FABRI(ZIO) -25-

69 18 17
                                    

Pagi yang cerah ternyata tidak secerah wajah Jani. Kantung mata menghitam dan mata sembap menjadi pemandangan utama di pagi ini, tak lupa hidung yang kemarahan menambah kesan sempurna untuk tampilannya yang acak-acakan.

Jani lupa, kapan dirinya berhenti menangis, mungkin saat ia benar-benar tidur, itu pun sudah terlalu larut malam, gadis itu menghela napas, menatap pantulan dirinya di cermin.

Terlalu berantakan.

Rambut yang awut-awutan dan baju yang kusut. Ia berdecak kesal. Bahkan Jani sampai tidak mengenali pantulan dirinya sendiri.

Jani memutuskan untuk mandi, menenangkan pikirannya dengan berendam di air hangat, pilihan yang tepat. Ia pun berjalan ke arah toilet, namun sesuatu berhasil menarik perhatiannya.

Ada sesuatu yang terlempar kasar mengenai jendela. Terdengar dari bunyinya, benda tersebut adalah kerikil taman. Jani mengernyit lalu menghampiri jendela tinggi itu.

Ia membuka tirai dan matanya langsung dikejutkan dengan seorang cowok yang tengah melambaikan tangan di bawah sana. Cowok itu duduk di atas motor besarnya, menatap Jani dengan senyuman khasnya.

"Fabri," gumam Jani pelan. Gadis itu segera membuka jendela dan memicingkan matanya demi memastikan ketepatan daya analisanya.

Cowok itu menyengir, menunjukan deret giginya yang tersusun rapi. Fabri menepuk-nepuk jok belakang motornya, memberi Jani sebuah isyarat yang langsung gadis itu pahami.

Ia menggelengkan kepala, Jani mengibaskan tangannya. Tak mungkin jika dirinya harus berteriak memberi jawaban, bisa-bisa ayah curiga mendengarnya.

Gadis itu melihat pergerakan Fabri yang akan berteriak dengan kedua tangan, ia pun langsung menaruh telunjuknya di depan bibir, berharap cowok itu dapat mengerti situasi dan kondisi.

Lagi pula, dari mana Fabri mengetahui letak rumahnya? Apa cowok itu juga mengetahui tentang rahasia keluarga serta identitas dirinya? Jani terus berharap, semoga saja semua itu tetap aman dalam kendali, ya semoga.

Fabri terlihat mengerutkan dahi, cowok itu menatapnya seolah bertanya, "kenapa?"

Jani kembali menggeleng, gadis itu berjalan mendekati pintu dan menarik kenopnya. Ayahnya pasti sudah berangkat kerja, terlihat dari penghuni rumah yang tampak sepi. Mungkin ia akan bertanya pada Bi Inah atau Pak Ohan nanti.

Berbicara tentang Bi Inah, Jani lupa bertanya sesuatu. Tentang ucapan orang kemarin dan kotak hitam yang ditemuinya di pos satpam. Setelah ini, ia akan bertanya, pasti.

Gadis itu menuruni tangga dengan tergesa. Ia akan menemui Fabri sekarang juga lewat pintu utama. Tak peduli dengan gaya berpakaiannya yang jauh dari kata rapi, mungkin cowok itu akan mencapnya sebagai gadis jorok, that's fine.

Ia berlari melewati taman dan dengan cepat tangannya menarik pagar tinggi di depannya. Pak Ohan tidak ada di pos, lagi-lagi Jani merasa keberuntungan tengah berpihak padanya.

"Fabri," panggilnya sambil berlari ke arah cowok itu. Yang dipanggil pun menoleh, terpaku sekian detik menatap Jani.

Ah, malu. Dia pasti nge-judge gue!

Jani berhenti di depan cowok itu, keduanya terdiam cukup lama, hingga Fabri tersadar dari lamunannya. "Eh, lo lewat depan?"

Gadis itu menggaruk atas alisnya, sedikit tak nyaman dengan penampilannya yang mungkin saja membuat Fabri risi atau lebih parahnya, cowok itu akan merasa jijik berada di dekatnya.

Fabri turun dari motornya, ia mendekati Jani dengan perlahan. "What happen with you?"

"I'm okay, don't worry about me."

"Of course, I'm carrying of you. There is something wrong?"

Jani menggeleng, dan gadis itu pun langsung memeluk Fabri. Cowok di depannya tampak membeku. Sejurus kemudian, Fabri membalas pelukannya tak kalah hangat. "I'm here for you, don't be sad."

Bahu Jani sedikit terguncang, dengan hati-hati, Fabri mengusap punggungnya, memberikan sedikit kekuatan.

"Gue enggak pa-pa. Cuma abis begadang nonton film."

Cowok itu hanya mengangguk tanda mengerti. Fabri tak akan bertanya lebih lanjut, karena ia sudah mengetahui semuanya. Alasan di balik penampilan Jani, mata sembap, hingga lingkar hitam yang tercetak di sekitaran mata. Ia tahu bagaimana itu bisa terjadi. Tanpa sadar, tangannya mengepal kuat. Perasaannya bercampur aduk saat melihat ketidak akuran antara anak dan ayah itu.

Fabri melepas pelukannya, membuat Jani kembali merasakan kesendiriannya. Cowok itu memegang kedua bahu gadis di depannya, tatapannya fokus menatap wajah Jani, berharap gadis itu mau menatapnya balik.

"Lo enggak sendiri, ada gue di sini." Fabri tersenyum tulus kala Jani menatapnya ragu, gadis itu sempat beberapa kali menyeka air matanya, membuat Fabri gatal ingin melakukan hal yang sama. "Gue gak bakal paksa lo buat cerita, gue cuma mau tunggu lo buat ungkapin semuanya atas kemauan lo sendiri."

Jani tersenyum simpul. Gadis itu mengusap hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal. Fabri yang melihatnya langsung terkekeh geli, cowok itu bisa langsung menyimpulkan jika Jani tengah salah tingkah dibuatnya.

"Em, gue ... gue mau ke dalam dulu, ya." Jani menyengir lebar. Seolah tak pernah merasakan kesedihan sebelumnya. Terlihat sangat kontras dengan raut wajahnya yang sangat bertolak belakang.

"Mau ke mana?"

Jani mendengkus melihat tatapan jahil cowok itu, ia pun segera berbalik dan berlari menuju gerbang.

Jani akan mandi terlebih dulu. Ia tahu, jika cowok itu akan mengajaknya untuk pergi, Jani pun merasa sangat senang dan secepatnya ia akan kembali menemui Fabri.

Langkahnya terhenti saat akan menutup gerbang. Gadis itu menyadari jika dirinya melewatkan sesuatu. Dengan pasti, Jani berbalik kembali dan berteriak, "kok lo bisa tau rumah gue?"

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

Hai?

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang