Prologue

677 37 5
                                    

Gadis bertubuh semampai duduk sembari menunduk di balik celah rambut panjang nan lebatnya. Seorang pria paruh baya berada di seberangnya. Ada wanita cukup berumur dengan kursi roda berada di antara mereka. Ditambah seorang pemuda yang umurnya terpaut tidak lebih 3 tahun dari gadis itu berada di seberang wanita berkursi roda. Formasi duduk tersebut membentuk bujur sangkar di ruang tamu mewah ini.

"Sekali lagi, aku memaksamu untuk menikah, Nak," kata wanita berkursi roda dengan tatapan lembut namun tersirat ketegasan yang dalam, seperti tatapan yang tidak menerima adanya penolakan. Membuat sang gadis yang diajak bicara makin menunduk dalam. "Aku bicara padamu. Jangan membuatku seolah bicara pada patung!"

Bentakan itu sontak saja membuat pria di seberang sang gadis terperanjat. Bagaimanapun, tidak ada seorang ayah yang terima anaknya dibentak seperti itu, apalagi oleh seseorang yang menurutnya asing. "Berani sekali kau membentaknya, Wanita Tua!"

"Salahkah aku membentak putriku sendiri? Dia darah dagingku, jika kau mengingatnya," Si wanita itu dengan senyum kemenangan. "Setidaknya uangku yang telah membesarkannya sampai cantik seperti saat ini."

Sang ayah terdiam. Ia tidak bisa menjawab karena seperti itulah faktanya. Ia hanya mampu menatap sang anak untuk menguatkan.

"Nak," panggil sang ibu lebih halus pada putrinya. "Jawabanmu?"

"Aku masih muda, Bu. Bahkan belum genap 22 tahun," kata sang anak dengan hati-hati menoleh pada sang ibu, seolah ibunya adalah eksekutor yang bahkan sangat menakutkan walau hanya ditatap matanya. "Aku masih ingin berkarir."

"Umurmu sudah cukup, Nak. Di tengah permasalahan yang dihadapi kekayaan keluarga kita saat ini, ibu harap kau memang perlu seorang pendamping untuk membuat jaya kembali keluarga kita. Lagipula, apa salahnya menikah? Kau masih bisa melanjutkan karirmu."

"Tidak bu, pernikahan tidak sesederhana itu," putrinya mengelak sambil menggeleng keras. "Aku akan membangun rumah tangga dan hidup selamanya bersama orang lain. Ini bukan sekadar mencari suami lalu hidup bersama dengan memanfaatkan kekayaan yang ia miliki. Aku kelak akan melahirkan nyawa baru yang harus kujaga de—"

"PERSETAN DENGAN UCAPANMU!" ibunya menghardik, penuh tekanan karena telah lama memendam kekesalannya. Ia tidak lagi mampu mendengar ocehan putrinya. Tatapan di balik kacamatanya memincing melihat anaknya terkejut dengan bentakannya lalu kembali menundukkan kepalanya. Air mukanya meneduh. Perlahan, digesernya kursi roda mendekati putrinya lalu mengelus kepalanya pelan. "Tidak, Nak. Ibu tidak bermaksud memarahkanmu. Hanya saja, pikirkanlah baik-baik. Ibu sudah lemah dan divonis tidak akan bisa hidup lebih lama. Saat inilah ibu sadar, ibu telah gagal membuat kalian bahagia. Ibu hanya tidak ingin menyesal karena meninggalkan kegagalan ibu dalam mengumpulkan harta pada kalian. Lagipula, ibu ingin tahu bagaimana rasanya menggendong cucu."

Mata putrinya berkaca-kaca. Ia mengangkat kepalanya lalu refleks memeluk ibunya. Sejahat dan sekejam apapun sang ibu meninggalkan mereka dulu, posisi seseorang yang sudah berjuang melahirkan dan membesarkanmu tidak akan bisa tergantikan.

"...yah, ibu benar-benar ingin tahu rasanya menggendong cucu, sebelum penyakit sialan ini membuat ibu tidak bisa merasakan dunia lagi."

Mata sang anak terbelalak. Ucapan itu sungguh menyakitkan dan merupakan ultimatum bahwa ia memang harus menikah. Tidak ada penolakan. "Baik bu..," ucapnya semakin merasa teriris dengan perkataan ibunya.

"Sudahkan dramanya?" celetuk satu-satunya pemuda di ruangan ini yang terlihat semakin risih dengan sikap kakak dan ibunya yang dirasa semakin berlebihan saja. Pemuda dengan tindik dan warna rambut yang sengaja dicat merah gradasi hitam ini memilih berdiri lalu melangkah pergi dari ruangan itu. "Aku tidak punya waktu untuk menonton drama."

"Jaga kesopananmu, Anak Sialan!"

"Ah, anak sialan, katamu? Biar kuberitahu sesuatu yang menarik..," kata pemuda itu berbalik lalu tersenyum manis—sangat kentara mengejek sang ibu yang terlihat lemah di kursi rodanya. Ia menunjuk dirinya sendiri lalu melayangkan telunjuknya ke arah ibunya. "Anak sialan yang kau maksud ini besar dari kasih sayang 'alam liar' dibanding ibunya yang mengejar harta dunia. Lihat? Sebentar lagi kau akan mati. Harta yang kau kejar bersama suami barumu itu tidak akan ada gunanya. Sekarang giliran Desya yang kau paksa untuk masuk ke dalam urusanmu."

"Astaga! Kenapa mulutmu makin kurang ajar saja Cleosa? Apa begini cara ayahmu membesarkanmu?"

"Apa-apaan kau?!" Pria yang dimaksud berdiri. Sepenuh hati tidak terima dituding oleh mantan istrinya.

"Ayahku jutaan lebih baik darimu, Nyonya Indri. Setidaknya ia mengajarkanku untuk mengerti bahwa dunia ini cukup keras bahkan sekadar untuk menerima keberadaanku saja," jawab Cleosa lalu kembali berbalik. "Kami hanya tidak ingin ada pernikahan yang kelak melahirkan anak seperti aku dan Desya. Tidak, jangan ada seperti itu lagi."

To be Continued

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang