FABRI(ZIO) -32-

60 19 22
                                    

Jani memilin jarinya. Gadis itu bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Fabri tengah menatapnya serius, bahkan sangat serius, terkesan bukan kepribadiannya.

"Ada apa?"

Situasi rumahnya sudah berjalan seperti biasanya. Ayah sudah pergi menuju kantornya dan tinggal lah Jani di sini, bersama Fabri di sampingnya.

"Mungkin lo bakal jadi orang pertama ... yang tau tentang gue, Fab."

Fabri menggenggam tangan Jani, cowok itu mengubah raut wajahnya menjadi ramah kembali. Ia tersenyum cerah, menatap Jani yang menundukkan kepalanya.

Dada Jani masih bergemuruh kencang, namun isakannya sudah mereda. Gadis itu menatap Fabri ragu, sedetik kemudian, ia menghela napas panjang.

"Beberapa hari lalu, gue nemuin kotak hitam di depan pos satpam."

"Gue pikir, itu punya ayah karena gue gak pernah beli paket atau apa pun itu," lanjut Jani sambil menatap Fabri lama.

Cowok itu diam, tangannya masih menggenggam tangan Jani, menyalurkan semangat untuk gadis itu. "Lalu?"

Jani terlihat gelisah. Gadis itu beberapa kali memejamkan matanya, tak kuasa jika harus mengatakan semuanya. Dirinya belum siap, Jani masih ragu memercayai Fabri akan hal ini.

"Mereka bakal jadiin gue target selanjutnya."

Cukup dengan mendengar kalimat itu, Fabri sudah mengerti akan ke mana jalan cerita yang akan Jani paparkan. Dengan gesit, ia menarik gadis itu dalam pelukannya. Mendekapnya erat, sungguh setelah ini, Fabri tak akan membiarkan siapa pun menyentuh Jani, siapa pun, termasuk ayahnya sendiri.

Jani menangis dalam diam di pelukan cowok itu. Ia hanya ingin menumpahkan segala yang menyesakkan dadanya. Jani membutuhkan sandaran untuk sesaat, jadi biarkan ia egois hanya untuk saat ini.

Suasana taman rumahnya sangat sepi, memungkinkan Jani untuk membalas pelukan Fabri. Ia tidak yakin, jika setelah kejadian ini bisa berjauhan dengan cowok itu. Karena hanya dengan pelukan hangatnya, Jani sudah bisa sedikit menekan rasa sakit yang bersarang di hatinya.

"Gue yang bakal jagain lo, jangan khawatir."

Fabri mengecup puncak kepala Jani dalam. Hatinya sangat sesak bagai terimpit benda besar. Dadanya bergemuruh gelisah. Apa lagi yang akan terjadi selanjutnya, kenapa harus selalu Jani?

Cowok itu memejamkan mata, pikirannya menerawang jauh. Fabri menggeleng pedih, ia tak bisa melepaskan Jani, dan ia pun tak ingin lepas dari gadis itu.

"Ibu dibunuh, Fab. Kotak hitam itu ... kotak hitam itu... "

"Sttt."

Fabri melepas pelukannya. Ia menjauhkan sedikit tubuhnya demi menatap gadis itu secara jelas. Jani mendongak, tatapannya masih sendu, membuat Fabri frustrasi.

"Janji. Gue janji, gue bakal jadi orang pertama yang datang buat selametin lo kalo terjadi apa-apa nanti. Jangan khawatir, oke."

Jani langsung memeluk Fabri. Ia terisak di dada cowok itu. Jani tak tahu sudah seberapa mengerikan tampilannya sekarang, yang jelas, dirinya hanya butuh kehadiran cowok itu.

Fabri membalasnya setelah tersenyum simpul. Ia menyelami mata Jani, berusaha menemukan setitik harapan yang masih bisa mendorong gadis itu untuk tetap bertahan. "Gue juga sayang sama lo. Jangan ngelakuin hal-hal aneh."

Jani mengangguk. Ia melepaskan pelukannya dan memundurkan tubuhnya dua langkah dari Fabri. Jani mengusap ingusnya dan menatap cowok itu dengan tatapan tak terbaca.

"Lo ... lo gak jijik gitu sama gue?"

Fabri kembali mengikis jarak. Cowok itu merangkul bahu Jani hangat, ia tersenyum manis. "Gimana pun situasinya, gue gak akan pernah jijik sama lo."

Jani tersenyum manis, sangat manis hingga Fabri harus menahan napasnya sesaat. Gadis itu mengulurkan tangan ke arah rambut cowok di depannya. Tanpa izin apa pun, tangannya bergerak untuk merapikan rambut kecoklatan Fabri yang sedikit acak-acakan.

"Lo cat rambut?"

Fabri terkekeh. Ia menangkup tangan Jani yang berada di sisi wajahnya. "Ada alasan tertentu yang bikin gue ngelakuin itu."

"Kenapa?" Jani menarik tangannya, namun ditahan oleh Fabri. Cowok itu menggenggam tangan kecilnya lembut.

"Rahasia."

Setelahnya, Fabri tertawa keras, membuat Jani memicing aneh. Memangnya ada yang lucu? Tidak ada!

"Ih, nyebelin!" Jani menarik tangannya dari genggaman Fabri, cowok itu pun meredakan tawanya, berganti dengan kekehan kecil.

Tangan cowok itu terangkat, menyentil dahi Jani cukup keras, membuat empunya meringis pelan. Tatapan gadis itu pun menusuk tajam ke arahnya, sangat kontras dengan wajahnya yang masih memerah akibat menangis terlalu lama.

"Kalo nanti gue ada ngelakuin kesalahan, bilang, ya."

Jani menggigit bibir bawahnya kuat. Tatapan cowok itu berubah serius, membuat Jani bingung dengan kepribadian Fabri yang terlalu cepat berubah-ubah itu.

"Kenapa?" tanyanya tidak mengerti.

Fabri menggeleng. Ia mengembuskan napas perlahan. "Kalo suatu saat lo tau sesuatu tentang gue, baik itu hal baik atau hal buruk, gue minta maaf."

Jani semakin tidak paham dengan ucapan cowok itu. Bahkan Fabri belum menjawab pertanyaannya.

"Kenapa?" tanya Jani sekali lagi. Meskipun ia tahu jika nanti pertanyaannya hanya akan dibalas dengan hal lain, namun Jani masih saja menanyakan pertanyaan yang sama.

Lagi, Fabri menggeleng. Cowok itu tersenyum manis, membuat jantung Jani bekerja lebih cepat dari biasanya.

"Tolong jangan benci gue, ya. Gue ngelakuin hal itu bukan semata-mata buat ngejerumusin siapa pun, percaya sama gue."

"Fab."

"Iya, Jan?"

Jani mengembuskan napas kasar. Ia tidak suka dengan ucapan Fabri yang terkesan menyudutkan dirinya sendiri. Memangnya, apa yang Jani tidak ketahui dari cowok itu?

Detik itu pula, gadis itu tersadar, jika dirinya memang tidak mengetahui apa pun tentang cowok di depannya ini. Untuk sekadar nama saja, Jani hanya mengetahui nama depannya; Fabri.

"Gue ... belum pernah tau nama lo."

Fabri langsung menatapnya lama. Tatapannya datar, ruatnya berubah seratus delapan puluh derajat, sangat berbanding terbalik dengan Fabri yang biasa Jani temui.

Sedetik kemudian, sorotnya kembali normal. Tatapannya kembali menghangat. Fabri tersenyum simpul, menatap Jani dalam. "Jadi, lo belum tau nama gue?"

Jani menggeleng lemah, gadis itu masih bingung dengan apa yang dilihatnya barusan. Apa Fabri memiliki banyak ekspresi dalam hidupnya?

"Gue, Fabrizio Cornell Alexander, Fabri nama depan gue," ucap Fabri sambil terkekeh ringan.

Jani tercekat di tempatnya. Zio? Apa Fabri dan cowok itu memiliki sebuah ikatan yang tak ia ketahui? Atau mungkin kah keduanya adalah satu orang yang sama? Jani menggeleng cepat. Sangat tidak mungkin.

Masih dengan kekehannya, Fabri menatap Jani ramah. "Kenapa, hmm?"

Jani menggeleng lagi. Tatapannya masih lurus ke depan, menatap manik hitam bersih cowok di depannya.

"Janji, ya, jangan pernah benci sama gue. Kalo nantinya lo tau sesuatu, lo cuma harus inget kalimat ini." Fabri tersenyum kecil, terlihat sendu saat mengucapkannya. "Gue gak pernah berubah jadi siapa pun yang lo kira, gue tetap jadi gue yang selalu nyaman tiap bareng lo."

***

Hai.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. <3

Kemarin aku udah niat pengin update, tapi lupa, huhuhu. 😭 Jadi, hari ini aku bakal double up. Tunggu, ya.

Salam hangat,
intansaadah123

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang