Chapter 7. Pernikahan Terakhir?

165 24 8
                                    

Seperti deja vu, Vira duduk di barisan bangku paling belakang di gereja tempat Desya akan mengucapkan janji suci sehidup semati bersama calon suaminya. Ia sebagai perempuan bahkan mual melihat Desya seperti wanita yang haus akan pernikahan. Keputusan pernikahan pasca 3 minggu kematian calon suami keduanya tentu menjadi trending topik. Tidak hanya kalangan jemaat gereja yang diundang pada pemberkatan hari ini karena pernikahan terbuka untuk umum. Barisan wartawan sudah berjajar di sepanjang karpet merah tempat mempelai akan lewat sebentar lagi. Headline news yang akan mereka bawakan kali ini cukup tajam. Bunyinya: Pernikahan Ketiga Model Cantik Desya Carlin Ganendra. Akankah Sang Suami Terbunuh seperti Dua Kejadian Sebelumnya?

Lihat saja. Jika ada kematian lagi di sini, maka yang akan bahagia terlebih dahulu bukanlah pembunuh, tapi wartawan yang akan mendapatkan santapan segar berupa berita kematian berturut-turut yang melibatkan publik figur.

"Kali ini tidak ada jamuan makan pra-pemberkatan seperti sebelumnya..," jelas Fery yang kali ini hanya mengenakan kemeja biru tua dengan less putih sederhana yang digulung hingga siku dan celana hitam. Jam baru menunjukkan pukul 8 pagi dan alunan piano khas pernikahan telah berbunyi―tanda pengantin masuk. Itu berarti memang ada agenda yang sudah dipotong. "Suaminya adalah pengusaha muda dan sukses berumur 29 tahun. Hanya lulusan SMP namun bisa membesarkan cabang perusahaan hingga ke Sulawesi. Tidak memiliki ayah namun menanggung seorang ibu dan tiga orang adik. Ia tertarik dengan Desya dan menantang mampu menikahinya tanpa kehilangan nyawa."

Vira berdecak kagum. Pria itu sangat berani. "Siapa namanya?"

"Wira Ivander," jawab Fery sambil merentangkan tangannya. Ia melirik sekilas supir keluarga Ganendra bernama Janu yang sedang mondar-mandir untuk menyalami dan sesekali memberikan minuman. "Wira sangat waspada. Selain tidak menginginkan adanya jamuan makan, ia juga menyiapkan satu koki kepercayaan yang hanya memberikan minuman dan makanan untuknya―bahkan di acara resepsi nanti. Ia juga memperhatikan semuanya dengan detil, seperti diperketatnya keamanan. Ia sudah memikirkan berbagai kemungkinan dirinya bisa terbunuh. Lama-lama aku melihatnya seperti sedang menikahi teroris saja."

Vira diam. Ia tidak tahu ingin merespon apa karena dirinya bahkan sudah sedikit kehilangan kepercayaan pada Desya. "Kuharap Wira bisa lebih pintar daripada pembunuhnya," lanjut Vira sambil menggerakkan ujung sepatunya. "Karena mendengarnya yang hanya lulusan SMP namun bisa membangun perusahaan, berarti ia melepaskan sekolahnya demi mewujudkan sesuatu yang luar biasa, bahkan tanpa bantuan ayahnya. Aku harap, pernikahan kali ini sukses dan menjadi pernikahan terakhir Desya."

Raut wajah Fery tidak terbaca namun dia mengangguk.

Suara lonceng berdentang 3 kali lalu disambut mempelai pria dan wanita yang masing-masing harusnya digandeng oleh ayahnya―namun Wira yang digandeng oleh pamannya. Gereja dipenuhi oleh lampu blitz kamera yang berlomba mengabadikan momen pernikahan ini. Jika dipikir, kedatangan wartawan memenuhi gereja ini pastilah salah satu rencana Wira. Setiap kejahatan pasti ada celahnya. Sementara kejahatan yang dapat diperkarakan adalah jika memiliki bukti. Setidaknya rekaman digital di zaman modern ini dapat menjadi bukti yang tidak terbantahkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Desya sebentar lagi akan memiliki suami yang diberi anugrah berupa kecerdasan dan kekayaan yang sesuai dengan pemikirannya. Seharusnya Desya merasa beruntung. Namun, dari kacamata Vira, senyum yang terkuar di wajah Desya ini mengandung kepalsuan. Ia menutupi sesuatu, entah itu rasa sedih atau kemarahan yang tidak mampu dilampiaskan.

Waktu rasanya berjalan begitu lambat, bahkan saat pendeta telah selesai berceramah dan memimpin prosesi pengucapan janji suci. Tidak hanya pihak keluarga, tapi juga wartawan dan orang lain yang berkepentingan di sini. Gereja yang sama, setidaknya satu orang sudah terbunuh di tempat ini 3 minggu lalu. Karena itu, setiap langkah acara berjalan, tidak ada satupun yang tidak menahan napas―takut kejadian yang sama terulang kembali.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang