Chapter 15. Ayo Kita Diskusi

170 23 7
                                    

Vira meloncat ke dahan yang jaraknya dua meter dari jendela. Ia bertaruh pada keberuntungannya. Jika gagal, ia akan jatuh dari lantai dua dan menyebabkan masalah di lain hari. "Hap!" dan lompatannya berhasil. Ia menapak di salah satu dahan sambil melihat tembok yang mengelilingi rumah. Ia merosot sembari memeluk pohon hingga dapat mendarat di atas tembok. Kini masalah selanjutnya adalah terjun dari puncak tembok yang berjarak 4 meter dari tanah. Semua harus dilakukan dengan cepat sebelum jati dirinya ketahuan.

Ia menduga pendaratannya tidak akan mulus lagi. Kakinya secara tiba-tiba ngilu bukan main. Ia pastikan akan mematahkan tulang betisnya jika nekat melompati tembok pembatas dengan kebun di sebelah rumah ini. Air matanya menggenang, antara rasa sakit dan takut menentukan langkah.

Yang tidak disangkanya, ada dua tangan yang terbuka di bawah sana. Sesosok tubuh yang basah kuyup namun tetap berdiri tegak sambil memberi senyum menenangkan. Tanpa bicara, pemuda di bawah menginstruksikan Vira untuk meloncat dan percayakan semua kepadanya.

Sungai di pelupuk mata Vira mengalir, terbiaskan oleh hujan. Ia terselamatkan untuk kesekian kalinya dan selalu di tangan sahabatnya. Tanpa ragu ia terjun. Matanya terpejam, meresapi angin yang membelai saat ia menjatuhkan diri, serta lengan kokoh yang menangkap tubuhnya.

"Oh, kau selamat!" Fery yang mendudukkan Vira langsung memegang kedua pipi gadis itu. Ia tertawa dengan terus bergumam bahagia karena masih bisa menggenggam pipi dan rambut sahabatnya seperti ini.

Gadis di hadapannya melepas kacamata yang memburam. Ia ikut meremat pipi Fery sembari tertawa. "Hei, aku tidak memintamu menunggu apalagi sambil berhujanan."

"Ya. Tapi tidak ada yang akan menangkapmu kalau begitu." Jemari Fery menghapus bening yang terus mengalir di pipi Vira. "Dan tidak ada yang bisa menghapus air matamu seperti ini. Berterima kasihlah."

Tawa Vira semakin riang terdengar dengan derai air mata yang mengalir deras. "Keparat," ucapnya sambil merangkul leher Fery. "Terima kasih, Keparat."

***

"Aku baru teringat!" Vira berteriak kencang hingga handuk di kepalanya terjatuh. Ia menunjuk sudut langit-langit apartemen Fery dengan tangan bertopang di pipi. "Percuma aku melarikan diri jika CCTV menjadi saksi aku tidak pernah keluar dari kamar itu."

Fery fokus menyedot mi instan hangatnya tanpa berniat merespon. Ia akan terus bersikap tidak peduli jika saja Vira tidak menarik cuping telinganya saat ini. "Sial! Vira! Sakit!" Diletakannya kap mi yang belum habis itu lalu menatap Vira santai. "Biarkan saja. Jika dihapus malah menambah kecurigaan. Kau bisa kabur dari sana juga sudah sangat beruntung. Setidaknya kau selamat dari maut jika pelaku benar-benar ingin membungkammu saat itu juga."

Vira bergidik ngeri. Ia lalu terduduk, tertunduk dengan tangan menopang wajah. "Hidupku tidak akan tenang setelah ini."

"Seharusnya kau memikirkan itu saat mengemukakan rencana." Fery kembali menyesap makanannya. "Aku melihat mobil keluarga Ganendra disusul mobil milik Wira. Sepertinya ia selalu pulang awal belakangan ini. Tidak lagi pulang larut malam."

"Mungkin masih berduka."

Fery mengangguk. "Oh ya, jadi kau turun dengan ceroboh karena seseorang memasuki kamar Bella?"

Mata kaki Vira menjadi pusat perhatian. Sang empunya kaki hanya mengelus, lalu terkekeh riang. "Ya, aku merasakan ia sangat berbahaya―walau aku tidak tahu orangnya." Jarinya mengetuk dagu untuk mengingat. "Rasanya aku mendengar Bella meneriakkan 'Ayah' pada seseorang yang masuk ke kamar. Jika sesuai dengan foto itu..,"

Fery meraih 4 foto yang tersisa. Satu diantaranya masih berada di rumah itu, tepat di tangan Bella. "Aku tidak menyangka jika ia benar-benar seorang 'Ayah'. Maksudku, ia tidak memiliki alasan untuk melakukannya," Pemuda itu mengecek ponsel. Ada pesan masuk yang memberitahukan bahwa hasil pengecekan akan keluar tiga hari lagi. "Kecuali jika ia benar-benar penjahat seperti yang aku pikirkan."

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang