32.

93.6K 4.8K 105
                                    

Selamat membaca!

➖➖➖

Aula Kampus siang ini lumayan ramai. Banyak Mahasiswa kelas pagi yang mungkin udah pulang. Gue berjalan sendiri, dengan menenteng sebuah buku novel.

"Kemaren, Pak Ajun. Sekarang, si Alvin anak teknik. Dasar pelakor."

Lohloh? Gimana?

Ini gue belom sampe ke kelas aja sudah disuguhi pemandangan kayak begini. Kinan, haters lo tambah banyak kayaknya.

Gue menoleh, dan mendapati Clarissa yang berdiri dengan angkuh-nya. Bersama dua orang teman-nya yang gue lihat kemarin dan juga—

Itu? Nesa?

"Ngomong sama gue?"

Clarissa memutar bola mata-nya malas. Sedangkan Nesa, daritadi gue lihat dia hanya dia menatap lurus kedepan.

"Masih ketara banget begonya." Tukas Clarissa sambil memainkan ujung-ujung rambut-nya dengan jari.

Gue berbalik, memutuskan untuk tidak peduli. Toh kalo gue ladenin itu ular pasti bakal lebih berkoar lagi.

Tapi sebuah tangan menarik rambut gue.

"Ck, apaan sih!" Gerutu gue sambil berupaya melepas jambakan tangan itu dari rambut gue.  Tapi tak kunjung bisa.

"Lepasin nggak? Gue aduin ke Rektor ya." Tukas gue sambil mengaduh dan berusaha melepas kaitan tangan Clarissa dengan rambut gue.

Dan itu berhasil.

"Ngapain sih? Ada urusan apa gue sama lo?" Ketus gue pada Clarissa dengan mata yang melirik kearah Nesa yang masih saja terdiam.

"Urusan lo sama gue? Banyak!" Tukas Clarissa sambil menunjuk gue dengan jari telunjuk-nya.

"Pertama, lo udah deket-deket Pak Ajun dan gue nggak suka." Lanjut Clarissa sambil maju beberapa centi.

"Kedua, lo udah main belakang sama—eits, coba deh gue kasih kesempatan sahabat sejati lo nih buat ngomong." Kata Clarissa menggangtungkan ucapan-nya sambil menoleh pelan kearah dimana Nesa berdiri.

"C'mon Nes, ungkap seluruh isi hati lo. Right now." Ucap Clarissa tanpa menoleh.

Tanpa sadar, perbincangan Clarissa dan gue menjadi pusat perhatian banyak orang.

Nesa maju beberapa langkah, mendekat dan berdiri tepat didepan gue dengan mata yang menyiratkan—entah apa gue nggak bisa menyimpulkan.

"Yang kedua." Gumam Nesa pelan.

"Kurang kenceng Nes." Teriak Clarissa turut mengundang perhatian Mahasiswa yang sedang berlalu-lalang.

Gue lihat mata Nesa berkaca-kaca. Atau jangan-jangan mata gue yang berkaca-kaca?

"Bilang sama gue lo cuma lagi prank gue, Nes." Gumam gue pelan sambil menatap legam manik mata Nesa.

"Bilang." Lanjut gue dengan suara bergetar. Nesa yang dulu periang dan penyayang telah hilang.

"Yang kedua." Kata Nesa mengencangkan suara-nya sehingga terdengar di seluruh penjuru aula Kampus.

"Nes." Lirih gue.

"Lo udah ngancurin hubungan gue sama Ardo."

Deg.

Gue hanya bisa menunduk, berusaha mencerna apa yang barusan Nesa katakan. Ngancurin katanya? Ikut-ikut hubungan dia aja gue nggak pernah.

"Beberapa hari setelah gue putus sama Ardo. Lo jalan kan sama dia? Semudah itu, Nan?" Kata Nesa dengan suara yang sama tapi lebih bergetar.

"Nggak Nes, sumpah dah." Ucap gue sambil menahan air mata. Kinan berubah kedalam melancholis mode.

"Lo pikir gue percaya?"

Dan satu bulir bening berhasil jatuh dari pelupuk mata gue. Tapi dengan segera gue menghapus-nya, gue nggak mau terlihat lemah didepan orang banyak.

"Nggak ada bukti, Nes. Lo nggak bisa main nyalahin gue begitu aja." Ucap gue berusaha setenang mungkin tanpa menatap Nesa.

"Mau bukti?" Tanya Nesa. Dan ia mengeluarkan handphone dari kantong kemeja-nya.

"Bukti-nya udah gue kirim ke handphone lo." Tukas Nesa dingin.

Gue mengambil handphone dari kantong celana gue. Dengan gemetar, gue membuka benda pipih itu. Membuka perlahan room chat gue dan Nesa yang sudah lama tenggelam.

Lagi-lagi, foto gue dan Ardo di Cafe waktu itu.

"Lo percaya sama uler piton kayak dia?" Tanya gue pada Nesa.

"Kenapa enggak?" Tanya Nesa balik.

"See guys? Kinan itu p-e-l-a-k-o-r." Teriak Clarissa sambil mengeja satu persatu kata pelakor.

Samar-samar, gue mendengar bisikan-bisikan dari para Mahsiswa yang menyaksikan kejadian tadi. Sampai sebuah tangan terulur kedepan gue.

Gue mendongak, mendapati Alvin dengan tatapan dingin-nya.

"Ayo, ikut." Kata Alvin pelan sambil mengulurkan tangan-nya.

Tanpa siapapun ketahui, seseorang memperhatikan kejadian itu dengan tangan terkepal dan wajah yang memerah.

➖➖➖

"Tadi kenapa?" Tanya Alvin yang baru saja membawa gue duduk dipinggir Lapangan.

"Nggak apa-apa." Jawab gue seadanya.

"Kamu nggak pintar buat bohong." Kata Alvin sambil sesekali mengelus puncak kepala gue. Gue hanya bisa menghela napas.

"Masuk siang?" Tanya Alvin lagi.

"Hm." Jawab gue tanpa mau menoleh.

"Aku antar ke kelas." Kata Alvin sambil mengulurkan tangan-nya.

"Nggak usah." Tolak gue halus. Bukan apa-apa, gue hanya malas menjadi bahan bualan Mahasiswa-Mahasiswa yang sedari tadi menyaksikan kejadian barusan.

"Nggak bakal ada yang ngomongin." Kata Alvin sambil membenarkan letak duduk-nya.

"Ada jaminan?" Tanya gue balik sambil menoleh, menatap sendu wajah Alvin yang berkeringat.

"Ada. Kalo ada yang ngomongin bakal aku santet." Kata Alvik dengan bibir yang dicebik-kan.

Dan itu sukses membuat gue sedikit demi sedikit terhibur senang.

"Jangan disantet, dosa." Kata gue sambil menaruh buku novel yang gue tenteng tadi kedalam tas.

"Buat kamu, nggak ada yang enggak."

"Mas-nya gombal?"

"Nggak, kata siapa?"

Gue dan Alvin tertawa, melupakan sejenak masalah yang menerpa gue siang hari ini.

"Ayo, aku antar ke kelas." Kata Alvin sambil menarik tangan gue untuk dikaitkan dengan tangan-nya. Dan gue hanya tersenyum. Senyum yang gue rasa belum begitu tulus.

Dan gue baru ingat, hari ini Mata Kuliah Pak Ajun. Ah, sial.

Gue menoleh, tak sengaja mendapati Dosen Mata Kuliah pertama yang baru gue sebutkan tadi sedang berdiri tegak dengan tangan bersedekap dada. Manatap nyalang kearah gue dan Alvin dengan wajah yang memerah. Dan ia berbalik, lalu pergi.

Meninggalkan sejuta pertanyaan yang terngiang di kepala gue.

➖➖➖

To be continue.

Jangan lupa vote dan comment.

Love y'all.


Dosen-able (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang