah berbelanja ke pasar.

Tanpa ragu, Jani langsung mengambil kotak yang berhasil membuatnya penasaran setengah mati itu. Dipandanginya sesaat sebelum ia membawa kotak itu masuk ke dalam rumah.

Jani duduk di sofa ruang tamu. Tangannya mengamati kotak misterius itu dengan bingung. Tak ada nama pengirim atau penerima di bagian depannya, hanya sebuah kotak utuh tanpa hiasan sedikit pun.

"Punya ayah kali, ya."

Jani menyimpan kotak itu di dalam bufet kayu yang terpajang rapi di sudut ruangan. Gadis itu menyimpan hati-hati benda tersebut dan langsung menutup bufet berkaca di depannya. Matanya menoleh ke arah pintu, Jani lupa jika ia belum sempat menutupnya rapat. Gadis itu pun mendekati papan besar berukir indah itu.

Langkahnya terhenti di ambang saat matanya tak sengaja menemukan hal aneh di balik pagar tinggi rumah. Matanya dapat melihat jika di sana ada beberapa orang tengah saling berbicara sambil menatap rumah besarnya. Jani hanya mengernyitkan dahi bingung.

Terhitung, sudah dua kali ada orang yang diam-diam memperhatikan rumahnya seperti itu. Pertama, saat ia melihat Zio tengah berdiri memandangi rumahnya dari jarak yang cukup dekat. Jani kira, orang-orang di depan sana sedikit lebih mengikis jarak hingga tubuh mereka terlihat sangat dekat dengan pagar.

Rasa takut mulai membayangi dirinya. Gadis itu teringat akan insiden penembakan ibunya yang terlampau sadis. Saat itu, banyak orang yang mengepung rumahnya dengan pakaian serba hitam. Jani tidak mengetahui siapa mereka dan dari mana mereka berasal, yang Jani pikirkan hanyalah terduduk diam menuruti segala hal yang diucapkan sang ibu.

"Jani, Jani duduk di sini, ya. Jangan ke mana-mana, tunggu Ibu ya, Sayang."

Itu kalimat terakhir yang sempat Jani dengar dari ibunya. Setelahnya, kejadian tragis tersebut menimpa keluarganya. Ibunya diserang saat ayahnya sedang tak ada di rumah. Jani yang kala itu masih berusia sebelas tahun pun tidak ingin bertanya banyak pada ibu, ia hanya ingin menjadi anak penurut dan bisa membanggakan orang tuanya. Itu saja.

Melihat orang-orang yang masih setia menatap rumahnya itu membuat Jani merasa de javu. Rasa sakit itu kembali mengaga dan segala perlakuan ayahnya kembali terputar di kepala.

Bagaimana ayahnya berlaku kasar, memukul, hingga menganggap Jani mati bersama kepergian ibunya. Kenyataan itu sungguh membuatnya terpukul. Memiliki ayah yang tak pernah menganggap kehadirannya bukan lah hal mudah, apalagi sikap ayah yang berubah seratus delapan puluh derajat saat setelah insiden itu, yang ia dapatkan hanya makian dan teriakan frustrasi.

Jani memberanikan diri untuk menghampiri orang-orang tadi. Dengan segenap tekad yang bulat, ia pun memutuskan untuk berjalan tanpa menimbulkan suara.

Gadis itu hanya ingin memastikan, jika rumahnya tidak sedang dalam bahaya. Rasa trauma membuat hasrat pendendamnya menguar. Jani berjanji akan membalas semua perlakuan orang yang sudah tega merenggut kehadiran ibu dari sisinya.

Ia bersembunyi di dekat tembok pos satpam, matanya melirik tajam ke arah gerbang tinggi menjulang itu. Beberapa orang tadi terlihat menunjuk rumahnya, ada pula yang mengangguk menyetujui ucapan rekannya yang lain.

Apa mungkin, mereka adalah penjahat yang sedang mengatur strategi dengan terjun langsung ke lapangan? Terdengar aneh, bukankah dalam mengaturnya cukup diperlukan denah lokasi? Entah lah, Jani tidak terlalu mengetahui hal tersebut.

Ia mengendap-endap berjalan mendekati gerbang, sedikit menguping pembicaraan mereka yang tampak asik itu.

"Di lantai atas terdapat ruangan kerja Pak Hermawan, di sebelah kirinya, terdapat beberapa ornamen kayu yang terpajang rapi."

Jani mengerutkan dahi, mengapa orang itu bisa tahu detail rumahnya? Bahkan orang itu mengetahui beberapa patung yang terpajang di dinding ruangan ayahnya.

"Kerja bagus, Ley!"

Jani merasa mengenali suara itu. Suara yang terdengar dingin penuh intimidasi, membuat tubuhnya meremang mendengarnya.

"Beberapa hari lalu, saya sengaja menunggu waktu yang tepat untuk menyamar menjadi seorang pengendara ojek. Kebetulan seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini sedang menunggu angkutan umum untuk pergi berbelanja. Saya menawarkan diri untuk mengantarnya dan dengan semringah wanita itu menyetujui tawaran saya." ada jeda sedikit sebelum pria itu berujar, "saya pun berhasil mengorek informasi dasar tentang Pak Hermawan dari wanita tersebut. Saat itu, ia meminta saya untuk memasangkan regulator gas, karena semua asisten yang bekerja di sana sedang sibuk. Saya pun berinisiatif untuk mengambil beberapa gambar yang sekiranya dibutuhkan sebagai bukti kuat di pengadilan nanti."

Jani membelalakkan matanya. Tak percaya dengan ucapan orang itu yang terdengar sangat niat dan nekat itu. Ia menutup mulut kaget mendengar kelanjutan kalimat pria itu.

"Kejutannya, putri Hermawan Harijaya masih hidup, ia sudah menjadi gadis dewasa nan cantik."

***

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang