Chapter 10. Tembakan

156 23 2
                                    

Fery tidak menyangka geng motor yang sempat menyentil rasa takutnya dulu, kini satu meja dengannya. Tampangnya tidak seberingas jika dilihat dari kegelapan dan kejauhan. Yang Fery lihat mereka adalah sekumpulan pemuda berumur 20an tahun dengan berbagai profesi. Malam adalah waktu bagi mereka untuk menyegarkan pikiran, sementara siang adalah ladang untuk mencari uang. Dengan pendekatannya, Fery tahu bahwa identitas mereka sebagai mahasiswa, karyawan swasta, musisi jalanan, maupun tukang kebersihan; harus disembunyikan demi menjaga karir.

"Lalu, senjata apa yang biasa kalian gunakan?"

Pria berpotongan rambut cepak yang sepertiga puncaknya berwarna pirang itu mengeluarkan 5 bilah pisau belati dengan berbagai bentuk dan ukuran. Anak buahnya dari belakang meletakkan celurit dan katapel dengan kantong berisi kerikil ukuran setengah kepalan tangan.

"Kurang lebih ini. Kami gunakan hanya untuk mempertahankan diri jika diserang. Tenang saja, jejak historis kami tidak pernah menyentuh kasus kriminal," Pemuda bernama Rozak membuka suara. Ia memperhatikan sekelilingnya―tepat pada belasan anak buahnya yang berdiri siaga. "Kau bisa menggunakan kami sebagai perlindungan. Semua sesuai dengan pembayaran."

Pemuda di hadapan Rozak mengangguk. "Tentu saja. Aku juga tidak mungkin mengambil sembarang bodyguard sebagai pengamanan." Fery mengambil salah satu pisau lalu menggesekkan ujung jarinya pada permukaan lancip―mengoyak beberapa sentimeter kulit yang berujung pada tetesan darah tanpa henti. "Baiklah, kalian menggunakan senjata asli."

"Untuk perlindungan diri."

Sekali lagi Fery mengangguk, memperhatikan aliran darahnya dengan serius. "Aku tidak mengatakan itu buruk, tenang saja. Karena saat ini aku benar-benar membutuhkannya." Pemuda itu mengeluarkan sebuah amplop warna cokelat berikut dengan darah yang ia teteskan ke atasnya. Amplop itu di dorong ke hadapan Rozak yang menatapnya penuh tanya. "Uang di muka. Jangan khawatirkan karier kalian. Aku sudah menandai amplop itu. Silakan utarakan pada kepolisian bahwa kalian bekerjasama denganku―jika kalian tertangkap."

Amplop diambil, disusul dengan uluran tangan penanda kerja sama. "Senang berbisnis denganmu."

***

Fery benci gosip. Ia benci kenyataan yang dipelesetkan sehingga menghasilkan fitnah yang hanya menyakitkan pihak yang dibicarakan.

Fery benci, namun sialnya kali ini ia harus percaya―atau minimal memastikan―gosip yang ia dengar. Perasaannya belakangan ini menajam―tepatnya semenjak Vira pulang ke kampung halamannya tanpa pamit dan membuatnya selalu merasa bersalah karena tidak mendengar ocehan gadis yang mengutamakan pemikiran berdasarkan perasaan tersebut.

Seminggu yang lalu polisi yang sedang melakukan razia besar-besaran. Beruntungnya ada satu mobil truk muatan tahu yang akan diantar ke pasar berhasil dibekukan karena menyeludupkan narkotika jenis sabu-sabu. Walau hanya seberat 5 kilogram, namun ini sudah pertanda bahwa pembasmian narkotika belum sempurna di kota ini. Kurir barang haram itu awalnya mengaku ia tidak tahu-menahu. Namun kelamaan, ia mulai membocorkan perlahan dan sialnya dibanding menyebutkan nama atasannya, ia memilih menyebut inisial seorang publik figur yang terlibat dalam bisnis ini.

Desya benar-benar diserang wartawan dan pencari berita selama seminggu karena dituduh terlibat dalam pemasaran narkotika. Ia juga sempat diringkus oleh polisi, bahkan sampai melakukan pemeriksaan kesehatan―untuk memastikan apakah ia pecandu narkoba. Namun dengan tenang dan kemampuan memanipulasinya yang luar biasa, ia bisa keluar tanpa satu tuduhan pun yang melekat padanya―baik penyebar maupun pengguna narkotika.

Langkah kaki Fery memelan seiring mendekatnya ia di lokasi yang sangat dicurigai sebagai tempat transaksi jual beli narkotika. Dibanding dengan jaringan narkotika lain yang melakukan penjualan skala besar dengan meminjam pelabuhan selama beberapa jam, maka sindikat narkotika ini diyakini menggunakan permukiman di zona merah tepi sungai. Permukiman ini cukup kumuh dan sebagian besar berstruktur tidak permanen. Masyarakatnya bertempramen kasar dengan mulut yang biasa mengeluarkan bahasa kotor. Fery sudah terbiasa. Bagaimanapun tempat seperti ini tidak asing baginya di kampung halaman.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang