Chapter 2. Saksi Mata

272 33 0
                                    

"Sialan kau!" Vira misuh-misuh sembari membanting ponselnya di kasur hingga melambung sebelum tergeletak kembali. Si gadis menyangkah hati. Kekesalan pertama karena Fery melepaskan earphone-nya sehingga Vira harus mengoceh sendirian tanpa ada yang menjawab. Kedua, karena Fery mematikan video call secara paksa tanpa sempat melihat wajah Vira yang sudah memerah―karena marah dan dominan keterkejutan. Ketiga adalah saat Vira memiliki info penting tapi sampai 15 menit sejak terakhir Fery mematikan hubungan video call-nya, pemuda itu masih tidak bisa dihubungi karena kemungkinan besar belum mengaktifkan ponselnya.

Vira sudah lama mengenal Fery, bahkan sejak umurnya 5 tahun. Tempat tinggal Fery hanya berjarak empat rumah dengannya. Mereka sempat terpisah selama tiga tahun saat pemuda itu ikut orangtuanya ke Samarinda, namun kembali lagi saat mereka sama-sama duduk di bangku SMA. Selama tiga tahun mereka bersama, berteman sangat dekat namun sama sekali tidak suka jika ada yang menyebut mereka berpacaran―sebenarnya ini hanya Vira saja. Pada dasarnya Fery bersikap biasa saja jika ada yang mengatakan mereka sepasang kekasih. Setelah lulus, Fery memilih melanjutkan pendidikan jurusan kriminologi di Jakarta, sedangkan Vira menetap di kampung mereka―Pontianak―untuk melanjutkan pendididkan di jurusan Teknik Sipil. Walaupun begitu, hubungan mereka masih terjalin dengan baik.

Bagi Vira, kepribadian Fery adalah yang terbaik dan sangat pas untuk mendampinginya yang ceroboh―ia sadar semenjak beberapa kejadian yang membuatnya harus tertolong berkat Fery. Pemuda itu memang sedikit nakal dan terkadang menyebalkan. Namun, kemampuan terbaiknya akan muncul ketika terpojok, terpuruk, terancam, atau berada di posisi terendahnya. Ia paling cepat memperbaiki keadaan dengan daya tangkap dan pikirnya yang luar biasa.

Vira menyerah untuk memikirkan pemuda itu. Ia bergerak mengambil kacamata di meja belajar dan memasangnya untuk memperbaiki penglihatannya. Pandangannya membaik. Ia adalah penderita rabun jauh dengan minus 7,5―termasuk cukup parah karena ia tidak bisa tidak menggunakan kacamata untuk kegiatan kesehariannya. Dengan penglihatan yang sudah membaik, ia langsung terbaring dan memandang langit-langit kamarnya yang berwarna coklat gelap dan polos tanpa hiasan apapun. Ia sudah selesai menetralisir jantungnya akibat peristiwa mengerikan yang ia lihat 15 menit yang lalu. Rasanya mengejutkan. Tangannya melepas kacamata untuk melihat perbandingan penglihatannya saat memakai atau tidak memakai kacamata. Tentu saja berbeda jauh. Tapi, ia sadar keistimewaan penderita rabun jauh sepertinya adalah dapat melihat sesuatu yang kecil yang mungkin tidak terlihat oleh mata orang normal walau harus dipandang dengan jarak yang sangat dekat. Begitupun yang dilakukan Vira tadi saat melakukan video call dengan Fery.

Sebelum acara persulangan tadi―terutama saat kedua mempelai menuangkan minuman ke seloki pasangannya, ia jelas melihat dua jari yang menuangkan bubuk dengan sangat cepat ke salah satu seloki yang berisi anggur biru-kehijauan. Kejadiannya tepat beberapa mili detik sebelum seloki diangkat oleh kedua mempelai. Gerakannya sangat cepat, tapi Vira bersumpah saat itu matanya menempel di layar ponsel. Saat itu ia langsung berteriak bahwa ada benda yang dimasukkan ke salah satu seloki dan meminta Fery lebih waspada untuk mengawasi. Benar-benar disayangkan, pemuda itu tidak menyadarinya sama sekali.

"Seandainya aku bisa memberitahu Fery, seandainya ia tidak melepaskan earphone," bisik Vira tidak lepas memandang langit-langit kamarnya. Namun, tidak lama ia menggeleng. Tidak ada yang bisa memperbaiki keadaan yang sudah terjadi. Manusia hanya bisa berandai-andai. Ia lalu berpikir lebih tenang. Setiap perbincangan di sekitar Fery dapat Vira dengar. Ia ingat dengan jelas alasan Fery harus menyembunyikan ponsel yang masih terhubung dengan Vira, yaitu karena acara jamuan minum ini sakral sehingga semua harus fokus pada acara―kecuali satu kameramen untuk merekam kegiatan resepsi―Vira yakin itu. Jadi, tidak ada kamera lain yang mungkin menangkap kejadian ini, kecuali Fery yang secara tidak langsung meletakkan kamera di angle yang sangat tepat.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang