Chapter 16. Borgol

199 25 14
                                    

Secepat kilat Vira memasuki pintu taksi yang terparkir di belakang kafe. Ia meminta untuk melaju sesegera mungkin. Mereka akan mengambil rute normal jika itu berarti bisa lepas dari maut yang dibicarakan 'tamu' mereka tadi.

"Ada di sana," dari mobil, Fery menunjuk seseorang berpakaian kasual, kacamata hitam, dan masker. Di depan tubuhnya terdapat tas kecil. "Ia masih berdiri di tempat yang sama, pura-pura menatap menu di depan kafe, padahal mengawasi seseorang yang keluar-masuk."

"Apa ia mencari kita?"

"Tidak ada yang tahu," kata Fery tanpa melepaskan pandangan. Di akhir observasinya, ia sempat melihat gerak tubuh orang tersebut terpaku ke arah mereka, seolah fokus menembus kaca mobil menuju mata Fery―momen itu sempat difoto Fery melalui kamera ponselnya berlogo buah apel. Pemandangan itu langsung terputus oleh gedung yang mereka lewati.

"Vir," panggilnya pelan sambil mengencangkan sabuk pengaman. "Ia menemukan kita."

Gambaran air muka Vira tak ubahnya seorang penderita arsonphobia saat melihat api. Ia takut, tapi berusaha menepis. Matanya beberapa kali terpejam karena memikirkan cara melarikan diri. Giginya sibuk menguliti kuku sembari bergemeletuk. Ditepuknya supir agar melaju lebih cepat, sangat cepat, hingga tidak ada siapapun yang dapat mengejar. Saat itu Fery langsung menenangkannya. Ia mengabaikan motor yang terlihat mulai menyusul di belakang mereka. Ditariknya Vira lalu meletakkan kepalanya pada bahu.

"Hei, tenanglah. Jika melaju, kita malah bisa terbunuh karena hal lain." Fery melihat spion ke arah belakang. Pengendara itu dua orang. Yang dibelakang masih erat memegang tas―yang seratus persen Fery yakini berisi senjata pembunuh. "Kau harus percaya padanya, seperti sejak awal kau memutuskan mengikuti perintahnya!"

Gadis itu tidak menjawab. Kesunyian itu dimanfaatkan Fery untuk memperhatikan sekeliling yang dan berpikir cepat untuk menyelamatkan diri―atau utamanya menyelamatkan Vira. Taksi melintas di jalan lokal dengan penghubung kawasan pertokoan. Matanya berputar dan meneliti bak elang yang mencari mangsa. Pada akhirnya ia mengemukakan rencananya yang sudah dipikirkan secara matang. "Pak, setelah ini belok kiri dan masuklah pada blok Pakaian. Mendekatlah pada pintu dekat pakaian yang dipajang lalu turunkan saya pada blok kecil di sebelahnya." Ia menginstruksikan hal lainnya secara detil. Singkatnya, ia akan turun sebagai pengecoh dengan bantuan pakaian yang terpajang untuk membentuk bayangan dua orang yang turun. Saat itu, Vira akan diantar ke Kantor Polisi sementara Fery sebagai umpan untuk sementara. Panggilan cepat telah dilakukan kepada temannya untuk melakukan tindakan jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Fery tidak memiliki waktu adu pendapat dengan sahabatnya. Ia fokus memperhitungkan waktu dan momen untuk memberhentikan taksi. Beberapa kali ia harus menampik tangan Vira yang tak henti menarik pakaiannya agar berhenti melakukan tindakan bodoh.

"Kau pernah tertembak, dua kali, karena bertindak konyol!"

"Aku pastikan tidak ada yang ketiga kalinya dalam hidupku."

Berang, Vira menarik sekuat tenaga tubuh di sampingnya lalu memukul pipi pemuda itu dengan keras. Hal itu membuat Fery tersadar sesaat. Tolakan kepalanya membuat sudut penglihatannya kini fokus pada spion yang sedang memperlihatkan penguntit mereka. Laju kendaraan bermotor di sana berkurang dan nyaris tertinggal jauh. Pengendara di depan tampak melepas tangan kiri untuk mengambil ponsel. Ia menyelipkan benda elektronik itu di helm. Lima detik―Fery menghitungnya dengan cermat―motor berhenti. Mereka memilih untuk berbalik.

Fery cukup was-was. Ia tidak tahu penguntit mereka berbalik arah untuk mundur atau malah menyusul mereka di apartemen. Rencananya buyar, baik karena pukulan Vira maupun kondisi 'musuh' mereka yang tidak lagi nampak. Ia menghela napas dan bersandar rileks. "Sudahlah Vir, kita berdamai."

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang