Chapter 8. Aku Menyerah

187 24 7
                                    

Malam setelah persidangan, Vira memilih kembali ke apartemen Desya dan menolak tawaran Fery untuk makan malam bersama. Ia masih kesal dengan Fery, bahkan sampai mengabaikan ajakan teman kecilnya itu untuk diantar pulang. Vira bukan wanita yang cepat merajuk, hanya saja sikap Fery yang tidak peduli pada seseorang yang awam di tempat ini baginya sudah keterlaluan.

Vira mengeluarkan beberapa sayuran seperti sawi dan wortel serta sepotong besar daging sapi dari kulkas. Semua itu sudah disiapkan Desya dan Vira bebas memasaknya sesuka hati. Daging beku ia panaskan sementara sayuran harus ia potong terlebih dahulu. Ia mundur sesaat untuk mengingat letak pisau. Biasanya digantung dekat talenan. Namun, ia tidak menemukannya. Sesaat ia mengingat Desya menyimpan cadangan pisau di lemari bagian dalam. Vira mendapati pisau itu, tapi tangannya terhenti saat hendak mengambilnya.

Kemana pisau yang tergantung?

Jantung Vira mulai berdebar tidak karuan. Secepatnya ia mengambil pisau cadangan itu, menutup lemari lalu mengelus dadanya. Sesekali ia menoleh ke belakang―memastikan tidak ada seorangpun di apartemen ini selain dirinya. Bulu kuduknya bahkan mulai meremang, namun sesegera ia menenangkan diri dengan bernyanyi pelan sambil memotong sayur.

Setelah selesai memasak, Vira hanya memandang masakannya tanpa minat. Ia belum makan sejak persidangan siang, tapi entah kenapa firasat buruk membuat nafsu makannya hilang. Gadis ini memilih membawa makanan ke ruang tengah dan menghidupkan televisi dengan volume keras. Ia pun meletakkan sayur dan olahan daging ke atas nasinya. Sayangnya, baru juga makanan itu melayang di depan mulutnya, sepatah kata terbesit tiba-tiba dalam pikirannya.

"Kau bicara terlalu berlebihan, Vira"

Sendok berisi nasi dan lauk itu pun terjatuh ke karpet beludru. Sementara Vira hanya bisa termenung mengingat ucapan Desya setelah persidangan saat bertemu dengannya. Desya tidak terlihat marah, namun ekspresi wajahnya benar-benar mengganggu hari Vira. Kesaksiannya memang tidak akan terhitung di persidangan, namun secara tidak langsung itu membuka pemikiran bahwa ada pelaku lain yang sepatutnya dicurigai.

Apa Desya?

Seketika Vira mendorong makanannya―seolah itu adalah bom yang siap meledak. Dua pembunuhan yang terjadi sebelumnya adalah dengan racun. Rasa takut Vira yang berlebihan saat ini membuatnya terpikir semua makanan yang akan ia konsumsi pasti akan teracuni.

Ia tidak ingin mati.

Karena itulah Vira membuang akal sehat dan logikanya dengan cara membuang makanan ke tempat sampah―semua makanan yang ia masak sendiri namun tidak dimakan sesuap pun. Tiba-tiba gerakan tubuh Vira semakin berantakan. Ia menoleh ke kanan-kiri, menuruti perasaannya jika ada sesuatu yang mengawasinya. Sungguh, rasa takut Vira mengalahkan segalanya. Mengabaikan rasa lapar, Vira mematikan televisi dan menghambur ke kamar. Ia mengunci pintu dan jendela dengan sangat keras. Bahkan lemari ikut ia kunci dari luar. Perasaan bersalah karena mengecewakan keluarga Ganendra di persidangan dan rasa takut semakin menguasai, membuatnya sedikit gila dan beranggapan pembunuh berada di sekitarnya yang bisa masuk melalui pintu kamar, jendela, ataupun keluar dari lemari.

Demi Tuhan, Vira tersiksa dengan perasaan ini.

Seluruh tubuhnya ia tutupi dengan selimut. Rasa lapar dan hawa panas karena AC yang tidak dihidupkan―karena Vira terlalu takut untuk berdiri dan mengambil remote AC―tidak dihiraukannya. Ia mencoba memejamkan mata, walau kenyataan ia tidak bisa tidur pada jam 7 malam ini.

Ia tidak tahu seberapa lama ia berpura-pura tertidur seperti ini. Namun, antara mimpi dan tidak, Vira merasa mendengar langkah kaki yang dipastikan berasal dari luar kamar ini. Langkah itu seperti berhenti di depan kamarnya. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Vira bersamaan dengan jantung yang semakin berdebar tiap detiknya. Bahkan telinganya seolah mendengar pintu kamarnya diketuk tiga kali.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang